Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUO musikus Endah Widiastuti dan Rhesa Aditya bersiap merekam lagu di sebuah kamar tidur di rumah orang tuanya di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Mereka menyulap kamar itu menjadi studio perekaman. Mula-mula mereka menyusun dua buah kasur pegas menjadi dua sisi menyerupai siku. Lalu sebuah selimut mereka kaitkan di atas kasur itu sehingga mirip tudung atap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahap selanjutnya, sepasang suami-istri itu merespons sebuah lemari yang ada di kamar tersebut. Kedua pintu lemari itu mereka buka. Bermodalkan dua helai seprai, lemari itu mereka jadikan bilik perekaman suara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Endah dan Rhesa juga menyiapkan sejumlah perangkat untuk merekam lagu. Dari komputer yang telah dilengkapi peranti lunak untuk merekam lagu, soundcard (perangkat keras komputer untuk mengeluarkan dan merekam suara), dua buah mikrofon, hingga loud speaker (pelantang suara).
Setelah siap, Endah meraih headphone sebagai alat yang dia pakai untuk memantau suara di telinga, kemudian mulai merekam instrumen gitar yang dia mainkan. Setelah selesai, dia melanjutkan dengan merekam vokal materi lagu yang telah disiapkan. Terakhir, Rhesa merekam bas yang dimainkannya.
“Waktu itu sekitar 2010. Proses rekaman itu di kamarnya Mas Rhesa, masih di rumah ibunya di Pamulang,” Endah menceritakan rekaman lagu secara mandiri di awal karier mereka berkarya di jagat musik. “Kebetulan kamarku bawahnya karpet, jadi lebih membantu, sisanya ya meja belajar, buat meminimalkan bocor suara,” ujar Rhesa kepada Tempo, Senin, 26 Juni lalu.
Endah N Rhesa adalah duo musikus yang mengawali perekaman lagunya secara mandiri di studio kamar tidur mereka, yang kemudian dikenal dengan istilah bedroom recording. Ada sejumlah alasan yang membuat mereka menempuh cara perekaman tersebut. Rhesa menjelaskan, selain memangkas ongkos produksi agar lebih murah, merekam lagu secara mandiri memungkinkan mereka lebih leluasa bereksplorasi dan mempunyai hak utuh dalam kurasinya.
Ihwal biaya produksi, Rhesa mengungkapkan, mereka hanya mengeluarkan uang di awal proses perekaman. Uang tersebut mereka gunakan untuk membeli sejumlah peranti dasar bedroom recording, seperti komputer, soundcard, mikrofon, pelantang suara, dan kabel-kabel. “Ditambah instrumen musik gitar dan bas, saat itu total sekitar Rp 21 juta,” ucapnya.
Rhesa menambahkan, investasi peralatan itu berjangka panjang. Dari peralatan sederhana bedroom recording tersebut, duo musikus ini telah menelurkan tiga album, yakni Nowhere to Go (2009), Look What We've Found (2010), dan Escape (2013). “Jadi sebenarnya tidak ada cost. Lebih ke investasi alat,” kata Rhesa.
Saat itu biaya yang mesti mereka keluarkan hanya untuk proses mixing (mengatur setiap track rekaman instrumen/vokal menjadi kesatuan harmoni) dan mastering (mengatur tingkat kekencangan dan kejernihan rekaman sebelum disimpan dalam format data audio). Rhesa menerangkan, untuk album pertama dan kedua, mereka menyerahkan proses mixing dan mastering-nya kepada orang lain. “Baru di album ketiga kami menggarap sendiri kedua proses tersebut,” tuturnya.
Kebetulan, Rhesa menambahkan, mereka pada waktu itu sudah pindah rumah yang ruangannya lebih memungkinkan dijadikan ruangan akustik. Jadi mereka bisa menggarap proses mixing dan mastering sendiri. Pada 2021, keduanya membangun studio perekaman yang menyatu dengan kafe Earhouse di Pamulang. Mereka pun memboyong semua peralatan bedroom recording ke studio tersebut.
Rhesa menuturkan, merekam lagu secara mandiri di ruangan di rumahnya punya keseruan tersendiri. Misalnya, saat membuat lagu “Liburan Indie” dan “Pulang ke Pamulang”, mereka menggunakan ruang tamu untuk perekaman. Alasannya, mereka jenuh dengan kamar tidur. “Makin banyak opsi sebenarnya makin bagus. Aku malah pengin punya satu lagi peralatan rekaman yang mobile,” ujar Rhesa.
•••
DI era digital, bedroom recording membuka jalan bagi para musikus memproduksi lagu agar tidak serumit dulu ketika perekaman harus dilakukan di studio dengan biaya besar. Kemudahan itu dan biaya yang jauh lebih murah membuat sejumlah musikus tertarik menempuh perekaman secara mandiri tersebut.
Pandemi Covid-19 yang melanda pada 2020 membuat banyak musikus dan penyanyi memilih merekam lagunya lewat bedroom recording. Salah satunya penyanyi Nadin Amizah. Nadin menggarap perekaman secara mandiri beberapa lagu untuk album perdananya, Selamat Ulang Tahun, di kamar tidurnya.
Nadin Amizah saat merekam suaranya di kamarnya. Dok.Pribadi
Nadin bercerita, saat itu beberapa lagu telah dia kerjakan di dapur rekaman di sebuah studio. Namun adanya pembatasan perjumpaan dengan banyak orang karena pandemi membuat dia memilih bedroom recording. Penyanyi yang lahir pada 28 Mei 2000 ini kemudian mengerjakan sisa lagu untuk album debutnya itu di kamar tidur.
“Waktu itu ada beberapa lagu yang belum selesai, jadi masih harus di-take. Kebetulan aku juga sudah punya alat recording vokal yang lengkap,” ucap Nadin saat berbincang dengan Tempo, Selasa, 27 Juni lalu. Hampir 50 persen materi album Selamat Ulang Tahun, Nadin menambahkan, dia garap di kamarnya.
Nadin menjelaskan, alat-alat rekam yang telah dia miliki saat itu antara lain soundcard, laptop yang telah dilengkapi peranti lunak untuk perekaman, dan mikrofon beserta filternya. Adapun instrumen musik, proses mixing dan mastering, hingga distribusi lagu, Nadin mengungkapkan, disediakan dan digarap produser dan label.
Kondisi itu membuat Nadin harus melalui serangkaian percobaan. Masalah utamanya, tutur Nadin, adalah ruangan yang tidak memadai sehingga masih sering mengalami kebocoran suara ketika perekaman. Nadin sesekali harus mengambil jeda ketika ada kendaraan bermotor yang melintas di sekitar rumahnya. Selain itu, Nadin harus memberi tahu orang-orang yang ada di rumah untuk tidak membikin aktivitas yang bising ketika dia sedang merekam suara.
"Kalau ada orang di rumah, aku bilang lagi rekaman. Jadi aku butuh waktu untuk enggak bersuara dulu,” ujar Nadin. “Karena itu, aku lebih sering rekaman di rumah dari sore ke malam.”
Untuk proses merekam suara, Nadin mengatakan, melakukannya di kamar ataupun di dapur rekaman memakan waktu yang sama. Biasanya penyanyi yang merilis single berjudul “Rayuan Perempuan Gila” itu menghabiskan waktu tiga-empat jam.
Nadin mengakui merekam lagu di dapur rekaman atau studio yang mumpuni jauh lebih nikmat. Salah satunya, dia menjelaskan, proses koordinasi dan kurasi sebelum mixing dan mastering jauh lebih mudah. “Aku lebih suka hasil vokal di studio yang proper, langsung ke mixing punya soundproof, terus juga ada operator," tuturnya. "Kalau untuk hasil ya pilih studio rekaman.”
•••
MUSIKUS folk, Syifa Sativa, juga memilih bedroom recording untuk penggarapan lagu-lagunya. Syifa menyulap kamar indekosnya di Karangwuni, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi studio mini yang sederhana. Kamarnya yang sempit itu penuh sesak dengan gitar, mixer audio mini, direct-box, mikrofon, pengeras suara, laptop, dan telepon seluler.
Dari kamar indekosnya itulah pria yang lahir di Tangerang, Banten, ini menelurkan album Kelompok Tani Remaja yang berisikan lagu-lagu bertema realitas sosial, di antaranya kemiskinan, buruh pabrik, dan proyek pembangunan yang meminggirkan manusia. Kelompok Tani Remaja merupakan album keenam Syifa yang dia rekam secara mandiri di kamar dengan alat-alat sederhana. Album tersebut dia buat pada 2021.
