Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Seorang Psikopat dari Panti Asuhan dan Kota Distopia

Seperti musuh-musuh Batman lain, Riddler merasa dirinya bagian dari kelas yang tercampakkan. Visinya apokaliptik.

19 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kisah tentang musuh-musuh bebuyutan Batman

  • Dari Riddler, Penguin, hingga Joker

  • Mereka merasa bagian dari kelas masyarakat yang tercampakkan

RIDDLER selalu menempatkan dirinya sebagai orang tersisih. Berulang kali ia menekankan bahwa dirinya lahir di panti asuhan. Berulang kali ia menyatakan mengalami kepedihan di masa kecilnya. Jauh dari kehidupan normal. Jatah makanan selalu kurang. Dan pada musim dingin yang akut, Riddler kerap melihat kematian sesama penghuni panti asuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musuh Batman ini seorang cerdas, jenius, tapi selalu dibayang-bayangi masa lalunya sebagai yatim-piatu terbuang, yang tak pernah mendapat perhatian dari masyarakat. Riddler bernama asli Edward Nygma. Masa kecilnya dihabiskan di sebuah panti asuhan yang didirikan Thomas Wayne, ayah Bruce Wayne alias Batman. Thomas Wayne adalah seorang dokter-filantropis. Tatkala ayah Batman itu menjadi kandidat Wali Kota Gotham, janji utamanya bila terpilih adalah ia akan mengucurkan dana pembaruan Gotham. Termasuk bagi panti-panti asuhan untuk memperbaiki nasib para yatim-piatu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berita gembira tentang dana tersebut diumumkan di panti asuhan Riddler. Namun, ketika Thomas Wayne dibunuh di jalanan, harapan tersebut sirna. Dana itu tak turun dan menjadi rebutan para politikus Gotham. Nasib anak-anak yatim makin terpuruk. “Saat itu kami dilupakan, seluruh perhatian media hanya tertuju kepada yatim-piatu baru bernama Bruce Wayne. Sebagai yatim-piatu, Bruce Wayne mewarisi harta miliaran. Ia hidup mewah di sebuah istana di bukit. Sedangkan kami tetap melarat,” kata Riddler. Riddler yang ringkih memelihara dendam atas ketidakadilan ini.

Kita lihat pembalasan dendam Riddler tak ubahnya sebuah penghukuman atas kota yang penuh dosa. Gotham dalam perspektif Riddler kiranya adalah kota terkutuk yang harus diberi pelajaran sebagaimana Sodom dan Gomorah. Ia tak hanya hendak membunuh satu per satu politikus tengik, oligark hitam, dan mafia polisi di Gotham. Ia ingin menghancurkan seluruh Kota Gotham. Ia memasang bom di tanggul-tanggul kota yang berbatasan dengan laut. Matanya berbinar-binar saat bom itu meledak bersamaan dan air bah menerjang Gotham. Air bah itu seolah-olah ia kirim untuk mencuci dosa semua warga Gotham.   

Karakter dasar Riddler mengingatkan kita kepada sosok Oswald Cobblepot alias Penguin, musuh besar Batman lain. Dalam film Batman Returns besutan Tim Burton, ia dikisahkan sebagai sosok yang tercampakkan. Dia lahir dari keluarga jutawan, tapi karena memiliki paras jelek dengan hidung bengkok—mirip binatang dengan tubuh tak proporsional—ia dibuang ke gorong-gorong. Di saluran air bawah tanah itu, ia dipelihara dan dibesarkan oleh sekawanan penguin. Oswald menaruh dendam kepada masyarakat. Baginya, hewan seperti penguin lebih manusiawi daripada manusia. Ia bisa begitu sayang kepada binatang, tapi sangat keji terhadap manusia. 

Danny DeVito berperan sebagai Penguin di Batman Returns, 1992. IMDB

Masih ingat adegan Oswald Cobblepot (dimainkan dengan dahsyat oleh Danny DeVito) pada musim dingin, saat salju membeku, turun ke saluran air rahasia untuk menemui kelompok teroris kota yang mendukungnya? Ia menaiki sebuah perahu berbentuk angsa raksasa berwarna kuning. Bentuk angsa-angsaan itu mengingatkan pada wahana di dunia fantasi anak-anak. Sungguh sebuah adegan surealis yang kuat.

Dan begitu perahu itu muncul, puluhan penguin kecil berenang mendekatinya. Turun dari kendaraannya, ia lalu menghampiri penguin-penguin yang dulu merawat dan memeliharanya. “Kalian kangen aku, Saudara-saudaraku,” ucapnya, ramah. Dan saat seorang pendukungnya menyapa dengan nama Oswald, amarahnya langsung meledak dan ia menghajar laki-laki itu dengan payungnya. “Namaku bukan Oswald. Aku adalah penguin. Aku bukan manusia, aku adalah binatang,” ia memekik keras.

Perasaan sebagai sosok yang dinistakan dan tak dimengerti masyarakat juga menggelayuti psikologi musuh bebuyutan Batman lain: Joker. Joker mulanya seorang laki-laki bernama Arthur Fleck yang bekerja sebagai asisten di sebuah laboratorium kimia. Ia keluar dan menjadi stand-up comedian, tapi gagal. Lawakan-lawakannya buruk, garing. Ia suka tertawa sendiri tak terkendali hingga membuat penonton jemu. Lalu ia memilih kehidupan kriminal. Riwayat Joker diceritakan dengan jelas dalam film Joker yang disutradarai Todd Phillips. Seperti Riddler atau Penguin, Joker sadar bahwa ia anak yang “dibuang” sedari bayi.

Joaquin Phoenix berperan sebagai Joker, dalam film Joker, 2019. IMDB

Arthur Fleck dalam film itu dikisahkan sebagai badut 40 tahun yang tinggal bersama ibunya, Penny. Kelainan otak menyebabkan dia kerap tertawa pada waktu yang tidak tepat. Arthur sering mengunjungi penyedia layanan sosial untuk mendapatkan obatnya, tapi kantor itu kemudian tutup. Kita ingat, Arthur kemudian menemukan bukti bahwa dia adalah anak adopsi Penny. Orang tua aslinya tak diketahui. Gangguan serius saraf di kepalanya yang menyebabkan dia sering tertawa berlebihan itu muncul karena ketika ia kecil ibu angkatnya tersebut sering memukul kepalanya.

Joker maniak kekerasan. Ia kriminal sadis. Tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, ia bisa menikam seseorang. Dan setelah melakukan pembunuhan brutal, ia bisa tertawa terpingkal-pingkal. Ia ahli kimia dan ahli racun. Dunia badut adalah dunia sinting, dunia “the other”. Di balik makeup yang selalu menyunggingkan senyum, Joker merasa nyaman meneror Kota Gotham. Dalam film diceritakan bagaimana Joker menganggap masyarakat Gotham adalah masyarakat munafik. Akting memukau Joaquin Phoenix, yang memerankan Joker, bahkan bisa membuat kita “jatuh hati” pada masa lalu Joker.

Baik Riddler, Penguin, maupun Joker kita lihat memiliki masa kecil yang kurang bahagia. Para pengamat film melihat Kota Gotham sendiri—dengan tata planologinya yang penuh pencakar langit futuristis dalam semua imajinasi komik dan film Batman—selalu ditampilkan muram. Gotham adalah jenis kota distopia. Kota tempat banyak orang merasa tidak bahagia dan takut diperlakukan tidak adil.

Kata “distopia” pertama kali diluncurkan oleh filsuf John Stuart Mill dalam pidatonya di Parlemen Inggris pada 1868. Mill mengontradiksikan “distopia” dengan “utopia”, yang menunjuk suatu tempat yang ideal. Istilah utopia dicetuskan sebagai satire politik oleh Thomas Moore pada 1516 untuk menggambarkan kesempurnaan sistem hukum, sosial, dan politik. Sedangkan distopia bagi Mill adalah kondisi sebaliknya. Dan kita melihat Gotham dalam seri film Batman selalu ditampilkan sebagai kota yang penuh cacat politik dan hukum.

Dalam artikelnya, “In Search for an Urban Dystopia: Gotham City”, penulis James Charles Mak mengatakan Gotham adalah suatu jenis kota urban yang di sela-sela gedung metropolisnya bersesakan kuburan dan rumah sakit jiwa. Gotham adalah sebuah kota urban korup yang sewaktu-waktu—kapan pun—mudah meletus menjadi anarki dan chaos. Gotham adalah kota abnormal. Adapun Alexander Wills dalam esainya, “Dystopia in The Dark Knight Trilogy”, mengemukakan karakter distopia Gotham makin ditampilkan oleh sutradara Christopher Nolan dalam trilogi Dark Knight.

Dalam trilogi itu Gotham dilukiskan terjerembap menjadi distopia akibat ambisi para politikusnya memburu utopia yang tak pernah ada. Bagi Wills, di Gotham, distopia dan utopia bukan suatu antonim atau berbeda, melainkan menghablur menjadi satu. Warga Gotham sehari-sehari hidup relatif dalam kebebasan—memiliki harapan tapi hidup sebagai masyarakat korup yang ekstrem.

Di tengah karakter kota seperti itu, tak mengherankan muncul psikopat-psikopat pembunuh yang sedari kecil merasa tersingkirkan dari masyarakat dan berkeinginan menghukum masyarakat atas perlakuan diskriminatif mereka. Psikopat-psikopat ini selalu memiliki mimpi katastrofik—menghancurkan kota dengan cara sendiri yang tak masuk akal. Tokoh Riddler, misalnya, menebar teror dengan menyajikan teka-teki. Riddler adalah orang yang gila akan permainan sandi dan kode-kode rumit. Sebagaimana dalam film, ia melakukan seri pembunuhan dengan meninggalkan jejak-jejak sandi yang harus dipecahkan Batman.  

Paul Dano berperan sebagai Riddler dalam The Batman. Warner Bros

Yang menarik, bila kita amati—lebih-lebih dalam kasus Riddler—pembalasan para psikopat atas masa kecil mereka yang telantar itu sering berbau apokaliptik yang ilusif. Kota distopia—kota yang penuh malapetaka—bagi mereka adalah sebuah kota yang harus dipermak ulang untuk sebuah katarsis. Mereka menempatkan diri bak Juru Selamat yang bertugas menghancurkan kota untuk melakukan pembersihan. Mereka yang tersisa setelah “kiamat kecil” itu kemudian seolah-olah adalah warga yang tak lagi bisa menghina mereka.   

Di titik ini sebetulnya sosok Batman adalah sosok hero soliter yang berada dalam ketegangan antara distopia dan utopia Gotham. Orang tuanya sendiri terbunuh. Ia yatim-piatu. Untuk memberantas kejahatan, ia harus menyamar, menutupi muka dan jati dirinya. Batman tahu seterusnya Gotham tak pernah lepas dari mereka yang tak bahagia. Selalu muncul musuh-musuh baru yang sinting yang susah ditebak perangai kriminalnya—yang juga seperti dia, berkepribadian ganda. Kali ini musuh itu bernama Riddler.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus