Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Digie Sigit menampilkan ekspresi anak-anak Palestina hingga buruh gendong Yogya.
Karya seniman Yogyakarta itu menggunakan teknik cetak grafis.
Karyanya sudah dipajang hingga di Austria
SENYUM Reyna merekah dalam sebuah karya seni cetak grafis yang terpajang di ruang depan Kebun Buku, kafe buku di Kota Yogyakarta, Sabtu, 9 November 2024. Senyum bocah perempuan dengan rambut model bob itu membuat matanya menyipit. Poninya pun hampir menutupi mata. Senyum itu menyapa pengunjung yang datang untuk membaca, membeli buku impor, ataupun melihat pameran seni grafis Muhammad Sigit Nurcahyo alias Digie Sigit bertajuk “Teruslah Merdeka” yang digelar selama sebulan di kedai itu sejak 1 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reyna adalah putri Sigit. Sembilan tahun lalu, senyum riang Reyna membuat takjub anggota komite rumah sakit rehabilitasi mental Sonnenpark Lans, Austria. Saat itu Sigit tengah mengikuti residensi dan pameran bertajuk “Tyrolesia #2” di museum Fotoforum di negara tersebut. “Karyamu harus dipajang di rumah sakitku karena senyum anak ini seperti obat,” kata Sigit menirukan komentar anggota komite itu kepada Tempo pada Ahad siang, 10 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambar senyum Reyna itu lantas dipajang di dinding aula rumah sakit tersebut. Aula itu biasanya menjadi tempat pasien melepas kejenuhan setelah berhari-hari di dalam ruang rawat inap.
Pada 2023, Sigit menemukan papan seng bergambar logo toko obat yang teronggok di jalan. Pesan pejabat rumah sakit di Austria itu terngiang kembali. Pria 47 tahun tersebut lalu memungutnya dan menjadikannya kanvas untuk karya grafis yang menampilkan senyum Reyna yang seperti obat itu.
Karya itu kini turut meramaikan pameran di Kebun Buku. Sigit, yang biasa menggunakan warna monokrom hitam-putih, membiarkan bekas cat biru dan oranye pada papan toko obat itu tetap menempel dan menyisakan tiga huruf di balik kepala Reyna. Sigit memberinya judul Bukankah Semua Milik Anak-anak Kita.
Di ruangan itu pula Sigit memamerkan senyum Pariah, buruh gendong di Pasar Beringharjo. Menggunakan kamera, ia memotret Pariah saat bertemu dengannya di salah satu lantai pasar ikon Kota Yogyakarta itu. Dengan keranjang dipenuhi aneka sayuran dan belanjaan lain, Pariah naik-turun tangga dan berjalan di lorong yang licin dan pasar yang penuh sesak oleh pembeli itu. Meski tampak lelah, Pariah tetap bisa melempar senyum saat berjumpa dengan Sigit. “Struggling yang keren, gila juga,” ucap Sigit mengenai Pariah.
Dengan tubuh sedikit membungkuk, Pariah tampak membenahi kain gendongannya. Warna hijau sayuran muncul dari balik punggung rentanya. Sigit mencetak dengan jelas senyum tulus Pariah beserta gurat-gurat tanda usia di dahinya dalam karya itu. Senyum Syukur Ibu Pariah, begitu judul karya Sigit yang menampilkan Pariah. “Senyum itu kekuatan penting yang publik harus tahu. Kita belajar tentang cinta, ketulusan, itu dari ibu,” ujar Sigit.
Gambar Pariah itu dicetak Sigit pada sepasang jendela kayu yang ditempel di dinding. Medium ini sekaligus menjadi sarana edukasi bahwa teknik stensil—salah satu teknik dalam seni grafis—tak melulu dapat dipraktikkan pada media yang rata seperti kertas, tapi bisa juga pada media yang berlekuk ataupun timbul.
Di salah satu ruangan kedai, Sigit menampilkan cetakan foto bocah Palestina yang tengah tersenyum lebar. Foto itu diambil dari arsip 1940-an. Ia membubuhkan gambar semangka merah yang seolah-olah dibawa gadis kecil itu. Hal itu membuat karya grafis berjudul Liberta Palestina tersebut jauh dari realitas bocah-bocah Palestina saat ini yang menderita dihajar bom-bom Israel.
“Bukan mendistorsi dengan tidak menampilkan kondisi kekinian anak-anak Palestina,” tutur Sigit. “Dunia sudah tahu. Too much kalau saya tampilkan juga,” kata perupa yang cukup gencar menyuarakan kemerdekaan untuk rakyat Palestina lewat karya-karya stensilnya di ruang-ruang publik itu.
Penggunaan foto arsip juga diterapkan Sigit untuk Local Wisdom Series. Karya itu dibuat berdasarkan foto-foto dari arsip Belanda yang menggambarkan seorang penari Bali di masa sebelum 1948 yang masih mengenakan subang dengan telinga lebar—budaya yang sudah punah di Pulau Dewata. “Kekuatan penggandaan dalam seni grafis ternyata tepat untuk pendistribusian arsip,” ucap Sigit.
Karya stensil dari kolaborasi 8 perupa yang berjudul "Living Wall #12" dalam pameran tunggal Digie Sigit yang bertema "Teruslah Merdeka" di Kebun Buku, Yogyakarta, Sabtu, 9 November 2024/TEMPO/Pito Agustin Rudiana.
Tak semua karya Sigit menggambarkan senyum. Ada karya yang memvisualkan tarian Yoga, anak muda asal Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang memerankan sosok Indrajit, anak Rahwana. Sosok Yoga dicetak pada kanvas dengan warna monokrom, sementara selendang batiknya tetap dimunculkan dengan warna merah. Yoga adalah potret anak muda yang masih melestarikan kesenian tradisional di tengah hiruk-pikuk dunia digital.
Ada pula sosok penghayat kepercayaan yang ditemui Sigit tengah melakukan ritual di depan pohon tinggi di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Karya itu menampilkan gambar perempuan tua bersanggul yang menangkupkan kedua telapak tangannya yang keriput ke atas kepala. Sejumput kembang merah mengintip dari impitan kedua telunjuknya. Melalui karya ini, Sigit ingin menyampaikan pesan tentang hubungan manusia secara vertikal spiritual dan relasi horizontalnya. Ada pula aspek lingkungan dalam karya itu. Ketika pohon masih tegak, lingkungan akan asri dan sumber air terjaga. Ia memberinya judul Doa Terbaik untuk Kemanusiaan.
Meskipun berangkat dari dasar seni grafis, Sigit tidak menggunakan teknik pembuatan sketsa atau drawing untuk merekam realitas yang ia jumpai. Alasannya, ia khawatir sketsa itu akan memanipulasi realitas yang hendak disampaikan. Ia memilih teknik jurnalistik lewat fotografi untuk memotret realitas sebelum mencetaknya dengan teknis grafis.
“Dengan fotografi, Sigit bisa mendapatkan ekspresi nyata dari figur orang yang ingin diangkat jadi karya,” ujar Bambang Muryanto, jurnalis senior Yogyakarta yang membuka pameran itu, kepada Tempo pada Senin, 11 November 2024. Ia mencontohkan karya yang menggambarkan penari dan perempuan penghayat itu.
Tema “Teruslah Merdeka” pameran ini diambil Sigit dari judul salah satu karyanya yang juga dipajang di sana yang menggambarkan bentuk senyum lain Reyna yang tampak malu-malu di atas kanvas hitam. Tema itu dipilih untuk mengingatkan publik tentang persoalan fundamental bangsa ini, yakni belum lepas dari belenggu mental orang terjajah. “Proses menghilangkan mental terjajah kita sejak 1945 belum rampung. Itu yang paling sulit,” kata Sigit. Ia berpendapat hal ini bisa merembet ke situasi seperti maraknya korupsi, manipulasi jabatan dan hukum, serta tak terakomodasinya korban kekerasan.
Sigit bersama tujuh temannya—Wimbo Praharso, Nicholas Nanang, Hadi, Teguh, Pujo, Itek, Huda, dan Sumo—tergabung dalam komunitas Graphic Victims. Mereka bekerja bersama membuat karya dengan teknik stensil menggunakan cetakan kertas dan cat semprot yang menyuarakan kegelisahan atas kondisi aktual.
Lewat senyum anak-anak itu, Sigit berharap spirit untuk menghilangkan mental terjajah terus hidup karena gambar tersebut menunjukkan mereka berada dalam zona aman. Mereka aman mengekspresikan apa yang dikehendaki dan tanpa intervensi dari luar.
Dalam pengantar pameran, Wimbo Praharso mencatat Sigit berulang kali menyebut karya sebagai doa. Sigit berkeyakinan bahwa dunia akan menjadi lebih baik dan membawa semangatnya untuk terus merdeka dalam karya-karyanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Senyum Reyna dan Doa Kemerdekaan"