Syifa Sativa dengan peralatan rekaman di kamar kosnya, di Karangwuni, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 27 Juni 2023. Tempo/Shinta Maharani
Musikus 31 tahun itu tidak menggarap musiknya di studio besar dengan alat rekam yang rumit dan beraneka ragam dengan alasan perlu biaya mahal. Dia tertarik merekam lagu-lagunya di kamar sejak 2017. Ketertarikannya bermula dari kelompok label rekaman berbasis online atau Internet yang berada di Jakarta, Inmyroom Record. Label rekaman online itu mengumpulkan musikus kamar yang bermain, merekam, dan mendistribusikan karyanya agar bisa diunggah secara gratis.
“Aku unggah di SoundCloud dan mengirimkannya ke Inmyroom Record,” ujar Syifa saat ditemui Tempo di tempat indekosnya, Selasa, 27 Juni lalu.
Saat itu Syifa mengunggah lagu berjudul “Matilah Kau Nak”, “Jangan Ganggu Aku”, dan “Aku Adalah Kecoa” di SoundCloud dan mendapat apresiasi dari kalangan muda penikmat musik folk. Dari situlah Syifa makin percaya diri tampil di panggung.
Syifa mengerjakan sendiri perekaman lagu-lagu itu dengan menggunakan peralatan sederhana. Di rumah indekosnya di Purbalingga, Jawa Tengah, dia merekam musiknya melalui melodi gitar menggunakan telepon seluler. Rekaman itu kemudian dia pindahkan ke laptop. Untuk editing, dia menggunakan aplikasi FL Studio supaya suaranya lebih halus. Lahirlah album Matilah Kau Nak pada 2019. Album perdananya itu menggunakan label mandiri.
Untuk album kedua berjudul Aku Pusing, Syifa merekam permainan gitar di kamarnya di Tangerang, Banten, dan vokal di Curug Nangka, Bogor, Jawa Barat, menggunakan telepon seluler. Adapun album ketiga dan keempat (kompilasi album pertama dan kedua) dia rekam di studio milik temannya. “Studio itu saya pinjam dan gratis,” tuturnya.
Rupanya, lagu-lagu yang Syifa rekam secara mandiri di kamar menggunakan peralatan sederhana membuat label rekaman di Singapura yang mempromosikan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, Gerhana Records, tertarik merilis album Syifa. Pihak Gerhana Records menghubungi Syifa melalui pesan Instagram dan menyatakan minatnya untuk merilis albumnya.
Syifa sempat bertanya kepada Gerhana Records soal alasan mereka tertarik merilis albumnya. “Gerhana Records justru tertarik dengan album pertama dan kedua yang menghasilkan bunyi yang kacau,” ujar Syifa.
Pada 2020, Syifa kemudian menggarap album kelima dengan menggunakan telepon seluler di kamar temannya di Parung, Bogor, Jawa Barat. Selama dua pekan Syifa merekam album kelimanya yang berjudul Nikmati Sajalah di pelosok Parung yang sunyi.
Dia menerangkan, penggarapan lagu melalui perekaman di kamar tersebut tidak membutuhkan biaya yang besar. Ongkos yang dia keluarkan hanya transportasi menuju tempat untuk merekam dan biaya untuk cetak kaset lagu. Selain biaya yang murah, Syifa punya alasan idealis merekam lagu-lagunya di luar studio besar. “Ada hasrat ingin tampil beda dengan cara nonkonvensional,” katanya.
Syifa mengatakan kecanggihan teknologi membantu musikus kamar seperti dia untuk memproduksi karyanya. Tapi dia juga menyentil perekaman di kamar yang berorientasi komersial. Sebagian orang kini berlomba membuka jasa perekaman di kamar dan berbayar. Harga perekaman di kamar itu hampir sama dengan perekaman di studio musik karena menggunakan alat-alat yang canggih dengan kualitas bagus.
Penggemar penyanyi folk Amerika Serikat, Woody Guthrie, dan Iwan Fals ini menyatakan cara dia merekam musik-musiknya dilandasi ketertarikannya pada musik-musik klasik yang menggunakan iringan akustik. Perekaman di kamar yang menghasilkan suara tidak jernih alias ada bunyi kresek-kresek itulah yang menggambarkan kejujuran. Hasil rekaman seperti itu, kata dia, menemukan pasar tersendiri di kalangan anak muda. “Segmen penikmat musik saya dari kalangan anak muda. Itu saya ditelusuri melalui Spotify,” ujarnya.
Kaset lagu-lagu ciptaan Syifa juga terjual habis. Setiap meluncurkan album, dia mencetak 50 kaset, kecuali album yang dirilis label Singapura hingga 100 kaset. Selain menyukai musiknya, pembeli memilih kaset karena menjadi barang antik. Syifa sukses membawa albumnya dalam tur musik ke Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi pada 2022. Selain di Jabodetabek, dia juga melakukan tur ke sejumlah daerah di Provinsi Jawa Tengah.
Saat ini, anggota grup musik punk Idealis Separatis yang berbasis di Tangerang ini sedang menyiapkan album barunya. Tema albumnya masih berkisah tentang realitas sosial. Syifa menyatakan hanya menceritakan fakta sosial dan tidak menyisipkan pesan apa pun dalam lagunya. Dia mencontohkan lagu “Rakyat Gak Butuh Presiden” menggambarkan kerusuhan di sekitar pusat belanja Sarinah, Jakarta Pusat, pada 2019 karena kekecewaan terhadap hasil Pemilihan Umum 2019.
“Aku lebih suka realitas sosial ketimbang kritik sosial. Bukan wacana aku seorang anarkis yang menolak negara atau menghancurkan tatanan negara,” katanya.
Bersama istrinya, Syifa juga sedang menggarap musik elektronik punk. Dia pernah tampil bersama musikus lain dalam acara peringatan hari kelahiran Paguyuban Petani Lahan Pesisir Kulon Progo yang menolak proyek penambangan pasir besi.
Serupa dengan Syifa, Muhammad Mahdi juga merekam lagunya lewat bedroom recording. Sejak 2020, pemilik nama panggung Allegoris itu memproduksi lagu-lagu miliknya dari kamar tidur.
Bahkan, untuk urusan mixing dan mastering, Mahdi melakukannya sendiri dan hanya merujuk pada video-video di YouTube. “Pertama produksi lagu ya 2020, waktu itu di kamar dengan lemari dan alat-alat yang ada,” tutur Mahdi saat berbincang dengan Tempo, Selasa, 27 Juni lalu.
Bagi pria yang lahir pada 24 Desember 1996 ini, format bermusik seorang diri itu memungkinkannya memproduksi dan mendistribusikan lagunya secara mandiri. Kini musikus dengan format bermain gitar akustik itu sudah mengunggah tiga single di platform streaming musik Spotify, yakni “Puzzled 1”, “Ros”, dan “Aleph”.
Muhammad Mahdi atau Allegoris. Dok. Pribadi
Mahdi mengatakan boleh dibilang merekam lagu di kamar tidur tidak ideal. Dia harus bersiap pada malam hari untuk merekam lagu guna menghindari suara bising. Dia juga harus menyusun lemari di kamarnya sebagai peredam bocornya suara.
Mahdi kemudian merinci proses merekam lagunya secara mandiri di kamar. Dia lebih dulu membuat bagan lagu. Dia juga menyiapkan perangkat lunak yang terinstal pada laptopnya. Misalnya, Mahdi memakai DAW dan FL Studio. Mula-mula, dia merekam instrumen gitar yang dia mainkan. Dari situ, barulah Mahdi merekam vokal dan memolesnya di tahap mixing-mastering.
Setelah lagu selesai direkam, Mahdi biasa meminta seorang teman yang mempunyai selera lumayan bagus untuk proses kurasi. Jika dia sudah merasa mantap, barulah Mahdi mendistribusikan lagu-lagunya.
Mahdi mengungkapkan, dia sudah mendaftar di salah satu agregator musik. Oleh pihak agregator, lagu-lagunya akan langsung disalurkan ke sejumlah platform streaming musik digital, seperti Spotify, YouTube Music, dan Joox.
"Agreator kan biasanya yang mendorong ke sejumlah store. Tiap store ada perbedaan harga, ada yang sharing royalti. Yang gue pakai 100 persen. Bayar domain sekitar US$ 30 dalam setahun," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kreasi Musik dari Kamar Tidur"