Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNYI. Enam laki-laki yang duduk di atas kursi panggung tampak seru seperti tengah berdialog. Mereka ada dalam suasana temaram, tanpa suara, menghadap layar monitor televisi di pinggir panggung. Ada baris-baris kalimat yang harus mereka baca dalam naskah drama Sebuah Kabar dari Pelaminan.
Mereka berperan sebagai laki-laki dan perempuan. Yang memerankan perempuan mengerudungkan kain ke atas kepalanya, sedangkan yang berperan laki-laki berkaus dan berbalut kemeja. Kedua tangan mereka bergerak membentuk isyarat, membahasakan kata demi kata yang terbaca. Ada gerakan yang hanya bisa dipahami para pengguna bahasa isyarat, ada pula yang bisa dimengerti oleh banyak orang. Misalnya menekuk kedua telunjuk di sudut bibir yang menggambarkan gigi taring atau kedua telunjuk di atas kepala untuk menyimbolkan setan.
Tak hanya melalui visual gerak tangan, mereka juga membaca naskah drama melalui mimik muka. Wajah mereka mengekspresikan rasa sedih, marah, kesal, dan gembira dengan jelas. Bibir mereka pun komat-kamit tapi tetap tanpa suara.
Tak ada bebunyian yang menjadi latar pementasan. Penonton pun diam menikmati pertunjukan pembacaan naskah lakon dengan hening dan tenang. Penonton diajak memahami jalan cerita naskah yang dituturkan enam pembaca dari naskah yang disorotkan di layar latar panggung. Sepanjang 15 menit pertunjukan, penonton harus membagi konsentrasi antara membaca naskah di layar dan gerak para penampil.
Begitulah penampilan seniman inklusi dari Komunitas Bawayang membawakan naskah drama karya Udiarti di Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) 2022 Yogyakarta pada Jumat, 25 November lalu. Para pembaca naskah drama pembuka festival itu adalah para penyandang tunarungu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pendiri Bawayang, Broto Wijayanto, mengatakan keenam pembaca harus membacakan naskah yang lumayan panjang itu secara penuh. Mereka harus mempersiapkan diri dalam waktu sepekan saja dan tak semua istilah atau kata dalam lakon itu dimengerti. Contohnya tentang nama. Biasanya mereka mengeja huruf per huruf, tapi kali ini mereka cukup membuat gerakan dua tangan diayunkan laksana mengayun bayi.
“Karena ada teman tuli mereka—namanya Dyah—memanggil namanya dengan isyarat itu,” ucap Broto, yang memantik tawa penonton. Sebagai sutradara ia membebaskan para pemain membuat inovasi bahasa isyarat. Selain ihwal nama tersebut, ada pula gerakan naik-turun tangga yang cukup mereka isyaratkan dengan gerakan mendongakkan kepala ke samping, atas, lalu ke bawah berulang kali. “Itu menarik. Karena menciptakan bahasa isyarat yang baru,” ucap seniman Teater Gandrik ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembacaan naskah lakon Pararatoning Luh karya Dyah Ayu Rin oleh Tilik Sarira Creative Process di Indonesia Dramatic Reading Festival 2022. IDRF
Sesuai dengan tema besar IDRF 2022, yakni “Folks”, naskah lakon itu mengisahkan mitos anak Batara Guru, Dyah Maya Kresna, yang punya hasrat seksual tinggi. Di kayangan, Dyah bisa menikah dengan dua raksasa sekaligus, yakni Bajradaksa dan Bajrangkara. Mereka bercinta bergantian di bawah pohon Asokamaya. Percintaan itu membuat marah Batara Guru karena terusik semedinya. Dyah dikutuk menjadi buruk rupa dan disuruh menjaga kelestarian alam semesta. Naskah ini terinspirasi oleh kisah Batari Durga.
“Bahwa persoalan hasrat tak hanya melulu dikuasai laki-laki atau patriarki. Tapi perempuan juga punya hak,” ucap Udiarti.
Pertunjukan lain pada malam harinya adalah pembacaan naskah lakon Pararatoning Luh karya Dyah Ayu Rin oleh Tilik Sarira Creative Process dari Surakarta. Ini adalah platform pengembangan teater yang berpijak pada pengamatan kebiasaan yang dianggap autentik dari relasi tubuh, ruang, dan benda. Empat seniman membaca di atas panggung, mengisahkan lakon Luh, Kartaka, dan Jataka dalam kisah Ken Arok dan Ken Dedes dari kitab Pararaton.
Lakon itu dilambangkan dengan sosok hantu, bunga teratai, dan vagina yang diperankan empat pemain tadi. Mereka tak hanya tampil di atas panggung yang sama, tapi juga divisualkan di tayangan gambar dalam satu frame. Kondisi itu membuat bingung vagina ataupun hantu, mengapa bisa berada dalam satu frame?
“Pahamilah diri sendiri. Seperti apa yang terjadi di sekitarku. Tumbuh dalam air kotor dan keruh. Tapi tak ada yang bilang aku tak indah,” ucap si teratai menengahi.
IDRF 2022 yang berlangsung pada 25-27 November 2022 di Auditorium Institut Francais Indonesia Yogyakarta itu menampilkan enam naskah yang berbeda daripada naskah-naskah lakon sebelumnya. Dalam IDRF tahun-tahun lalu, menurut salah satu kurator, Shinta Febriani, naskah-naskah lakon yang ditampilkan sudah banyak dikenal orang. “Kali ini membuka pintu kepada penulis-penulis muda untuk didengarkan pemikiran karyanya,” tutur Shinta.
Naskah-naskah drama itu lahir pada masa pandemi. Selain Sebuah Kabar dari Pelaminan dan Pararatoning Luh, juga ada Benang-benang yang Memilih Jalannya karya Nurul Inayah yang dibacakan oleh Udeido Collective. Kemudian, Kenyataan-kenyataan yang Diingkari karya Wayan Sumahardika yang dibacakan oleh Piring Tirbing, Absen karya Ego Heriyanto yang dibacakan gabungan Teater SMA Jogja, serta A Flood on Java karya Seno Joko Suyono yang dibacakan Andy, Ari, Asita, dan Ficky.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo