Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katagiri Kurenai dan Kasasagi
Bagus Dwi Hananto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurenai berjalan sendirian pada malam Natal saat salju pertama jatuh, dan dia mendongak ke langit memastikan dingin akhir tahun memiuhi dirinya dengan salju dan merambatkan rasa sendu yang barangkali tak pernah terusir sekejap pun. Dia menengadahkan tangan, terbuka siap menampung butir-butir salju. Salju berjatuhan lambat dan dia, untuk kesekian kalinya, kembali mengingat seorang teman lelakinya, seorang pria kurus dari Fushimi yang selalu bicara hal-hal aneh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu itu Kurenai tidak tahu bahwa pria kurus yang mengaku bernama Kasasagi tersebut datang dari masa lalu yang begitu jauh. Di akhir pertemuan mereka sebelum berpisah, lelaki itu bilang dia datang dari masa lalu. Saat itu, dalam perjalanan kereta ke Tokyo, Kurenai mengira teman barunya itu penipu belaka, tetapi kemudian telah tujuh tahun dia tak lagi bisa menemukan Kasasagi di mana pun di Kyoto, seolah lenyap begitu saja. Hanya sebuah surat terakhir mengatakan bahwa kekasih yang Kurenai cari sudah ditemukan Kasasagi dan itu terbukti setelah dia mengikuti arahan surat tersebut. Surat itu berisi alamat lengkap kekasih Kurenai yang tiba-tiba meninggalkannya tanpa alasan. Hilang dari hidupnya pada suatu hari.
Saat Kurenai mendapati alamat yang diberikan Kasasagi benar adanya, dan beberapa saran yang ditulis dalam huruf-huruf kecil yang intinya menyebutkan agar Kurenai bersabar dan mengimbau untuk tetap kuat atas pemandangan menyakitkan yang bakal ditemuinya kalau sampai di rumah kekasihnya—Kurenai belum benar-benar paham. Namun pada hari menghilangnya Kasasagi setelah Kurenai mendapat surat yang dikirim dari Fushimi ke apartemennya di Azabu, dia langsung melepas kebingungan itu dengan menaiki kereta ekspres beberapa jam ke Kumamoto untuk mendapati kenyataan menyakitkan tentang kekasihnya: orang yang dia cari selama ini sudah berkeluarga.
Maka sampai tujuh tahun, Kurenai mengenang Kasasagi yang menghilang dari hidupnya dengan tambahan prinsip: bahwa dia hanya akan menunggu hingga tiga menit apa-apa yang patut ditunggu; setelah itu akan dia tinggalkan karena terlalu lama, bahkan bila hal itu mesti terlambat lima menit saja. Seperti tiga menit yang dibutuhkan mi gelas untuk matang.
***
Tujuh tahun Katagiri Kurenai menjalani hidup sepi. Dalam rentan tujuh tahun ini, secara timbul-tenggelam dia mengingat-ingat pertemuannya dengan Kasasagi. Sore hari di Inari Taisha waktu rombongan Kurenai bertamasya mengelilingi Kyoto selama empat hari. Seorang lelaki kurus dengan tatapan mata sayu pada baris kesekian ratus torii cerah beragam besarnya. Kurenai tercerai dari rombongan teman-temannya dan dia baru saja kehilangan kekasih yang pergi tanpa kabar setelah mereka hidup bersama selama tujuh bulan di sebuah apartemen dan mimpi pernikahan yang Kurenai damba begitu dekat. Ketika pandang matanya terpaku ke sepasang mata sayu lelaki yang saat itu masih orang asing, entah kenapa Kurenai merasa pernah melihat wajahnya.
“Katagiri-san?” tanya lelaki itu.
Kurenai gugup, antara cemas dan perasaan aneh yang tak tahu bagaimana mesti dia jabarkan.
“Siapa ya?”
Lelaki itu tersenyum padanya. “Aku Kasasagi.”
“Seperti burung yang biasa bertengger di pohon-pohon sugi?” Kurenai bertanya lepas. Setelah itu dia baru merasa aneh akan pertanyaannya sendiri.
Lelaki itu mengangguk.
“Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Belum sepertinya.”
Entah bagaimana setelah lelaki itu menjawab apa adanya, Kurenai merasa lega.
“Lalu bagaimana kau bisa mengenalku?”
“Belum saatnya aku menjawab.”
“Apa maksudmu?”
Kasasagi tersenyum dan dari wajahnya yang tirus tampak kegugupan yang serupa dengan Kurenai rasakan. Dia pun merasa gugup, tapi mengapa kita bisa bicara seenteng ini. Siapa dia? Kenapa bisa mengenalku, pikir Kurenai. Namun pikiran ini tak dibawanya terlalu berat setelah perbincangan aneh yang dilaluinya bersama Kasasagi.
“Mengapa minum teh dan makan kue setelah mengunjungi tempat ini selalu menyenangkan?”
“Karena rasa lelah terobati, barangkali,” terka Kurenai.
“Katagiri-san, itu jawaban biasa. Orang pasti akan berkata seperti itu.”
“Lalu mengapa?”
“Karena di sekitar kita ada dewa rubah. Kuenya saja bergambar rubah.”
Kurenai merasa akrab dengan jawaban itu. Sebagai respons, dia tertawa dan menepuk-nepuk pahanya saking merasa lucu akan perkataan lelaki aneh yang ditemuinya ini.
“Kenapa bisa begitu?”
Kasasagi pun tertawa. “Memang begitulah adanya.”
“Omong-omong, kau tinggal di sekitar sini?”
“Ya.”
Ada jeda sebentar setelah jawaban itu. Kasasagi menatap Kurenai tepat saat tatapan perempuan itu memaku ke matanya. Pandangan mereka bertemu lagi.
“Apa besok kita bisa ketemu lagi di sini? Sore hari?”
Tanpa keraguan, Kurenai mengangguk. Dia seperti kena sirap. Perasaan enteng dan serba melegakan merasuki dirinya, sehingga dia dapat menyetujui begitu saja ajakan kembali bertemu.
Setelah pertemuan itu, mereka selalu menghabiskan waktu di Inari Taisha saat sore hari. Teman-teman Kurenai bertanya kenapa mengunjungi tempat yang sama berkali-kali. Itu adalah hari ketiga Kurenai ke Inari Taisha.
Kurenai menjawab dia menyukai tempat itu. Sedangkan teman-temannya memilih mendatangi tempat lain yang lebih meriah.
Kasasagi bertanya, apakah selama kehidupan remajanya, Kurenai pernah bermain Kokkuri. Pertanyaan aneh itu membuatnya terkekeh.
“Aku sekolah di tempat khusus perempuan. Jadi, kalau jam kosong, seingatku aku pernah main Kokkuri untuk memanggil arwah rubah. Sekadar iseng. Kami letakkan koin di gambar torii dan di antara huruf-huruf koin itu merambat pelan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami. Di mana pun, anak-anak kadang memainkan itu.”
“Apa kau percaya, Katagiri-san, bahwa koin bergerak dengan sendirinya saat telunjuk kalian ditempelkan di permukaannya?”
“Dulu aku percaya. Namun sekarang terdengar kekanak-kanakan.”
Kasasagi tersenyum penuh arti.
“Jika kau datang ke sini malam hari, kau dapat mendengar suara para dewa rubah. Kon. Kon. Kon. Seperti itulah.”
Kurenai tertawa-tawa. “Kau menirukannya dengan baik.”
Di sore berikutnya, Kasasagi muncul sebelum Kurenai tiba dan menunggu selama setengah jam.
“Kupikir kau tak akan datang.”
“Maaf, Katagiri-san, soalnya aku ada keperluan tadi.”
