Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejarah pencetakan Al-Quran di Nusantara dimulai pada abad ke-19.
Sejauh ini, Al-Quran cetak tertua di Indonesia ditemukan di Palembang.
Banyak beredar Al-Quran terbitan luar negeri seperti dari Mesir, Turki, dan Arab Saudi.
SEJARAH pencetakan Al-Quran di Indonesia berdasarkan temuan tim riset sejauh ini diketahui berawal pada abad ke-19. Menurut peneliti mushaf Al-Quran dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Doktor Ali Akbar, Al-Quran cetak tertua di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara, ditemukan di Sumatera Selatan dalam kondisi utuh bertarikh 1848. Benda warisan keluarga itu kini dimiliki Abd. Azim Amin, yang tinggal di Kampung Tiga Ulu, Palembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mushaf Al-Quran itu berukuran 30 x 20 sentimeter dengan bidang tulis 21 x 13 sentimeter. Setebal 607 halaman, kitab itu berbahan kertas Eropa yang tipis, putih, dan halus, tanpa kulit atau sampul. Setiap juz terbagi menjadi 20 halaman dengan nama tiap surat di bagian atas serta angka halaman di bawah. Bacaan itu juga disertai iluminasi atau hiasan yang membingkai halaman naskah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada halaman awal Surat Al-Kahfi tampak noda bekas jari. Halaman awal Surat Yasin lebih kotor. Kondisi itu, menurut Ali, menandakan kedua surat ini sering dibaca pada masa lalu. Dari catatan penerbitan atau kolofon di dua halaman akhir, terungkap Al-Quran itu ditulis oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah, lalu dicetak di tempatnya. Pencetakannya menggunakan batu atau berteknik litografi, dilakukan oleh Ibrahim bin Husin asal Singapura. Karya itu diselesaikan pada 21 Ramadan 1264 Hijriah atau 21 Agustus 1848.
Dari penerbit yang sama, ditemukan pula Al-Quran yang selesai dicetak pada Senin, 14 Zulkaidah 1270 Hijriah atau 7 Agustus 1854 di Kampung Pedatu'an, Palembang. Ali menemukan Al-Quran yang sama di masjid kompleks makam Sunan Gunung Jati, Cirebon, Jawa Barat. Bagian depan mushaf sudah tidak lengkap, tapi bagian belakangnya masih komplet hingga kolofon. Sejauh ini tim riset belum bisa mengetahui pasti luas sebaran Al-Quran lawas itu karena langkanya bukti.
Pada zamannya, harga Al-Quran cetak itu tergolong sangat mahal. Harga kitab cetakan 1854 di Palembang, kata Ali, 25 gulden per eksemplar. “Kira-kira seharga kerbau waktu itu. Kalau harga sekarang mungkin sekitar Rp 15 juta,” ujarnya, Rabu, 11 Mei lalu.
Setelah itu, menurut Ali, muncul periode Al-Quran cetakan Singapura pada 1860-1870-an yang beredar di Indonesia. “Singapura pada waktu itu menjadi pusat embarkasi haji untuk Nusantara,” ucapnya. Tim riset menemukan jejak sebarannya dari Aceh, Thailand, Filipina selatan, hingga Maluku.
Alquran cetakan tertua di Indonesia bahkan se-Asia Tenggara, yang menjadi benda warisan keluarga Abd Azim Amin. seamushaf.kemenag.go.id
Selanjutnya, muncul Al-Quran cetakan Bombay (Mumbai), India, pada 1870-an. Berciri khas huruf Arab yang tebal, Al-Quran cetakan Bombay berpengaruh luas di Asia Tenggara. Bukti sebarannya ditemukan di Indonesia, Malaysia, dan Thailand selatan. Kitab suci itu diproduksi dan dijual secara besar-besaran dengan mesin cetak sehingga biaya dan harga jualnya murah. Kitab itu pun bisa tersebar luas. Pun buku-buku keagamaan, bahkan ada yang berbahasa Melayu dan Jawa. Mulai 1930-an, Ali menambahkan, sebagian penerbit lokal di Indonesia mereproduksi Al-Quran cetakan India. “Al-Quran India itu bertahan sampai lama sekali, kami temukan hingga 1960-an,” tuturnya.
Selain itu, beredar Al-Quran cetakan Turki dan Mesir, tapi temuannya tidak banyak. Menurut Ali, kitab itu dulu dibawa oleh pelajar atau haji. Berbeda dengan mushaf dari India yang menggunakan rasm Utsmani, Ali menjelaskan, mushaf dari Turki selalu ditulis dengan rasm Imla'i. Ciri khas lain adalah setiap halaman selesai dengan akhir ayat—disebut ayat pojok—sehingga cocok bagi para penghafal Al-Quran. Penerbit yang konsisten mencetak mushaf itu adalah Menara Kudus di Jawa Tengah.
Meluasnya peredaran Al-Quran terbitan luar negeri seperti dari Mesir, Libanon, dan Pakistan pada 1970-an dengan beragam variasi cetakan memunculkan Mushaf Al-Quran Standar Indonesia pada 1984. Mushaf itu dirumuskan lewat Musyawarah Kerja Ulama Al-Quran selama sembilan tahun sejak 1974. Standar itu menjadi acuan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama untuk memeriksa isi cetakan Al-Quran yang beredar di masyarakat.
Ada tiga jenis mushaf Al-Quran yang dibakukan, yaitu mushaf Utsmani untuk umum, Bahriah bagi para penghafal, dan Braille buat kalangan difabel netra. Standar itu pada hakikatnya membakukan mushaf Al-Quran rasm Utsmani pada harakat dan tanda baca serta menyederhanakan tanda wakaf dari 12 menjadi tujuh. “Standar Indonesia ini memakai Al-Quran cetakan India,” kata Ali, yang juga mantan koordinator peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an.
Belakangan ini, menurut Ali, muncul kecenderungan yang membesar di Indonesia, juga secara global. Masyarakat tidak lagi menggunakan Al-Quran standar Indonesia, tapi memakai mushaf Arab Saudi. “Ini perkembangan baru dalam lima tahun terakhir dan makin ke sini makin banyak,” ujarnya. Fenomena itu terkait dengan pembagian Al-Quran cetakan Arab Saudi yang gencar dengan jumlah besar ke negara-negara Islam sejak 1985.
Ali menuturkan, kitab yang dikenal sebagai mushaf Al-Madinah Al-Munawaroh itu makin banyak dipakai lembaga pendidikan Islam dan pondok pesantren sebagai acuan. Di mancanegara, seperti Uzbekistan dan Malaysia, ditetapkan penggunaan Al-Quran cetakan Arab Saudi secara nasional pada 1995. “Tadinya Malaysia seperti Indonesia, menggunakan cetakan India,” ucapnya.
Perbedaan kitab cetakan India dan Arab, menurut Ali, ada pada tanda baca. “Tapi itu bukan sesuatu yang remeh karena menyangkut kebiasaan seseorang atau masyarakat ketika membaca Al-Quran,” tuturnya. Al-Quran cetakan Arab Saudi untuk mayoritas warga Indonesia bisa menjadi masalah karena tanda bacanya berbeda. Misalnya, dalam kata “Allah”, harakat pada Al-Quran mushaf Arab Saudi berupa garis miring, tidak berdiri seperti di kitab cetakan India. Perbedaan tanda itu terkait dengan panjang-pendek bacaan kata. “Termasuk soal tajwid ini lebih kompleks,” tuturnya.
Menurut Ali, Al-Quran cetakan Arab Saudi digunakan oleh orang-orang yang bisa berbahasa Arab sehingga tanda bacanya tidak lengkap seperti standar Indonesia. “Kita harus belajar lagi mengenali tanda-tanda baca di Al-Quran Arab,” katanya. “Al-Quran cetakan Mujamma' al-Malik Fahd itu sumber dasar naskahnya Al-Quran Mesir.”
Kondisi ini, Ali menambahkan, menimbulkan pertanyaan bersama: apakah Al-Quran standar Indonesia perlu diubah? Ali khawatir perbedaan itu bisa menimbulkan kekacauan di masyarakat. Selain itu, sekarang muncul kerancuan mengenai rasm Utsmani yang diperkeruh sebagian penerbit Al-Quran. “Beberapa penerbit menggunakan istilah rasm Utsmani pada cover-nya secara salah kaprah,” ujarnya. “Mereka menganggap model tulisan pada Al-Quran Arab Saudi itu rasm Utsmani dan Al-Quran standar Indonesia itu bukan, padahal rasm Utsmani juga.”
Menurut Ali, generasi pertama pencetak mushaf Al-Quran di Indonesia adalah Abdullah bin Afif dari Cirebon yang memulai usahanya pada 1930-an, Salim bin Sa'ad Nabhan dari Surabaya, dan Percetakan Al-Islamiyah asal Bukittinggi, Sumatera Barat. Setelah itu muncul penerbit Al-Quran dan buku-buku keagamaan di berbagai daerah lain, seperti Penerbit Al- Ma'arif di Bandung yang didirikan Muhammad bin Umar Bahartha pada 1948. Lalu lahir Penerbit Bina Progresif, CV Mahkota di Surabaya, PT Bina Ilmu, dan lain-lain. Setelah era krisis moneter 1998, tampilan mushaf terus diperbaiki penerbit sesuai dengan selera masyarakat.
Di era Al-Quran digital, Ali mengungkapkan, minat orang untuk membeli Al-Quran cetak masih tinggi. “Masyarakat kota tidak cukup hanya punya satu Al-Quran,” katanya. Selain terjemahan, ada Al-Quran yang khusus untuk perempuan atau anak-anak. Cetakan baru dengan model anyar juga diminati. “Penerbit memanjakan sehingga orang tertarik membeli.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo