Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA mengunjungi Pesta Kesenian Bali XLV yang dipusatkan di Taman Budaya Provinsi Bali, 18 Juni-16 Juli 2023, kita dapat menyaksikan pameran teranyar seni rupa klasik, tradisional, dan turunannya. Anda bisa melihat Bali Kandarupa 2023 menghadirkan karya-karya terpilih yang melampaui anggapan bahwa seni klasik tradisional Bali semata mengukuhkan kebakuan komunal dalam ragam pengulangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengusung tajuk "Prabangkara Sagara Prasiddha (Citra Paripurna Samudra Mahotama)", materi pameran dikumpulkan melalui dua skema kurasi: undangan terpilih perupa dan undangan terbuka. Bali Kandarupa kali ini diikuti 93 seniman lintas komunitas yang mewakili berbagai gaya (estetika-stilistika) dan aliran. Pergelaran ini berlangsung di Gedung Kriya Taman Budaya Provinsi Bali; Museum Puri Lukisan, Ubud; dan Neka Art Museum, Ubud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para seniman dari 23 wilayah cipta se-Bali secara kreatif (prasiddha) mengelaborasi memori sosial-kultural agraris dan imaji klasik khas Bali. Mereka berhasil mewujudkan olah warna dan komposisi tersendiri berikut dengan ragam ikonik baru sebagai penegas jati diri. Mereka berasal dari Kamasan; Batuan; Baung, Sayan; Keliki Kawan; Kutuh; Tegallalang; Payangan; Sayan; Peliatan; Padangtegal; Pengosekan; Tebesaya, Ubud; Blahbatuh; Tampaksiring; Sukawati; Mas; Nyuh Kuning, Ubud; Karangasem; Denpasar, Tihingan, Klungkung; Mengwi, Badung; dan Nagasepaha, Buleleng.
Seniman paling sepuh yang berpartisipasi adalah I Wayan Pendet (Ubud, 1 Juli 1939), sementara yang termuda Gede Apriadi Saputra (Nagasepaha, Singaraja, 29 April 2007). Tim kurator yang terdiri atas Wayan "Kun" Adnyana, Jean Couteau, dan Ketut Muka Pendet mengapresiasi sejumlah karya yang menggarap aneka subtema atau pola narasi rupa autentik, yang dinyatakan sebagai seni pasca-tradisional. Mereka menyuguhkan kebaruan yang ditandai dengan kepiawaian mengelola komposisi secara rinci. Mereka pun sanggup menjangkau kecakapan teknis mumpuni serta memperluas medan tematika ajang cipta personal. Bahkan banyak visual karya hadir melampaui capaian artistik generasi pendahulunya pada 1930-an, era Pita Maha.
Simak saja buah cipta I Wayan Mandiyasa (Kutuh), I Ketut Sumadi (Kutuh), Wayan Pendet (Ubud), A.A. Gde Ariwinaya (Ubud), Gusti Nyoman Darta (Ubud), Made Mudra (Ubud), Ketut Sadia (Batuan), I Wayan Diana (Batuan), I Wayan Supartama (Padangtegal), I Made Ariasa (Payangan), I Made Awan (Tegallalang), I Made Astara (Karangasem), Gede Apryadi Saputra (Nagasepaha), dan lain-lain. Sebagian besar karya mereka adalah capaian cipta personal atau, dalam istilah saya, sebuah genialitas yang mempribadi.
Berbeda dengan pelaksanaan pameran seni rupa sebelumnya, Bali Kandarupa kali ini diselenggarakan secara kolosal dengan sistem kurasi terencana dan terkelola. Ada pula tahap sosialisasi tematik dan pertemuan langsung kurator bersama para seniman guna membahas kemungkinan kreatif penciptaan. Terbuka juga diskusi seturut keprihatinan di dunia cipta seni rupa klasik dan tradisional Bali serta langkanya partisipasi seniman dari kalangan perempuan. Bali Kandarupa 2023 hanya diikuti oleh dua seniman perempuan, yakni Mangku Muriati (Kamasan) dan I Gusti Ayu Natih Armini (Batuan).
Bali Kandarupa merupakan aktualisasi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan Bali. Ini juga implementasi Visi Pembangunan Provinsi Bali 2018-2023: "Nangun Sat Kerthi Loka Bali, Melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru". Pameran akbar ini sekaligus jawaban atas keluhan para perupa Bali yang selama ini hanya mendapat porsi terbatas dalam pelaksanaan Pesta Kesenian Bali yang telah berlangsung 45 tahun.
Tema 2023 adalah “Segara Kerthi”, sebuah tema yang menjunjung keberadaan samudra baik secara sekala maupun niskala. Juga tema yang mengacu pada "Segara-Giri". Para seniman secara leluasa menerjemahkan tema "Segara-Giri" ini dalam tuturan wiracarita, warisan mitos, legenda, sumber lontar, ataupun karya sastra klasik Bali. Tergambar juga pesan kepedulian lingkungan.
Tidak sedikit seniman mempresentasikan tanggapan kritis melalui ikon pilihan dari khazanah mitologi dan keyakinan Hindu Bali. Makhluk suci mitologis yang diyakini sebagai awatara, yang antara lain jelmaan dewa Wisnu, mengemuka dalam kanvas secara personal. Gede Apriadi Saputra (Nagasepaha), misalnya, mengelola gradasi warna dengan sosok ikonik temuan baru; turunan rupa Matsya Awatara yang menyerupai ikan. A.A. Gde Ariwinaya (Ubud) memilih tajuk yang sama, memilah warna sebagai putri duyung, simbol magis Acintya, disertai juga dengan bahtera keselamatan umat manusia.
I Made Astara (Karangasem) tampil dengan olahan stilistika yang mempribadi, menarasikan wiracarita Mahabharata, lakon Samudramanthana (pemutaran samudra susu) demi memperoleh Tirtha Amertha (Air Suci). Pilihan ikonnya unik, yaitu awatara berwujud kura-kura (Kurma Awatara). I Wayan Diana memperluas teknik lukis Batuan dengan pendalaman tematik yang autentik. Aneka rupa makhluk mitologi mengemuka dalam kanvasnya, di ambang antara profan dan sakral—antara wujud sehari-hari dan ingatan kita pada rupa sekian awatara. Selain karya A.A. Gde Ariwinaya yang disajikan di Gedung Kriya, Denpasar, ketiga karya awatara lain disuguhkan di Neka Art Museum.
Akan halnya I Wayan Mandiyasa, lukisannya menarasikan karma phala dan sangkan paraning kehidupan. Kanvasnya dipenuhi flora dan fauna hitam-putih yang cenderung sepia. Terdapat belantara rupa dan ikon pilihan yang mendekati citraan realis. Semua itu dihamparkan melalui tahapan nguwet (sketsa), kemudian mempertegas bentuk (nyawi) seraya mengedepankan kesan gelap-terang melalui nyelah dan kontur pencahayaan (nyenter). Hal tersebut menunjukkan kuasa teknis mumpuni untuk menata anatomi dan proporsi rinci yang saling mengisi.
Mengikuti jejak maestro I Gusti Nyoman Lempad, pelukis Ubud, I Gusti Nyoman Darta, melalui tarian garis hitam-putihnya yang lentur memperluas kisah wayang I Cupak dan I Gerantang dengan pandangan pribadi. Terpajang di Museum Puri Lukisan, karyanya menggambarkan sosok nelayan (Pan Bekung) tengah menjaring. Yang terjala ternyata adalah I Gerantang—sosok baik hati, kebalikan saudaranya, I Cupak, yang dikenal jahat. Tema ini mempertegas keyakinan Bali, rwa bhineda (hitam-putih, baik-buruk, dan sebagainya).
Suasana Pameran Bali Kandarupa 2023 di Neka Art Museum Ubud. Dok. Panitia/Dwi Arysna
Patut dirunut pula karya lima lukisan bergaya klasik Kamasan. Tiga di antaranya dipajang di Museum Puri Lukisan dan dua di Gedung Kriya Taman Budaya, Denpasar. Secara stilistik-estetik karya-karya tersebut tidak beranjak jauh dari kekhasan seni lukis yang mula bertumbuh di Desa Kamasan pada era Majapahit sekitar abad ke-14. I Ketut Mastra memaparkan tradisi ritual Bali yang berhubungan dengan laut, mulang pekelem. Pelukis senior Mangku Muriati, 57 tahun, dengan karya Dewi Gangga layak diapresiasi karena menampilkan komposisi warna dan wujud rupa yang terjaga sebagaimana karya pada tahun lalu. I Ketut Ngurah Agus Widiadnyana Putra melukiskan dengan padu wujud Dewa Wisnu dan makhluk mitologi Garuda dan naga. Ia menyajikan petikan kisah Pemutaran Gunung Mandara Giri yang menceritakan pencarian air suci.
Kisah serupa digarap pelukis senior Kamasan lain, Mangku Nyoman Kondra, 63 tahun. Tokoh wayang para raksasa dan dewa-dewa tengah berebut Tirta Amertha. Karya ini terpilih untuk ditampilkan di Gedung Kriya Taman Budaya. Patut diapresiasi mengingat kegigihan penciptanya yang mendedikasikan hidup untuk melukis hingga berpulang belum lama ini, Sabtu, 10 Juni lalu. Tampil juga di venue yang sama, karya I Nyoman Arcana yang mendeskripsikan petikan wiracarita Ramayana, saat Hanoman utusan Rama menyeberangi lautan untuk menemui Dewi Sita yang diculik oleh Rahwana di Alengka.
Merespons medium kayu pilihan, tujuh pematung merunut jejak pada pendahulunya, semuanya dipajang di Museum Puri Lukisan. Saksikan saja bagaimana I Made Narka (Mangku Taman), I Wayan Parsa, I Wayan Suyasa, dan Wayan Karja menelusuri stilistika Nyuh Kuning seraya menerapkannya pada subject-matter masing-masing. Ketut Putra dan Wayan Mudana meneruskan stilistika patung ala Mas dan diterjemahkan dalam wujud Dewi Sri dan Dewi Duyung. Adapun Wayan Muka mengungkapkan akuarium laut melalui ragam gaya Batuan.
Karya I.G.N. A. Putra Wahyu S. terbilang mengesankan. Patung mix media ini mengkreasi ragam medium prasi dalam wujud rupa hewan mitologi berupa gajah berekor ikan (Gajah Mina). Mengundang renungan, mahkluk suci tunggangan Dewa Baruna ini diwujudkan secara profan sebagai capaian cipta yang personal. Paduan olahan kayu ditampilkan secara keseluruhan sebagai sebentuk perahu, sesuai dengan judulnya, Sang Jukung Gajah Mina.
Tiga karya topeng dipajang di dinding Gedung Kriya. I Komang Bagus Megahartana (Mas) mengolah sosok mitologi Gajah Mina. Kedua topeng lain, yakni Tapel Rangda kreasi I Made Wirda dan Barong Gajah buah cipta I Nyoman Selamet, mencirikan kekhasan gaya Batuan. Keduanya tergabung dalam komunitas topeng Citrakara dari desa tersebut. Segera mengemuka tantangan bagi para seniman topeng ini untuk melakukan “distorsi” rupa sedini mula imajinasi dengan menjelajah kreativitas yang kuasa melampaui kebakuan bentuk warisan pendahulu.
Dapat dikatakan sebagian besar karya yang diulas di atas bukan lagi sepenuhnya ragam naratif tradisional bersifat komunal. Stilistika-estetika warisan para pendahulu dijelajahi dan dilampaui melalui eksplorasi komposisi dan warna yang mencirikan pergulatan panjang setiap seniman. Intuisi dan imaji mereka (elan kreatif) mencerminkan gelora cipta lintas masa dan samudra kemungkinan capaian baru, terbebas dari kungkungan kontur warna dan rupa tradisional pada umumnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bali Kandarupa, Melampaui Kebakuan Tradisi"