Kurenai tak bertanya keperluan apa. Dengan munculnya Kasasagi, dia sudah merasa puas.
Mereka berjalan pelan di antara pengunjung lainnya. Di kanan dan kiri pohon-pohon sugi tampak, dan torii demi torii terlewati seiring dengan percakapan mereka berdua.
“Apakah Kota Bulan benar-benar ada? Maksudku di balik bulan yang kita tahu. Di sisi gelapnya, apa benar di sana ada Putri Kaguya?”
“Nah, kau mulai lagi. Itu hanya dongengan. Tak mungkin, kan.”
“Namun dongeng pasti muncul dari sesuatu.”
“Apa maksudmu?”
“Ia bisa dikarang. Bisa tidak. Kau akan tahu bahwa banyak hal di dunia patut disembunyikan saking tak masuk akalnya. Ada orang yang muncul dari masa lalu dan takut mengetahui dunia yang ditempatinya merupakan dunia yang bukan masanya, melihat kota berkembang pesat dan manusia dengan tampilan aneh.”
Kurenai tertawa. “Seperti Urashima Taro?”
Kali ini mata Kasasagi tampak cemerlang. Mata sayu itu beberapa saat seolah terbangun dari tidur panjang, memancarkan kekagetan dan—yang bagaimana mengatakannya—berbahagia.
“Ya!” serunya.
“Dia kembali ke darat setelah pulang dari Istana Naga. Tahu-tahu waktu sudah kelewat seratus tahun.”
“Apa benar hal-hal macam itu ada?”
“Sebentar lagi kau bakal tahu, Katagiri-san.”
Itu adalah hari terakhir kunjungan Katagiri Kurenai ke Kyoto. Sebelum mereka berpisah, Kasasagi mengatakan semuanya kepada Kurenai. Bahwa dia datang dari masa lalu. Akunya, dia memakai haori coklat kusam saat ditemukan seorang paman ramah dari kedai ramen. Kasasagi hanya tahu namanya adalah Kasasagi dan pada awalnya dia takut. Namun paman baik hati ini menerima dan merawatnya setelah melapor kepada polisi tentang orang hilang. Itu sebulan lalu, sebelum pada akhirnya tak ada yang merespons laporan tersebut. Kini Kasasagi menjadi penduduk Fushimi dan bekerja di kedai paman yang menemukannya tak sadarkan diri di sebuah gang pada malam hari. Ingatan Kasasagi mulai terbentuk seiring dengan berjalannya waktu. Dan entah bagaimana dirinya tahu bahwa dia berasal dari masa lalu yang begitu jauh. Dia datang ke masa depan tanpa mengetahui tujuan kedatangannya.
Mendengar itu semua, Kurenai terbengong sesaat sebelum menggelengkan kepala beberapa kali.
“Kau pasti bercanda, kan?”
“Tidak. Bahkan setelah pertemuan kita beberapa hari lalu, aku serasa mengenalmu dan tahu seluruh rangkaian hidupmu sampai saat ini. Maka aku bertanya kepadamu, Katagiri-san, apa kau pernah bermain Kokkuri. Kau bilang pernah. Dan sekarang aku katakan bahwa kau mencari-cari kekasihmu yang pergi begitu saja, kan?”
Kurenai tercekat. Wajahnya merah padam dan menahankan emosinya.
“Kau siapa? Penipu, ya!”
“Bukan.”
“Kau kenal Tanaka? Siapa dirimu sebenarnya!”
Kurenai mencengkeram kerah baju Kasasagi. Lelaki itu tampak kebingungan menghadapi amarah meledak dalam diri Kurenai yang sebelumnya tertawa-tawa bersamanya. Mengetahui kebenaran perempuan itu tidak serta-merta membuatnya bahagia. Ini kebalikan dari apa yang dipikirkan Kasasagi selama beberapa hari dan menahan untuk mengatakan semua hal yang diketahuinya tentang Katagiri Kurenai.
“Semua yang kukatakan benar. Akan kubuktikan kepadamu. Aku tahu tempat tinggalmu. Aku datang dari masa lalu. Dan aku tak ada niat jahat sama sekali. Aku jujur. Kau bisa menemukanku di kedai Otsukimi nanti. Akan kukirim sebuah surat. Namun aku sarankan kau mesti tabah.”
Kurenai lunglai. Dia lemas mendengar seluruh hal aneh yang dipaparkan Kasasagi. Jangan-jangan dia detektif swasta atau hal semacam itu, pikirnya. Apa maksud semua ini?
Pada waktu itulah Kurenai memilih pulang tiga jam lebih cepat ketimbang rombongan teman-temannya. Kasasagi tidak mengejar perempuan itu.
***
Sampai kini Kurenai mengingat semua. Pertemuan aneh dengan lelaki yang tak pernah lagi muncul dalam hidupnya. Setelah mendapat surat dari Kasasagi, Kurenai mengempaskan kekasihnya yang pembohong dan melupakannya begitu saja. Dia mulai jatuh cinta dengan lelaki yang hanya sekejap ditemuinya itu. Kenyataan menyakitkan yang telah menyerangnya saat mendapati fakta tentang kekasihnya berangsur menghilang dan dia memilih mengejar Kasasagi. Namun itu semua terlambat.
Hingga tujuh tahun, ketika dia membebatkan diri dengan aturan absurd yang ditemukannya secara tak sengaja sewaktu makan mi instan di kombini dekat apartemen tempatnya tinggal—Kurenai masih tak habis pikir, bagaimana bisa orang-orang di lingkungan tempat Kasasagi tinggal tidak mengenal siapa itu Kasasagi. Bahkan paman yang merawat lelaki itu berkata dia tak pernah bertemu dengan orang bernama seaneh Kasasagi.
“Dia bilang tinggal di sini. Kedai ramen Otsukimi.”
“Nona, orang bernama Kasasagi tidak ada di sini. Kau bisa mengeceknya di sekitar sini. Tak ada yang mengenal orang bernama Kasasagi.”
Kurenai pulang ke Tokyo membawa perasaan kecut. Seperti sekotak mikan yang dimakan sendirian di pagi tahun baru. Kenyataan ini akan menghantuinya hingga lama. Dan dia mulai percaya bahwa Kasasagi memang datang dari masa lalu.
***
Dalam kegetiran masa tujuh tahun terngiang-terngiang Kasasagi, Kurenai pernah menjalin hubungan singkat dengan seorang pria yang hanya menginginkan seks sebagai pelengkap akhir pekan. Kurenai masih bekerja untuk melanjutkan hidupnya yang serasa hampa selepas kepergian Kasasagi yang tak dikenali siapa pun. Secara acak dia memacari seorang lelaki pekerja yang kantornya juga terletak di gedung yang sama dengan tempat dia bekerja. Tak begitu tampan, tetapi ramah. Namun pada kencan ketiga, sifat aslinya ketahuan. Lelaki ini hanya menginginkan hubungan badan sebagai sesuatu yang mengisi kelengkapan rutinitas. Sebagaimana lelaki-lelaki kantoran pada umumnya. Di sana tak pernah ada cinta yang dibutuhkan Kurenai untuk mengobati rasa pedih di hatinya. Pada saat itulah prinsip mi gelas yang dia denyarkan pada dirinya dipergunakan. Satu kali pada hari Minggu saat mereka mengunjungi salah satu hotel cinta di pinggiran Tokyo.
Mereka memasuki salah satu dari deretan hotel, memesan untuk tiga jam, perhelatan singkat yang didesak-desakkan si lelaki pada Kurenai sembari memohon-mohon. Kurenai sudah tidak betah, tetapi kesepian hidupnya menampakkan gerowong hitam di dada dan kian hari terasa berat. Dia mengiyakan ajakan itu dan menemaninya. Namun setelah masuk hotel cinta, pada kencan ketiga tersebut, sesuatu dalam diri Kurenai berkembang, membuat perasaannya ragu.
Si lelaki memutuskan mandi dulu. Tak lama, ujarnya.
Dan begitulah Kurenai teringat prinsip waktu saji mi gelasnya. Kalau dia tidak muncul setelah tiga menit, aku akan meninggalkannya, pikirnya saat itu.
Hitungannya tepat, ternyata. Si lelaki belum juga mentas dari mandi buat menyegarkan berahi yang telah meletup-letup itu. Kurenai mengambil tasnya dan keluar dari kamar. Pergi sejauh mungkin dan melupakan rasa muak yang mengganjal.
Setelah peristiwa itu, terdengar kasak-kusuk tak mengenakkan soal Kurenai. Tentu diembuskan si lelaki yang merasa diledek oleh aksi Kurenai pada kencan ketiga sekaligus terakhir mereka. Desas-desus buruk dan pandangan mata mengejek kemudian cibiran di belakang punggung Kurenai membuat hidup hampanya kian berat. Dia pada akhirnya memutuskan mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. Tiga bulan kemudian, dia mendapat pekerjaan baru dengan gaji lebih kecil. Tapi Kurenai lega, tidak ada lelaki bajingan di dekatnya. Semua berjalan tenang dan dia bisa mengenang lagi Kasasagi.
Tujuh tahun, pada pengujung hari-hari terakhir, Kurenai menatap langit yang terus menjulurkan butiran salju ke tanah. Salju menumpuk dan dia berjalan pulang dengan hati yang kering sebagaimana tahun-tahun lalu. Sampai di apartemen, dia membuka pintu dengan kelesuan sama pada hari-hari sebelumnya.
Kurenai memejamkan mata dan tidur sembarangan di sekitar kotatsu, sementara teve masih menyala.
Seekor burung terbang dari jauh lalu sampai di tingkat kelima gedung apartemen di Tokyo. Dari kaca jendela, burung itu menatap seorang perempuan yang tertidur di depan layar televisi yang menyala. Paruh burung kecil itu mematuk-matuk kaca, tapi perempuan itu tidak bangun meski berkali-kali dia mengetuk jendela.
Ketika suara di teve menampilkan siaran sebuah kuil dan kunjungan hari pertama pada tahun baru, Kurenai terbangun dengan perasaan enteng seperti baru tidur berjam-jam dan membuka mata dengan tubuh segar. Suara genta kuil bertalu-talu terdengar lewat teve.
“Sudah tahun baru, ya.”
Lalu teleponnya berdering. Dari ibunya. Meminta supaya dia pulang untuk menghabiskan tahun baru di kampung halaman. Kurenai tak perlu berpikir lama atas pinta ibunya itu. Dia akan berangkat pagi ini. Kurenai bisa mendengar suara senang ibu, ayah, dan adik lelakinya yang amat dia rindukan. Terdengar pula suara anjing peliharaan keluarga mereka.
Kurenai melihat langit pagi yang terhampar di jendela. Seekor burung berkicau dan dia seperti melupakan sesuatu yang menurutnya penting. Namun tak dapat diingatnya apa itu. Hanya, dia mendengar seekor burung berkicau dan itu sudah cukup memotong ingatan samar yang berusaha dia munculkan. Kenyataan kekasihnya membohonginya tujuh tahun lalu belum bisa dia lupakan. Kurenai tidak ingat bagaimana dia bisa mengetahui kebohongan itu. Hanya, seekor burung terus berkicau membuat perasaannya riang. Dua hari lagi dia akan ulang tahun, masih sempat dirayakan bersama keluarga sebab hari liburnya sampai tanggal empat.
Mlati Lor, November 2019
Bagus Dwi Hananto lahir dan tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Buku cerpennya yang akan terbit berjudul Seekor Kucing dalam Rashomon.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo