Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Alegra Wolter menjadi dokter transpuan pertama di Indonesia yang terbuka dengan identitas gendernya.
Teman-teman Alegra pernah merisaknya karena ia berpenampilan feminin.
Ia menginspirasi transpuan lain untuk terus berjuang agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap transpuan dan gender minoritas lain.
IA merasa berbeda sejak berusia empat tahun. Saat berlibur di sebuah taman di Bali, Alegra Wolter kecil senang mengumpulkan bunga meski ia terlahir sebagai laki-laki. Kembang tersebut dianggap merepresentasikan jiwanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sifat feminin Alegra kecil terus berkembang. Teman-temannya lantas merisaknya. Ia lalu menulis sebuah pesan kepada Tuhan agar mengubahnya menjadi maskulin. Ia menerbangkan pesan tersebut menggunakan balon. “Tekanan saat itu benar-benar dahsyat,” tutur Alegra kepada Gangsar Parikesit dari Tempo di Jakarta pada Kamis, 3 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat duduk di kelas V dan VI sekolah dasar, Alegra mendapat suntikan hormon testosteron agar menjadi lebih maskulin. Tapi depresi yang mendera justru bertambah karena ia merasa nyaman menjadi feminin. Keluarga Alegra juga membawanya ke psikiater dan psikolog anak. Ia bahkan dipaksa berolahraga agar sifat femininnya berkurang. Orang tua Alegra berpendapat bahwa buah hati mereka itu bisa “dibetulkan” dengan beragam cara tersebut.
Alegra mulai mencari informasi perihal transgender saat duduk di sekolah menengah pertama melalui Internet. Ia mempelajari apa saja yang perlu dilakukan saat seorang pria ingin bertransisi menjadi perempuan. Namun ia mengubur keinginannya tersebut karena pemikiran keluarganya dan lingkungan sekitar belum terbuka mengenai transgender.
Akibatnya, Alegra justru makin cemas dan dilanda depresi. Saat becermin, ia merasa kurang nyaman melihat diri sendiri. Meski demikian, semua itu tak mengganggu prestasinya di sekolah. Nilai di rapornya semasa SMP dan sekolah menengah atas tetap bagus.
Keinginan Alegra bertransisi menjadi perempuan muncul kembali saat ia kuliah di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta. Pada 2014, seorang dosennya yang mengajar mata kuliah seputar kesehatan jiwa menyampaikan larangan merisak gender minoritas. Dosen yang juga psikiater tersebut mencontohkan adanya perisakan terhadap salah seorang mahasiswa perempuan yang bersikap maskulin. Mahasiswa tersebut kemudian dijauhi teman-teman seangkatan.
Mendengar cerita tersebut, Alegra langsung ingat akan masa kecilnya. Ia lantas memesan jadwal konseling dengan dosen tersebut. “Saya langsung nangis dan apa yang ada di dalam itu (kenangan masa kecil) muncul kembali,” ia mengenang.
Alegra Wolter saat menjadi pembicara dalam sebuah diskusi kesehatan, Oktober 2019. Instagram.com/ @alegrawolter
Alegra kemudian mencari informasi sebanyak mungkin mengenai kesehatan dan ilmu kedokteran perihal transgender. Setelah melalui pergolakan batin, ia memutuskan bertransisi menjadi transpuan meski belum mendapat dukungan penuh dari keluarga ataupun dosen yang membantunya dalam konseling. “Hal ini bisa dipahami karena mungkin mereka belum pernah berhadapan dengan seorang individu transgender yang ingin bertransisi saat menjalani pendidikan,” ujar Alegra, yang lahir pada 19 Agustus 1994.
Alegra lalu menjalani terapi hormon antiandrogen untuk menurunkan efek testosteron dan menjadi lebih feminin. Terapi tersebut berjalan selama enam bulan. “Saya mulai dengan hormonal therapy, berbekal informasi yang diperoleh dari panduan sahih seputar kesehatan transgender,” katanya.
Keinginan Alegra bertransisi menjadi transpuan secara sosial makin kuat menjelang masa ko-asisten atau koas pada 2016. Saat itu ia berkesempatan mengunjungi sebuah rumah sakit untuk melihat kegiatan kakak kelasnya pada masa koas. Di sebuah bangsal, ada seorang anak yang bertanya kepada ibunya sewaktu melihat Alegra. Bocah itu berujar, “Mama, itu cowok atau cewek?”
Pertanyaan anak tersebut menyadarkan Alegra bahwa ia tidak bisa berpura-pura. Ia kemudian memantapkan diri bertransisi menjadi transpuan secara sosial dengan memanjangkan rambut, mengganti pakaian dengan yang tampak lebih feminin, juga belajar merias diri.
Alegra pun mengubah namanya dari Wolter menjadi Alegra Wolter pada 2017. Nama Wolter tetap ia gunakan karena nama itu pemberian orang tuanya. Menurut dia, Alegra berarti gembira. “Intinya, saya versi lebih bahagia,” tuturnya.
Alegra menjadi dokter pada 2018. Mulanya dia ingin menggunakan setelan jas pada hari kelulusan tersebut. Belakangan, ia mantap mengenakan kebaya pada hari penting itu setelah mendapat dukungan dari sejumlah dosen yang berpikiran terbuka terhadap gender minoritas.
Kini dokter transpuan pertama yang membuka identitas gendernya di Indonesia itu bekerja sebagai partnership manager di Docquity Indonesia, perusahaan startup bidang kesehatan. Alegra juga bekerja paruh waktu sebagai dokter umum di Klinik Angsamerah, Jakarta.
Capaian tersebut mematahkan kekhawatiran orang tua Alegra. Ketika itu, orang tuanya belum bisa menerima keputusan Alegra bertransisi menjadi transpuan karena takut ia sulit memperoleh pekerjaan. Alegra memahami alasan tersebut. “Semua itu proses dan sampai sekarang saya juga masih tinggal dengan orang tua,” ujarnya.
Menurut Alegra, seharusnya perusahaan ataupun lembaga memberi kesempatan kerja yang sama bagi individu transpuan dan gender minoritas lain tanpa diskriminasi. Apalagi jika mereka bisa bekerja secara profesional. “Teman-teman transgender juga harus percaya diri dengan kemampuannya,” katanya.
Alegra juga menjadi relawan yang mengedukasi kelompok transpuan dan gender minoritas lain. Pengalaman dan perjuangannya bertransisi menjadi transpuan memudahkannya menyampaikan materi tentang kesetaraan gender, kesehatan seksual, juga pencegahan HIV. Kini ia juga menjabat Kepala Dewan Pengawas Perkumpulan Suara Kita, organisasi yang memperjuangkan kesetaraan serta keadilan bagi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Alegra sadar pengalamannya sebagai transpuan juga dialami sebagian besar transgender lain. Hal itu yang mendorongnya menjadi relawan di sejumlah komunitas LGBT untuk mengedukasi mereka. “Ternyata musuh bersamanya ialah diskriminasi, stigma, dan patriarki,” ucapnya.
Alegra berpendapat, sebagian besar anggota masyarakat belum bisa menghormati transpuan ataupun gender minoritas lain. Masih ada anggapan bahwa mereka memiliki gangguan kejiwaan sehingga harus “dibetulkan”. Padahal semua orang memiliki akses pendidikan, kesehatan, juga pekerjaan yang setara.
Direktur Yayasan Srikandi Sejati, Lenny Sugiharto—seorang transpuan—beberapa kali meminta Alegra menjadi narasumber diskusi bertema kesehatan seksual. Pengalaman dan perjuangan Alegra juga memudahkannya berbagi cerita dengan transpuan yang didampingi yayasan yang berdiri pada 28 September 1998 tersebut. “Wawasannya cukup luas serta bisa memberikan jawaban detail dan memadai,” tutur Lenny, 62 tahun.
Yayasan Srikandi Sejati mulai mengundang Alegra menjadi pembawa materi diskusi pada 2020. Alegra tidak mau dibayar meski telah meluangkan waktu dan berbagi ilmu dengan para transpuan. Sang dokter, kata Lenny, selalu mengatakan honornya bisa digunakan untuk keperluan yayasan.
Lenny menuturkan, Alegra Wolter juga menginspirasi transpuan lain untuk terus berjuang agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap transpuan dan gender minoritas lain. Namun, dia menambahkan, tak semua transpuan mempunyai orang tua yang mendukung dan memiliki kemampuan finansial seperti keluarga Alegra.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo