Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Perang Besar Ulama Perempuan

Kongres Ulama Perempuan Indonesia bisa mendobrak dominasi patriarki. Tak bisa hanya menjadi penonton.

4 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II yang dihelat 24-26 November lalu menjalarkan harapan di tengah riuhnya fanatisme beragama dan maraknya kerusakan lingkungan hidup. Rekomendasinya yang melawan penihilan perempuan dalam kehidupan beragama menunjukkan perkembangan gerakan Islam yang modern dan progresif. Namun rekomendasi itu hanya menjadi basa-basi jika ulama perempuan tak mampu menjangkau komunitas yang lebih luas dan mengakar hingga ke kampung-kampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kongres Ulama Perempuan yang digelar di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah, menghasilkan sejumlah rekomendasi. Antara lain, melindungi perempuan dari kekerasan atas nama agama, pemaksaan perkawinan, kehamilan akibat pemerkosaan, dan pelukaan genitalia. KUPI juga mendorong pengelolaan sampah untuk keberlanjutan lingkungan hidup serta menyerukan solidaritas untuk masyarakat muslim di negara opresif, terutama terhadap perempuan, seperti Afganistan, Iran, dan Myanmar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nilai-nilai universal yang diangkat KUPI memberi pesan bahwa perempuan berhak mendapat pelindungan dari berbagai perampasan hak dalam budaya patriarki. Angka perkawinan anak—yang berisiko mencelakai perempuan—masih sebesar 9,23 persen pada 2021 dengan peningkatan di lima provinsi, termasuk DKI Jakarta. Sedangkan data United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) pada 2016 memperkirakan 13,4 juta anak perempuan berusia kurang dari 11 tahun di Indonesia menjalani sunat.

Celakanya, perampasan hak itu seolah-olah menjadi sah karena kerap disuarakan, atau tidak ditolak dengan tegas, oleh ulama laki-laki yang tak jarang menganggap perempuan sebagai sumber dosa dan manusia nomor dua. Majelis Ulama Indonesia atau MUI yang pengurusnya didominasi pria, misalnya, menolak pelarangan sunat perempuan dan tak keras mengharamkan perkawinan dini. Pun di berbagai pondok pesantren, kekerasan seksual terhadap para santri kian sering terungkap.

Negara juga tak jarang ikut berperan dalam berbagai kasus kekerasan dengan ragu-ragu menghukum berat pelaku kekerasan seksual. Pertengahan November lalu, putra pemilik Pondok Pesantren Shiddiqiyyah di Jombang, Jawa Timur, Moch. Subechi Azal Tsani, hanya divonis 7 tahun bui, jauh dari tuntutan jaksa, yaitu penjara 16 tahun, karena terbukti memerkosa sejumlah santri. Polisi pun sebelumnya lamban memeriksa Subechi karena ogah berhadapan dengan pemilik pesantren yang memiliki pengikut ribuan orang.

Para ulama perempuan bisa membendung siklus perampasan hak pada perempuan dengan menggandeng ulama laki-laki moderat, pembuat kebijakan, dan berbagai komunitas, termasuk dari agama lain. Satu perempuan saja yang dirampas haknya, yang lain harus bersuara dan bertindak. Mereka juga perlu mendorong hasil KUPI masuk kurikulum di pesantren.

Ulama perempuan bisa mengarahkan dakwah dan karyanya pada kesetaraan gender dan kerusakan lingkungan. Tak hanya berkeliling kampung, mereka harus masuk ke arena digital dan lihai berceramah untuk berbagai kalangan. Apalagi riset menunjukkan bahwa kaum muda lebih suka mempelajari agama dari media sosial ketimbang mendengarkan ceramah para kiai di masjid dan pesantren.

Upaya perlawanan para ulama yang tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia jelas tak mudah. Budaya patriarki di lingkungan keagamaan, tak hanya di Islam tapi juga di agama lain, terawat dengan baik lebih dari 2.000 tahun lamanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus