Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Flores Bernyanyi, Delapan Penjuru

Festival virtual "Flores the Singing Island" yang digagas musikus Ivan Nestorman menampilkan keunikan pertunjukan vokal dari delapan penjuru Flores.

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DELAPAN suara dengan jangkauan nada berbeda menyusun harmoni menyanyikan musik Flores dengan rapat dan tangkas. Yang termuda adalah bocah lelaki kelas VI sekolah dasar. Penyanyi lain berbeda satu-dua generasi di atasnya. Dengan iringan lima pemusik, grup ini tampil di tiga tempat masyhur di Ende, Nusa Tenggara Timur: di depan patung Sukarno dan pohon sukun tempat Pancasila dirumuskan, di rumah tenun ikat, dan—yang paling memanjakan mata—di atas Bukit Nio Lena di Desa Wolotopo yang langsung berbatasan dengan laut biru lazuardi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kure kure uta bue
Degha degha nilu mela
Pa'u koro ma' bai ro
Ta'u woki ola lo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagu yang mereka lantunkan, “Kure Kure Uta Bue”, tak gamblang siapa yang mengarang, tapi jelas bersumber dari keseharian dan kejenakaan masyarakat daerah Lio di Ende. Lagu itu bercerita tentang anak-anak kampung yang kelaparan setelah puas mandi di sungai dan membayangkan santapan apa yang menanti mereka di rumah.

Memahami larik pertama lagu itu, air liur bisa terpancing menetes karena narasi kenikmatan sayur kacang yang makin sedap jika dicampur sambal jeruk purut dan lawar daun pepaya berbaur jagung muda. Jangan lupa pula tambahkan lombok, tapi sedikit saja agar ingus tak meleleh. “Lagu ini masih sering dinyanyikan anak-anak di kampung, misalnya pada malam bulan terang,” kata Chrisostomus Angelus Gadi Kapo alias Oston, pemimpin kelompok musik itu, saat dihubungi pada Jumat, 20 Agustus lalu.

Sanggar Seni Wela Rana asal Ruteng. Youtube/Kemenparekraf

Oston membawa kelompoknya, Komunitas Rumah Kreasi Teater Mata Flores, menjadi delegasi Kabupaten Ende dalam “Flores the Singing Island Virtual Festival” yang tayang di kanal YouTube Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada Selasa, 17 Agustus lalu. Festival ini merayakan kekayaan warna vokal, jangkauan nada, teknik bernyanyi, dan lagu-lagu dari delapan kabupaten di pulau itu. “Bernyanyi adalah kekhasan utama Flores. Jika ada dua-tiga orang Flores berkumpul, itu bisa langsung pecah suara dan membuat harmoni,” ucap Ivan Nestorman, musikus Flores penggagas utama festival ini.

Ada delapan kabupaten dari seluruh Flores yang turut serta dalam festival itu, yakni Manggarai, Ngada, Nagekeo, Manggarai Barat, Manggarai Timur, Ende, Sikka, dan Flores Timur. Ivan menyebutkan tiap wilayah itu punya kekhasan vokal. Di Manggarai, Ivan mencontohkan, orang cenderung bernyanyi dengan gaya yang dalam teori musik disebut polifoni. Di Ja’i, orang bernyanyi dengan nada sol sebagai nada tertinggi. Adapun Maumere dikenal dengan gaya bernyanyi onomatope masyarakatnya.

Sebaliknya, di Lio, Ende, tempat asal komunitas Teater Mata, unsur puitis diutamakan dalam lantunan lagu. Lirik-lirik lagu tradisional daerah ini memiliki keteraturan rima. Selain itu, untuk menyanyikannya, dibutuhkan ketahanan karena lirik-lirik panjang perlu dilantunkan dalam satu tarikan napas. 

Oston meyakini macam-macam teknik ini bersumber dari warisan yang telah melekat dan pembelajaran mandiri. “Kami mengerti nada suara tanpa sekolah. Kami bernyanyi tanpa ada pendidikan teknik vokal dasar. Begitu bernyanyi, kami dapat langsung membagi suara dengan sendirinya. Itu lah orang Flores,” ujar Oston.

Dengan keunikan corak vokal itu, ditambah keapikan lanskap Flores yang juga dijahit ke dalam tayangan, festival daring ini menarik perhatian lebih dari 1.000 orang yang menonton secara live pada hari peringatan Kemerdekaan RI. Selain itu, hingga saat tulisan ini disusun, jumlah tayangan rekaman festival terus meningkat dan saat ini berada di angka 40 ribu lebih.

Nagakeo Ansamble, dari Kabupate Nagakeo. Youtube/Kemenparekraf

Ivan Nestorman, yang memprakarsai festival ini bersama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo, meminjam istilah Flores the Singing Island dari catatan Jaap Kunst yang berkunjung ke pulau yang juga dijuluki “Pulau Bunga” ini pada 1930. Etnomusikolog Belanda itu datang dengan ekspektasi tinggi. Tak hanya terpenuhi, ekspektasi itu bahkan terlampaui oleh kekuatan bernyanyi orang-orang Flores yang kemudian ia sandingkan dengan ciri vokal dari wilayah tenggara Eropa.

Kehadiran festival ini juga membuka kesempatan bagi sanggar-sanggar kesenian Flores untuk kembali bergeliat. Pandemi Covid-19 melumpuhkan mereka. Sebelum itu, tren mutakhir pun sudah cukup menggoyahkan kelestarian beragam lagu dan instrumen tradisional yang berkembang secara organik di tanah Flores. 

Salah satu instrumen lokal nyaris punah yang muncul dalam festival ini adalah cakatinding. Dalam penampilan tujuh orang dari Sanggar Seni Wela Rana asal Ruteng, salah satunya memainkan alat musik dari bambu yang dibunyikan dengan pukulan ini.

Felix Edon, pemimpin sanggar itu, mulai berinovasi dengan cakatinding pada 2013. “Alat musik ini hampir hilang karena bagi anak-anak sekarang bunyinya mungkin dianggap tidak enak,” tutur Felix lewat wawancara via telepon, Kamis, 19 Agustus lalu.

Cakatinding jamak digunakan di masa lampau oleh warga Ruteng yang sedang bekerja di kebun. Instrumen ini terbuat dari bambu yang dikupas kulit luarnya, lalu dicungkil bagian dalamnya. Aslinya, alat ini hanya terdiri atas dua-tiga potongan bambu dan belum menghasilkan pola bunyi. “Pada 2013, saya membuat alat ini dengan jumlah bambu lebih banyak sehingga dapat bernotasi,” ucap Felix.

Ring Roots, dari Mangarai Timur. Youtube/Kemenparekraf

Sanggar Wela Rana kini memiliki lima unit cakatinding. Selain itu, Felix dan kawan-kawan menggunakan juk (semacam gitar bersenar ganda dengan empat nada) dalam penampilan mereka. Juk atau ketadu mara ini cukup banyak digunakan oleh sanggar kesenian lain. Namun pembuatnya makin jarang.

Selain menghadirkan alat musik etnik, festival ini tetap menerima elemen modern dengan terbuka. Ada penampil yang memadukan lagu Flores dengan musik band. Komunitas kesenian lain yang juga terpilih mewakili wilayahnya adalah Taroka dari Ngada, Nagekeo Ansambel dari Nagekeo, Orkestra Satu Sikka, Ringrotts Band, serta Flores Human Orchestra. 

Hal yang sedikit menimbulkan pertanyaan, dari semua kelompok yang tampil, komposisi pemusik selalu didominaasi laki-laki. Begitu pula komposisi birokrat yang turut memberi kata sambutan. Perempuan, dua atau tiga orang, biasanya ditaruh di tengah-tengah ibarat hiasan. Jika perhelatan digelar kembali, mungkinkah kita akan melihat lebih banyak ina (ibu) yang dengan lantang bernyanyi “Flores the singing island/Flores the dancing island?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus