Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALI ini Anda tidak perlu memiliki dana miliaran rupiah untuk mengoleksi lukisan Djoko Pekik. Cukup sediakan saja lebih-kurang Rp 5-7 juta, keberuntungan mungkin ada di tangan Anda. Ini bukan imajinasi. Sebab, melalui kegiatan “Pasar Cemangking” di Ada SaRanG Café, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, asumsi mendapatkan lukisan mahal tapi murah bisa terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasti muncul seloroh, “Ya, kalau beruntung!”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Soal keberuntungan, ya, pasti. Sebab, seni selalu berimpit dengan keberuntungan. Bukan perkara mudah untuk mengoleksi lukisan mahal (baca: master atau maestro). Bisa jadi Anda punya dana miliaran rupiah tapi tetap tak bisa memiliki lukisan seorang maestro, jika tidak beruntung.
Keberuntungan dan seni sudah lama menjadi perkara. Bahkan dua negara pernah bermasalah hanya karena lukisan Mona Lisa. Demi meraih laba besar, seorang pemodal kadang harus mampu menerapkan strategi dagang (ekonomi) yang jitu. Entah kolektor, investor, makelar, entah gallerist, semua selalu berpikir super-kreatif untuk mendapatkan karya seni terbaik, demi keuntungan dan keberuntungan.
Seniman pun perlu berstrategi agar dekat dengan keberuntungan, terutama dalam konteks pemasaran karya. Sebab, selain perlu memiliki keterampilan teknik, sosial, komunikasi, dan psikologi, seniman harus punya keterampilan finansial yang baik. Melalui kemampuan inilah seniman berlaku sebagai “pengusaha”, paham akan dinamika ekonomi/pasar dan berani menerobos batas-batas kerja.
Munculnya acara-acara yang dipenuhi fakta keberuntungan—finansial dan eksistensial—patut disyukuri. Apalagi di masa pasca-pandemi saat ini. Agenda yang berbau keberuntungan jelas berimbas pada berbagai sektor, termasuk pertumbuhan kolektor lukisan. Perupa jelas diuntungkan atas hadirnya kolektor lama dan baru.
Pertumbuhan kolektor biasanya dipicu sejumlah hal. Salah satunya kemunculan bisnis investasi alternatif, seperti ekonomi/industri kreatif. Selain itu, tumbuhnya pameran seni di pusat pasar seni baru, seperti Hong Kong, Beijing, Singapura, Dubai, Abu Dhabi, dan Yogyakarta, memicu perbincangan dan perilaku budaya jual-beli karya seni.
Belum lagi hadirnya lokus-lokus signifikan dalam ekonomi seni (seperti art fair, lelang, biennale, dan world expo) di tingkat regional dan global yang terus memicu para petualang seni mengoleksi karya. Jangan lupa, masalah penjarahan dan pencurian benda seni atau artefak budaya, juga aturan droit de suite (hak jual mengikuti pembeli), jelas akan melahirkan kelas-kelas keberuntungan bagi seniman, kolektor, dan negara.
Namun, apa pun situasinya, semua tetap dikembalikan kepada kerja perupa. Para perupa memerlukan strategi agar karya mereka dapat diteruskan kepada yang mengapresiasi. Perupa pun perlu beradaptasi dengan teknologi baru. Agar mereka dapat membangun profesionalitas, martabat, integritas, dan kegotongroyongan, diperlukan cara-cara yang baik.
Kegiatan artistik dan kesuksesan menjadi hal penting untuk mengukur reputasi seniman dan karya-karyanya. Terlebih, di dunia global, seni akhirnya telah menjadi lahan ekonomi yang sangat baik dan berharga, apalagi jika negara turut mengoleksinya. Di samping itu, karena bersentuhan dengan ekonomi, profesi seniman dianggap sebagai peluang kerja yang luar biasa. Tak aneh bila sesekali Djoko Pekik perlu menjual karyanya dengan harga murah, kan?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo