Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penyair Sutardji Calzoum Bachri berusia 80 tahun.
Penyair Taufik Ikram Jamil menuliskan biografi kesaksian.
Riwayat Sutardji yang terkenal sebagai penyair puisi mantra.
DUA puluh empat Juni lalu, penyair Sutardji Calzoum Bachri genap berusia 80 tahun. Tak banyak yang merayakannya. Tapi sebuah buku mengenai dirinya yang ditulis oleh penyair Taufik Ikram Jamil diluncurkan. Buku berjudul Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian itu membahas riwayat hidup Sutardji semenjak kecil, juga bagaimana lingkungan tradisi Melayu membentuk pandangannya terhadap kata-kata, makna, dan sajak. Sutardji menyatakan bahwa dia menulis di atas sebuah kultur tulisan—subkultur yang telah memiliki akar jauh, yaitu mantra dan pantun Melayu. Pengamat sosial Ignas Kleden mengatakan sajak dan konsep Sutardji tentang kata menerobos hipokrisi dalam bahasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
HAMPARAN lahan kosong itu kini dilekati tetumbuhan liar. Tak ada isyarat bahwa puluhan tahun lalu di sana pernah berdiri sebuah hunian berarsitektur Belanda. Dulu rumah itu beberapa kali berganti gaya, direnovasi sesuai dengan tren pada masanya. Pada 1950-an, rumah yang berlokasi di kawasan Gudang Minyak, Batu 2, Tanjungpinang, Kepulauan Riau, itu mematut diri dengan taman beraneka bunga. Di sanalah dulu penyair Sutardji Calzoum Bachri remaja sempat tinggal bersama orang tua dan kakak-adiknya.
Sutardji, 80 tahun, muncul di panggung sastra Indonesia dengan kredo puisi yang menghantam. Di majalah Horison Nomor 12 Tahun IX Desember 1974, ia menuliskan dari Bandung—tempat tinggalnya saat itu—kredonya yang terkenal: mengembalikan kata kepada mantra. “Dalam (penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat dan menari-nari di atas kertas, mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri…. Sebagai penyair saya hanya menjaga—sepanjang tidak mengganggu kebebasannya—agar kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri bisa mendapat aksentuasi yang maksimal…,” tulisnya.
Para kritikus menganggap pemikirannya itu melawan bentuk puisi yang sudah mapan. Pengamat sastra Dami N. Toda sampai menyatakan bahwa bila sajak Chairil Anwar ibarat mata kanan puisi Indonesia, sajak Sutardji adalah mata kiri. Sebab, Sutardji menggeledah tata bahasa, membebaskan kata dari penjajahan pengertian, menganggap kata sebagai suatu hal yang berdiri sendiri dan tak memikul tanggung jawab atas konsep apa pun.
Sutardji saat itu dengan garang memproklamasikan bahwa dia membebaskan kata dari tradisi lapuk kamus yang membelenggu. Bak Zarathustra, ia berseru agar kata-kata menolak kolonisasi moral kata serta penaklukan gramatika. Mengusung kredo demikian, penampilannya sebagai penyair di panggung tak terelakkan eksentrik. Liar. Dengan jaket jins, sebotol bir kerap berada di podium saat ia melantangkan sajak-sajaknya.
“Kredo itu ditulis Sutardji di Bandung. Saat itu yang mengetikkannya adalah penyair (almarhum) Hamid Jabbar yang dulu juga tinggal di Bandung dan bersama-sama Sutardji kemudian hijrah ke Jakarta,” kata Taufik Ikram Jamil, yang menerbitkan buku Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian pada Juni lalu. Buku Taufik ini panjang-lebar menelusuri proses kreatif Sutardji secara intim dengan mewawancarai beberapa sanak saudara dan sahabat Sutardji. “Kalau Tardji (panggilan Sutardji Calzoum Bachri) saat itu suka menampilkan diri dengan bir, menurut saya karena ketika itu secara umum bir memang murah di Kepulauan Riau. Sejak Indonesia merdeka sampai 1963, Riau menggunakan mata uang dolar. Nilai tukarnya tinggi sehingga orang membeli bir murah. Tardji merasakan suasana bagaimana Riau masih menggunakan uang dolar. Ia berangkat ke Jawa pada 1958,” ucap Taufik.
Pentas tari di acara Festival Sutardji Calzoum Bachri di Pekanbaru, Riau, Juni 2021. TEMPO/Nizamul Akhyar
Tentu kini, pada 80 tahun usianya, Sutardji sudah jauh dari bir di panggung. Tapi ia masih eksentrik. Tahun ini, ia meluncurkan buku kumpulan puisi Kecuali, yang lahir kembali dari kumpulan puisi Petiklah Aku. Di situ Sutardji menuliskan kredo kedua yang memperkuat kredo pertamanya. Kredo kedua Sutardji terasa cenderung spiritual. Ia menyatakan kata-kata tidak sekadar digunakan untuk menyampaikan rasa atau puisi kepada pembaca, tapi, bisa jadi, dalam kecenderungan ekstremnya, kata-kata adalah puisi itu sendiri yang datang menjadi. Sutardji dalam kredo keduanya itu menegaskan bahwa Tuhan Yang Maha Kecuali mengecualikan puisi dari kelaziman kamus: tradisi, sejarah, nilai kolektif.
Sosiolog dan pengamat sastra Ignas Kleden menilai Sutardji meniupkan fungsi puisi yang lebih radikal ketimbang penyair lain. Pemikiran peneliti dari Barat yang menyebutkan ada hubungan antara sampiran dan isi dalam sajak, misalnya, disangkal Sutardji dengan praktik langsung dalam sajaknya. Suatu kali, Sutardji mengubah sampiran pantun dengan bunyi yang tak mengandung makna leksikal. Ia menggantinya dengan suku kata berjumlah sama dan rima pada akhir kalimat. Ignas mencontohkan syair ini:
Pulau pandan jauh di tengah/di balik pulau angsa dua/hancur badan dikandung tanah/budi baik dikenang juga
Oleh Sutardji, dua sampiran diubah menjadi:
Cacau landan taktak zizangah/tuta kadu pagara mua/hancur badan dikandung tanah/budi baik dikenang juga
“Walau suku katanya diganti, sajak itu nyatanya masih bisa dinikmati,” kata Ignas. Taufik Ikram Jamil pun dalam bukunya melihat Sutardji banyak menyerap roh pantun Melayu, tapi kemudian memain-mainkannya sendiri menjadi pengucapan yang lebih dalam. Dalam teka-teki Melayu-Riau, menurut Taufik, misalnya, terdapat ungkapan begini:
Kucipat kakinya
Kudapat kakinya
Kutunam kakinya
Sawa tu tak berkaki
Angsa tu dua kakinya
Taufik membandingkannya dengan sajak Sutardji:
Kuharap isiNya kudapat remahNya
Kulahap harinya kurasa resahNya
Kusangat inginNya kujumpa ogahNya
Kumau Dianya kutemu jejakNya
Menurut Taufik, Sutardji pernah mengatakan esensi sampiran ada pada jumlah kata dan bunyi terakhir yang sama dan larik pantun. Taufik melihat dalam manifestasinya, Sutardji bisa memain-mainkan larik dan sampiran dengan kata-kata tanpa arti tapi pas. Misalnya:
Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah saya menumpang mandi
Kalau ada umurku panjang
Bolehlah kita ketemu lagi
Di tangan Sutardji, pantun itu bisa menjadi sajak:
zuku zangga tukali tangtang
zegeze geze papali podi
kalau ada umurku panjang
bolehlah kita bertemu lagi
Atau nikmatilah sajak Sutardji ini:
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam legotokoco
zukuzangge zegezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegese zukuzang
Ga segezegeze zukusangga zegezegeze zu
kuzangga zegezegeze aahh…!
Nama nama kalian bebas
Carilah tuan semaumu
“Dalam tradisi lisan Melayu, banyak onomatope, kata-kata tanpa arti. Dari perspektif ini sebetulnya bisa dipahami eksperimen-eksperimen Sutardji,” ujar Taufik. Sutardji sendiri kepada Tempo mengatakan bahwa dia menulis di atas sebuah kultur tulisan yang memiliki akar dalam. "Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya subkultur yang saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra," katanya. Menurut Ignas, Sutardji sebenarnya bukan satu-satunya penyair yang menghindari makna leksikal. Sebelumnya, Ibrahim Sattah, pujangga dari Kepulauan Riau, melakukan hal yang sama. Namun Sutardji-lah yang lebih tegas mendeklarasikan hal itu. "Dia punya semangat pembaruan dalam puisi Indonesia. Perjuangan Sutardji adalah menjadikan puisi mampu menerobos hipokrisi yang ada dalam bahasa," tutur Ignas melalui sambungan telepon, 31 Juli lalu.
Ignas mengenal Sutardji pada 1990-an, setelah ia pulang dari sekolah doktoral di Universität Bielefeld, Jerman. Ketika itu, Sutardji menyebut analis (puisi) bisa menggunakan tangan kedua, sementara penyair mesti menggunakan tangan pertama. Bagi Sutardji, penyairlah yang punya hubungan paling khas dengan bahasa, dibandingkan dengan profesi lain. Kata-kata, bagi Sutardji, harus punya intuisi sendiri dan dinamika. Adapun bahasa mesti mencari maknanya sendiri.
Terlepas dari sejumlah terobosan yang Sutardji catatkan dalam kredo puisi, Ignas menganggapnya punya keterbatasan. Kadang, saat menghindari kode leksikal dan memungut sembarang bunyi untuk puisinya, Sutardji gagal mengungkapkan makna yang ia kehendaki. Begitu pun saat ia menulis cerita pendek, justru karya yang puitis, bukan realis, yang dinilai Ignas lebih berhasil.
•••
SUTARDJI Calzoum Bachri lahir pada 24 Juni 1941 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Ia anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Muhammad Bachri, polisi asal Jawa. Sedangkan ibunya, Mai Kulsum, orang Melayu. Riwayat keluarga Sutardji—termasuk kakak perempuan yang sangat dihormati Sutardji, mendiang Surtini—diceritakan lengkap oleh Taufik Ikram Jamil dalam Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri: Biografi Kesaksian. Buku itu sejatinya dipersiapkan Taufik sejak bertahun-tahun lalu, tapi tak kunjung terbit lantaran Sutardji tak kunjung sempat membacanya dan memberikan persetujuan. "Naskahnya sudah diserahkan kepada saya tiga tahun lalu, tapi tidak kunjung selesai saya baca karena rasanya aneh membaca cerita soal diri sendiri," ujar Sutardji kepada Tempo. Dalam buku biografi itu disebutkan Sutardji membubuhkan nama ibu dan ayah di belakang namanya dengan sedikit modifikasi: “Kulsum” diubah menjadi “Calzoum”.
Keluarga Sutardji sering berpindah rumah mengikuti penempatan tugas Muhammad Bachri. Selain pernah menghuni rumah di kawasan Gudang Minyak, Tanjungpinang, keluarga Bachri sempat tinggal di Kampung Bukit, yang jaraknya sekitar 1 kilometer. Namun hunian itu sudah bersalin rupa menjadi bangunan taman kanak-kanak swasta berbentuk rumah panggung. Sementara Kampung Bukit berlokasi di dataran tinggi, Gudang Minyak berada di pesisir laut. "Masa kecil kami banyak dihabiskan dengan bermain di laut,” ucap adik Sutardji, Risman, saat ditemui pada 30 Juli lalu.
Sutardji Calzoum Bachri saat membaca sajak di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1973. Dok.TEMPO/Ali Said
Walau sering dilarang mandi di laut, Sutardji tak peduli. Dari sejumlah wawancara dengan sahabat Sutardji, Taufik bercerita, suatu kali, Sutardji sengaja mandi telanjang di laut. Bocah-bocah perempuan yang juga sedang mandi di sana kabur dibuatnya. Setelah kejadian itu, tak ada anak perempuan yang mau mandi di laut jika mendapati Sutardji sedang berada di sana. Risman mengenang, Sutardji kecil memang tak bisa diam alias lasak dalam bahasa Melayu. "Namun dia sosok pelindung. Saya selalu menurut dan mengikuti arahannya," kata Risman, yang beberapa kali menjadi camat di Kepulauan Riau.
Sutardji tumbuh dalam keluarga yang senang menulis. Mereka terbiasa mengobrol sehari-hari dengan bahasa Indonesia alih-alih memakai bahasa lokal. Bapaknya rajin membuat catatan harian, sementara sang ibu sering membelikan dia komik seperti Donal Bebek dan Flash Gordon. Tanjungpinang—kota tempat tinggal Sutardji—tak jauh dari Pulau Penyengat. Dalam sejarah kesusastraan Melayu, di sanalah untuk pertama kalinya Haji Ibrahim membukukan pantun-pantunnya dalam Pantoen2 Melajoe. Buku itu kemudian diterbitkan ulang oleh Yayasan Pusaka Riau dengan judul Pantun-pantun Melayu Kuno. Adapun Raja Ali Haji melahirkan gurindam, cara penulisan yang belum pernah ada dalam tradisi tulis Melayu.
Menurut Taufik, banyak diksi dalam sajak Sutardji di buku O Amuk Kapak lekat dengan dialek Melayu Riau, seperti amuk, buaye, dan pukau. Dalam sajak “O”, misalnya, Sutardji menepikan kaidah tanda baca. Taufik mengatakan hal itu membuat pembaca mesti menikmati karyanya dengan intuisi seperti saat membaca naskah Melayu Kuno. Sajak-sajak Sutardji, Taufik melanjutkan, mengingatkan orang pada sistem penulisan Arab Melayu. Penulisan itu memakai aksara kapital pada judul, tapi kemudian menggunakan huruf kecil dalam isi puisinya persis dengan huruf Arab Melayu. Begitu pun sajaknya yang tak berhias tanda baca. "Sebagian besar teks Arab Melayu dari Riau seperti itu,” ujarnya.
Sembilan tahun tinggal di Riau daratan dan sembilan tahun di Kepulauan Riau, Sutardji berlabuh ke Jawa pada 1958. Ia semula berencana kuliah di Yogyakarta. Namun, saat tiba di Tanah Abang, Jakarta Pusat, ia berputar haluan. Bandung menjadi tujuannya dengan pertimbangan di sana ada seorang kawannya dari Riau bernama Sadar. Di Bandung, Sutardji menjadi mahasiswa sastra Inggris Universitas Padjadjaran. Abang Sutardji, Sudirman, juga tinggal di Bandung. Sudirman juga dikenal memiliki perhatian terhadap sastra.
Taufik Ikram Jamil mengisahkan bagaimana seniman-seniman asal Riau di Bandung, seperti Hasan Junus dan Idrus Tintin, sering berkumpul di rumah kontrakan Sudirman untuk membahas dan membualkan masalah sastra. Sutardji tak pernah bergabung. Tapi tiba-tiba Sutardji memperlihatkan sajak-sajaknya dimuat di Horison pada 1968. Sudirman pun kaget karena selama ini menganggap adiknya sebagai anak bawang. “Selama tidur dengan Sutardji dua tahun saya tidak pernah melihat ia menulis. Ia menulis sembunyi-sembunyi, biasanya di perpustakaan,” kata Sudirman kepada Taufik. Sutardji hanya satu setengah tahun kuliah di jurusan sastra. Sutardji lalu menempuh studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang juga tak ia tuntaskan. "Skripsi (di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) saya tinggalkan karena dorongan menyair besar sekali. Walau saya menyadari pilihan ini akan menyusahkan secara ekonomi, ya sudahlah (tidak mengapa) sengsara," tutur Sutardji.
Dalam buku Taufik disebutkan sajak-sajak awal Sutardji dimuat di beberapa media masa Bandung, termasuk majalah mahasiswa. Namun sajak-sajak ini tidak turut dimuat dalam O Amuk Kapak. Salah satunya “Ballada” yang dimuat di Mahasiswa Indonesia edisi 15 Juni 1969, “Tulisan Pada Makam” (Barata Minggu, 1979), dan “Rambut” (Pikiran Rakyat, November 1976). “Sutardji kaget saya bisa menemukan sajak-sajak awal-awalnya. Mahasiswa Indonesia itu media mingguan yang dipimpin Rahman Tolleng,” ucap Taufik.
Sejak dulu Sutardji terbiasa menulis dengan tangan di atas kertas. Ia tak suka menggunakan mesin tik. Sutardji mengungkapkan, kadang dia menuliskan dua-tiga kalimat pada kertas, lalu memasukkan kertas itu ke kantong dan meneruskan tulisan jika menemukan kata lanjutannya. Kebiasaan ini membuat sajaknya tak terdokumentasi dengan baik. Sebagian naskahnya bahkan hilang karena rumahnya terkena banjir. Nama Sutardji langsung melambung saat sajak-sajaknya menembus Horison, terutama di kalangan penyair Bandung yang kerap berkumpul di kawasan Jalan Braga (sekarang kantor organisasi Angkatan Muda Siliwangi). Di sana Sutardji kerap berdiskusi dengan kawan-kawannya di "geng Braga", seperti Karno Kardibrata, Udin Lubis, Alinafiah Lubis, Pesu Aftaruddin, dan Hidayat Ipd.
Karno menuturkan, di Braga, Sutardji menjadi semacam kepala geng. Sutardji, menurut Karno, saat itu terlihat garang dengan cara berpakaian seenaknya. Penampilannya kontras dengan Remy Sylado yang modis, juga dengan W.S. Rendra yang flamboyan. Meski bertampang sangar, Sutardji sering membuat kawan-kawannya tertawa karena ulah dan ucapannya. Pernah suatu kali mereka menginap bareng di asrama putra. Di tengah tidurnya, Sutardji mengigau keras sekali. Ia berteriak, “Allah! Allah!" Hal itu membuat kawannya, seniman Sanento Yuliman, meledek dia karena igauannya yang religius.
(Dari kiri) Sutardji Calzoum Bachri, Christine Hakim, dan Renny Putu Wijaya alias Renny Jayusman, membaca puisi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1983. Dok.TEMPO/Dodo Karundeng
Karno ingat, geng Braga biasa keluyuran bareng, mengobrol hingga larut malam, dan sesekali mengkritik penyair lain. "Di Braga ada semangat pembaruan. Banyak gagasan yang kami bahas sehingga kemudian lahir Pengadilan Puisi," ujar Karno kepada Tempo melalui sambungan telepon. Pengadilan Puisi Indonesia Mutakhir digelar di Bandung pada 8 September 1974. Dalam hajatan itu, "jaksa" penyair Slamet Kirnanto melontarkan dakwaan terhadap puisi Indonesia yang ia sebut tak sehat dan tidak jelas. Menurut Karno, Sutardji selalu mengeksplorasi kata dengan gaya mantra. Walau demikian, kawannya itu tak pernah tertarik kepada mantra dan cerita rakyat daerah selain asal Riau. Hanya sekali Karno mendapati Sutardji mengungkapkan ketertarikan terhadap mantra orang Bajau, suku nomaden yang dikenal biasa hidup di atas laut. Karno mengenang momen saat Sutardji mendapat undangan berpentas di Taman Ismail Marzuki dan kawan-kawannya di Braga, termasuk dia, ikut mengantar sang penyair ke Jakarta. Melihat cara Sutardji membaca puisi di panggung dengan aksi teatrikal yang atraktif, Karno terkejut.
•••
SAAT Taman Ismail Marzuki (TIM) belum direnovasi—sebelum pandemi Covid-19 terjadi—tatkala warung-warung makan di sana masih ada, Sutardji Calzoum Bachri sering terlihat nongkrong di TIM. Pergaulan Sutardji dengan seniman-seniman TIM luas. Dia juga dikenal suka menyanyi dan pandai memainkan harmonika. Dalam sebuah pertunjukan di Graha Bakti Budaya, dia tiba-tiba muncul dengan cara diturunkan dari langit-langit panggung sembari memainkan harmonika dan menyanyikan lagu Louis Armstrong. Suaranya yang serak-serak terasa pas dengan bunyi harmonika.
Pada akhir 1990-an, Tommy Awuy, Sutardji, dan mantan vokalis Edane, Ecky Lamoh, pernah “main-main” membentuk grup musik. Ini bagian dari keliaran ekspresi Sutardji. Ecky menjadi gitaris, Tommy pianis, dan Sutardji pemain harmonika. Ketiganya juga sekaligus menjadi vokalis. Band itu mereka namai De Pelir—akronim dari Penyambung Lidah Rakyat. De Pelir beberapa kali tampil memainkan lagu blues dan rock, tapi hanya bertahan dua tahun. Mereka bubar setelah sempat serius berencana membawakan musikalisasi puisi-puisi Sutardji.
Di sela bermusik, Sutardji aktif dalam forum diskusi di TIM yang dinamai Universitas Lidah Buaya. Diskusi yang digelar hampir saban hari itu sering diikuti juga oleh Tommy Awuy dan sastrawan seperti (almarhum) Leon Agusta serta Hudan Hidayat. Di situ mereka biasa bertukar pendapat mengenai apa pun, dari seni hingga topik berita terhangat. "Sutardji sering menuangkan pendapatnya soal banyak hal, bukan hanya perkara puisi. Yang menarik, kritik sosial itu sering ia sampaikan dengan cara seperti orang sedang berpuisi," ucap Tommy.
Beberapa waktu lalu, ke sebuah grup WhatsApp komunitas sastra, Sutardji mengirimkan video dirinya di rumah dengan rambut acak-acakan, bersinglet putih, tengah lamat-lamat menyanyi dengan memainkan gitar. Suaranya serak, seperti penyanyi blues: “Blue sky….” Pada 80 tahun usia Sutardji, keeksentrikannya masih terasa. "Menyair adalah suatu pekerjaan serius. Perbuatan yang tidak sekadar main-main, tapi serius," katanya. Marilah—sekali lagi—menikmati sajak terkenal Sutardji dari 1979 berjudul “Satu”, yang larik-larik akhirnya sering dikutip karena menyuarakan renungan mengenai solidaritas.
kuterjemahkan tubuhku ke dalam tubuhmu
ke dalam rambutmu kuterjemahkan rambutku
jika tanganmu tak bisa bilang tanganku
kuterjemahkan tanganku ke dalam tanganmu
jika lidahmu tak bisa mengucap lidahku
kuterjemahkan lidahku ke dalam lidahmu
aku terjemahkan jemariku ke dalam jemarimu
jika jari jemarimu tak bisa memetikku
ke dalam darahmu kuterjemahkan darahku
kalau darahmu tak bisa mengucap darahku
jika ususmu belum bisa mencernakan ususku
kuterjemahkan ususku ke dalam ususmu
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku
SENO JOKO SUYONO, NIZAMUL AKHYAR (TANJUNG PINANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo