Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
STUDIO Marvel belum lelah meniru aksi seorang pesulap lincah yang dapat menarik benda apa saja dari dalam kantongnya. Setelah satu dekade lebih merilis dua lusin film layar lebar plus serial demi serial pendampingnya, jagat raya pahlawan super ini kembali merogoh sesuatu dari kantong tak berbatas (dan tambang uang) itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Serial What If…? melengkapi tahun sibuk Disney+, yang sepanjang enam bulan pertama 2021 ini saja sudah merilis tiga serial Marvel Cinematic Universe (WandaVision, Falcon and The Winter Soldier, serta Loki) dengan jeda dua-empat minggu saja. Yang paling berbeda, rilis terbaru ini adalah serial animasi.
Jelas dari judulnya bahwa What If…? adalah serial Marvel Cinematic Universe yang membayangkan bagaimana jika jalan cerita para pahlawan super kita berbelok pada percabangan yang lain. Bagaimana jika ada satu keputusan kecil berbeda yang dibuat dan mengubah segalanya dengan begitu drastis? Serial ini murni bermain-main dengan konsep imajinasi “bagaimana jika” itu. Seperti fan fiction yang digarap serius dengan kucuran duit besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr Strange dalam What If...?. Disney+Hot Star
Baru dua episode yang ditayangkan sejauh ini dari sembilan yang dijanjikan. Episode pertama mengimajinasikan bagaimana jika bukan Steve Rogers, melainkan kekasihnya, Peggy Carter, yang menjadi Captain America—mungkin lebih tepat Kapten Britania karena Carter diceritakan berasal dari sana. Episode berikutnya bermain-main dengan dunia alternatif di mana T’Challa yang kita kenal sebagai Black Panther justru menjadi Star-Lord dari Guardian of the Galaxy.
Setiap episode diawali dengan kisah yang akrab. Penggemar Marvel tentu mengikuti bagaimana Steve Rogers berubah menjadi manusia bertulang baja setelah disuntikkan serum super pada Perang Dunia II. Di jagat yang pernah kita kenal, Peggy Carter adalah agen pemerintah yang mendampingi Rogers saat eksperimen lalu menjadi cinta abadinya.
Sementara itu, pada jagat alternatif ini, Carter berada terlalu dekat tatkala eksperimen terjadi dan setelah sedikit ledakan di sana-sini, malah dia yang kemudian harus menjadi kelinci percobaan. Carter keluar dari kapsul bikinan Howard Stark dengan otot menggelembung dan kepercayaan diri makin bersinar.
Iron Man dalam What If...?. Disney+Hot Star
Tapi tunggu dulu, itu adalah tahun 1941 dan pahlawan perempuan hanyalah corengan di wajah para lelaki pemimpin perang. Lawan pertama yang harus dihadapi Captain Carter adalah komentar-komentar misoginis dari timnya sendiri, seperti bagaimana perempuan tak usah bertempur agar kukunya tak rusak.
Karena ini Marvel, opini jelek itu tentu pada akhirnya ditebas dengan gegap gempita. Captain Carter membuktikan dirinya lebih daripada mampu berada di garda depan dan, segera, kita disuguhkan rangkaian laga yang sangat tipikal Marvel, ketika pukulan dan serangan dilancarkan bergantian dengan cetusan lelucon. Dengan A.C. Bradley sebagai kreator, episode pertama ini adalah contoh yang cukup menggambarkan bagaimana jika kisah-kisah superhero ditulis kembali oleh seorang perempuan.
Ide serial ini tidak baru sama sekali. What If…? bermula dari antologi komik berjudul sama yang terbit tidak teratur sejak 1977. Edisi pertama berjudul What If Spider-Man Joined Fantastic Four (namanya jadi Fantastic Five mungkin?). Alurnya formulaik. Entitas interdimensi misterius yang menyebut dirinya The Watcher mula-mula menarasikan sebuah peristiwa di semesta Marvel sebagaimana kita mengingatnya.
Seperti eksperimen untuk menciptakan Captain America atau kehidupan T’Challa di Wakanda. Kemudian suara The Watcher mencetuskan bahwa satu riak kecil saja dapat membelokkan jalannya alam raya. Demikianlah alternatif cerita dari situasi yang telah terpatri di memori kita mulai diperkenalkan. Ibarat mendengarkan lagu kesukaan yang sudah kita hafal tapi dalam remix berbeda. Studio Marvel mulai mengadon serial remix ini pada 2018.
The Watcher dalam What If...?. Disney+Hot Star
Episode kedua yang menuturkan alternatif kehidupan T’Challa memberi efek seperti berjumpa kawan lama. T’Challa animasi diisi suaranya oleh Chadwick Boseman, pemeran Black Panther yang telah meninggalkan kita tahun lalu. Mendengar suara dengan aksen khas itu ditambah karakter T’Challa sebagai Star-Lord yang melahirkan kombinasi begitu unik adalah pengalaman singkat yang menyenangkan. Bayangkan Star-Lord yang biasanya nyentrik itu mendadak memiliki wibawa dan kebijaksanaan Raja Wakanda.
Pendekatan visual serial ini mencoba setia pada gaya komiknya. Animasi bernuansa retro dengan pilihan warna-warni solid itu dapat dibayangkan sebagai panel-panel komik yang mendapat sentuhan tongkat sihir sehingga dapat bergerak. Nuansa warna yang dilekatkan pada setiap karakter turut muncul sebagai padu-padan sebuah semesta yang serupa tapi tak sama. Misalnya, bagaimana galaksi dengan T’Challa sebagai Star-Lord cenderung disapu nuansa ungu cemerlang.
Disney+Hot Star
Satu episode dalam serial ini berdurasi sekitar setengah jam. Dengan durasi pendek, What If…? mengandalkan keakraban penonton dengan para tokoh dan jalan cerita di jagat Marvel yang “normal”. Tak ada bantuan penjelasan apa, siapa, dan bagaimana untuk para penonton baru. Kelucuan atau perasaan tergugah mungkin hanya muncul bagi mereka yang sudah paham. Bagaimanapun serial ini memang semacam suguhan bagi para penggemar yang mencoba memantik kembali keseruan dari cerita yang sudah dituturkan berulang selama puluhan tahun.
What If…?
Kreator: A.C. Bradley
Sutradara: Bryan Andrews
Cerita: Berdasarkan serial komik Marvel
Pengisi suara: Chadwick Boseman, Jeffrey Wright, Hayley Atwell, Sebastian Stan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo