Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku karya David J. Chalmers yang berbicara seputar filsafat dan sains.
Ide-ide filsafat juga dipengaruhi perkembangan teknologi.
Para filsuf tak seharusnya fobia terhadap teknologi.
SEBAGIAN besar filsuf, terutama yang dekat dengan tradisi filsafat kontinental, cenderung memiliki pandangan suram dan pesimistis terhadap perkembangan teknologi. Seolah-olah semua kemajuan dalam bidang teknologi adalah ancaman bagi manusia. Itulah yang kemudian melahirkan apa yang disebut “teknofobia”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Martin Heidegger, misalnya, menyebut esensi teknologi sebagai pembingkaian (enframing). Artinya, penggunaan teknologi tertentu berarti masuk ke satu bentuk pembingkaian tertentu. Dalam pembingkaian teknologis itu, kita dikondisikan untuk menemukan sesuatu yang baru, tapi pada saat yang sama kehilangan sesuatu yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa filsuf dari Mazhab Frankfurt, seperti Max Horkheimer, Paul Adorno, dan Herbert Marcuse, juga punya pandangan yang kurang-lebih sama. Menurut mereka, alih-alih membantu, perkembangan teknologi justru bisa menjadi alat eksploitasi dan dominasi baru. Karena itu, sebagian filsuf tak henti-hentinya mengingatkan bahaya itu.
Fransisco Budi Hardiman, misalnya, salah seorang tokoh filsafat di Indonesia, juga menjadi bagian dari barisan filsuf yang murung nan masygul melihat perkembangan teknologi. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar filsafat, ia memandang perkembangan teknologi komunikasi digital sebagai semacam prakondisi bagi lahirnya segala keburukan akhir zaman, dari hoaks, ujaran kebencian, hingga matinya kepakaran.
Namun, tentu tak semua filsuf memiliki pandangan teknofobik semacam itu. Beberapa filsuf malah cenderung bersikap positif terhadap perkembangan teknologi. Salah satunya David J. Chalmers, filsuf asal Australia yang sekarang menjadi profesor filsafat dan ilmu saraf di New York University, Amerika Serikat.
Sejak awal kariernya sebagai filsuf, Chalmers banyak menulis topik dalam filsafat akal budi (philosophy of mind), khususnya topik-topik yang terkait dengan kesadaran. Namun, dalam Reality+: Virtual Worlds and the Problems of Philosophy, buku terbarunya yang terbit awal tahun ini, Chalmers menulis apa yang dia sebut “teknofilsafat”: satu neologisme yang digunakan Chalmers untuk menyebut sebuah bidang baru dalam filsafat.
Sama seperti filsafat teknologi, teknofilsafat juga berusaha menjawab problem-problem filosofis teknologi, seperti apa hakikat teknologi serta bagaimana relasinya dengan manusia. Namun, bedanya, selain berusaha menjawab problem-problem filosofis teknologi, teknofilsafat berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tradisional filsafat, seperti ihwal dunia eksternal dan kesadaran, dengan menggunakan teknologi.
Itulah penyebab buku yang terdiri atas tujuh bagian ini membahas kait-kelindan antara teknologi dan pertanyaan-pertanyaan tradisional filsafat. Bagian pertama, misalnya, membahas ontologi dunia virtual: apakah dunia virtual adalah nyata? Tidak seperti pandangan orang kebanyakan, Chalmers menjawab bahwa dunia virtual adalah nyata dan obyek-obyek virtual benar-benar ada (halaman 10). Ia tersusun atas bit-bit komputer yang riil dan konkret dan ada di luar pikiran manusia. Artinya, dunia virtual bukan khayalan belaka.
Bagian kedua mulai membahas pengetahuan dalam kaitannya dengan kemungkinan bahwa kita ada dalam simulasi komputer. Bagian ini dilanjutkan dengan bagian ketiga yang membahas realitas dalam kaitannya dengan kemungkinan bahwa apa yang kita cerap sebagai realitas hanyalah simulasi komputer hasil kerja seorang hacker. Dua pokok bahasan itu masing-masing terkait dengan dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan metafisika.
Tiga bagian berikutnya masing-masing membahas realitas virtual dalam konteks mutakhirnya, pikiran (mind), dan nilai. Bagian terakhir membahas persoalan-persoalan filosofis tentang bahasa, komputer, dan sains, tapi dalam konteks perkembangan teknologi realitas virtual.
Seperti dijelaskan oleh Chalmers sendiri di bagian pendahuluan, tesis utama buku ini adalah bahwa realitas virtual juga merupakan realitas sejati sebagaimana realitas nonvirtual yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Ia bukan realitas kelas kedua (halaman vi).
Tesis tersebut memiliki banyak implikasi, salah satunya terhadap persoalan nilai seperti yang dibahas di bagian keenam. Pertanyaan pokok di bagian ini adalah apakah kita bisa memiliki hidup yang baik dan bermakna di dunia virtual. Sebagaimana pertanyaan tentang ke-nyata-an dunia virtual, pertanyaan ini juga dijawab secara afirmatif oleh Chalmers.
Karena secara ontologis dunia virtual sama nyatanya dengan dunia nonvirtual, nilai kehidupan yang kita jalani di dalamnya juga sama. Jika kita bisa menjalani kehidupan yang baik dan bermakna dalam dunia nonvirtual, kita juga bisa menjalaninya di dalam dunia virtual. Demikian juga berlaku sebaliknya.
Artinya, baik atau buruknya dan bermakna atau tidaknya hidup kita tidak ditentukan oleh apakah ia dijalani di dunia virtual atau dunia nonvirtual. Sebab, bagi Chalmers, sumber segala (pe)nilai(an) dan (pe)makna(an) adalah kesadaran (halaman 299). Dengan demikian, selama melibatkan kesadaran yang sama, hidup di dunia virtual juga bisa bernilai dan bermakna seperti halnya hidup di dunia nonvirtual (halaman 282).
David Chalmers. David Clare, First Light Photography/TEDxSydney
Pandangan teknofilsafat Chalmers tersebut bisa dibilang merupakan cara baru filsafat merespons perkembangan teknologi. Namun ada satu hal yang tampaknya perlu menjadi catatan penting untuk buku ini, yaitu cara Chalmers menyamakan dunia virtual dengan dunia nonvirtual. Chalmers tampak mengabaikan perbedaan ontologis keduanya.
Unsur penyusun dunia virtual memang riil, konkret, dan ada di luar pikiran manusia. Namun, meski unsur penyusunnya riil dan konkret, penampakannya tidak demikian. Saat kita melihat sebuah taman di sebuah platform dunia virtual seperti Metaverse, misalnya, kita tidak melihat sebuah taman yang riil dan konkret seperti halnya taman di dunia nonvirtual. Kita hanya melihat penampakan taman virtual yang tidak bisa ditempati tubuh fisik kita.
Ada perbedaan ontologis yang sangat jelas antara tubuh fisik kita yang bersifat spasial dan taman virtual di dunia virtual. Buktinya, tubuh fisik kita yang bersifat spasial ini tidak bisa dipindah ke taman virtual—betapa pun taman virtual itu tampak sangat nyata bagi indra visual kita.
Namun, terlepas dari problem tersebut, buku ini sangat menyenangkan. Tidak seperti buku-buku Chalmers yang lain, buku ini sengaja dikemas secara populer. Bahkan ia juga banyak memuat contoh-contoh produk budaya populer, seperti film dan novel. Unsur pendukung lain yang membuat buku ini makin menyenangkan adalah gambar-gambar ilustrasi yang dibuat oleh Tim Peacock.
Gambar-gambar yang dibuat oleh Peacock menunjukkan bahwa konsep-konsep filsafat juga bisa disampaikan secara visual dan bahkan jenaka. Di buku ini, misalnya, Anda akan menemukan alegori gua Plato bukan lagi sekelompok orang yang ditawan di dalam gua, melainkan beberapa pengguna Metaverse yang programnya dikendalikan oleh seseorang bernama Mark Zuckerberg.
Itu semua membuktikan bahwa ide-ide filsafat juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Karenanya, meski tetap perlu kritis, para filsuf tak seharusnya fobia terhadap teknologi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo