Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gus Muwafiq menggunakan humor saat berceramah.
Bahasan ceramah dan bahasa yang dipakai Gus Muwafiq disesuaikan dengan peserta pengajian yang datang.
Sering ke Istana saat Gus Dur menjabat presiden.
MALAM telah larut ketika Ahmad Muwafiq naik ke atas panggung di halaman sebuah rumah di Kampung Tompeyan, Tegalrejo, Kota Yogyakarta, Senin, 20 Januari lalu. Sebagian hadirin sudah terkantuk-kantuk. Tapi, melihat kiai yang mereka tunggu-tunggu naik panggung, sebagian dari hadirin merangsek ke depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pria yang akrab disapa Gus Muwafiq itu lalu mencukur rambut seorang bayi laki-laki, Al Ihsa Faldia Gesa. Ia mencium keningnya dan membisikkan doa di telinganya. Ia terbata-bata melafalkan nama sang bayi. “Angel jenenge, milenial. Nek wong biyen gampang, jenenge Tofa, Muwafiq (Susah namanya, anak milenial. Kalau orang dulu gampang, namanya Tofa, Muwafiq),” katanya disambut tawa jemaah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama ayah sang bayi, Fanra Diatmoko, dan sekitar 300 orang yang hadir dalam acara akikah itu, Gus Muwafiq melantunkan selawat. Dengan senyum mengembang, ia menyapa anggota jemaah yang duduk lesehan.
Gus Muwafiq, 45 tahun, kemudian berceramah perihal keistimewaan manusia, seperti mulut yang bisa berbicara dan menirukan suara binatang atau tangan yang bisa melakukan apa saja. Sepanjang ceramah, ia menggunakan bahasa Jawa. “Nyekel iso, ngulek-ngulek iso, nambal ban iso. Ngene-ngene yo paham (Memegang bisa, mengulek bisa, menambal ban bisa. Melakukan seperti ini juga paham),” ujarnya sambil melakukan berbagai gerakan tangan dengan jenaka. Penonton yang melihatnya terkekeh.
Makin tua, kata dia, kondisi tubuh manusia jadi merosot. Mata menjadi buram, dengkul tak lagi kuat diajak berlari, dan gigi sulit mengunyah. Sebagian penonton yang berusia lanjut tersenyum. Malam itu Gus Muwafiq berkisah tentang fase kehidupan manusia dari sebelum lahir hingga setelah mati.
Agar isi ceramahnya mudah dipahami, Gus Muwafiq menggunakan bahasa sesuai dengan situasi dan jemaahnya. Saat berceramah di perkampungan, ia menggunakan bahasa sehari-hari yang sederhana agar jemaahnya gampang memahami perkataannya. Bila jemaahnya dari kalangan yang memiliki ilmu agama bagus, ia menarasikan kitab. Di hadapan anak muda, ia menggunakan bahasa kaum milenial. Namun jika yang hadir kebanyakan orang tua, seperti dalam acara akikah itu, ia akan menyanyikan lagu-lagu lawas, seperti lagu pedangdut Ikke Nurjanah. “Disesuaikan dengan keseharian audiensnya,” ucap Gus Muwafiq saat ditemui di rumahnya di Perumahan Jombor Pratama, Kota Yogyakarta, sebelum berangkat ke Kampung Tompeyan.
Dalam ceramahnya, Gus Muwafiq kerap menyisipkan pesan perbedaan antarumat manusia sebagai keniscayaan yang harus diterima sebagai rahmat. Untuk menjelaskan perbedaan manusia, ia mencontohkan Upin & Ipin, film animasi produksi Malaysia yang terkenal di kalangan anak-anak. Ada tokoh Jarjit yang keturunan India, Mei Mei yang keturunan Cina, dan Susanti yang menggambarkan tokoh dari Indonesia. “Anak-anak saya suka nonton Upin & Ipin. Ya, saya contohkan saat ceramah,” ujarnya.
Menurut dosen sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito, Gus Muwafiq berupaya membumikan Islam dengan pendekatan budaya sehingga lebih mudah dipahami khalayak. Terlebih Gus Muwafiq menyajikannya dengan menyelipkan guyonan. “Sehingga lebih masuk ke kepala ataupun hati masyarakat,” tuturnya.
Gaya itu, kata Arie, dipengaruhi oleh aktivitasnya selama menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi, Gus Muwafiq kerap menggunakan guyonan segar, mengasyikkan, dan cair. Ia terlibat aktif dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ia juga menjadi Sekretaris Jenderal Mahasiswa Islam Se-Asia Tenggara. Sedangkan Arie adalah kawan sesama aktivis yang kuliah di Universitas Gadjah Mada.
Gus Muwafiq juga menggunakan penjelasan yang dekat dengan keseharian masyarakat ketika berceramah dalam acara peringatan maulid Nabi Muhammad di Purwodadi, Jawa Tengah, 6 November 2019. Sebagian isi ceramahnya, yang disebarkan lewat video, kemudian dihujat banyak orang. Awal Desember 2019, anggota Front Pembela Islam, Amir Hasanudin, melaporkan Gus Muwafiq ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI karena dinilai menghina Nabi.
Gus Muwafiq lalu membuat video berisi permintaan maaf kepada masyarakat atas ceramahnya tersebut yang ia unggah di akun Instagram-nya. Namun hujatan dan laporan susulan terhadapnya tetap ada. “Itu kan karena pakai bahasa Jawa, diterjemahkan oleh orang yang tidak terlalu njawani, jadi masalah,” ucap pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, itu.
Ia lebih berhati-hati memilih kata setelah ceramahnya menuai protes. “Yang ngaji kan bukan hanya orang Jawa. Ya, paling aman pakai bahasa Indonesia,” ujarnya.
Protes tersebut tidak mempengaruhi agenda ceramahnya. Dalam satu hari, Gus Muwafiq bisa memberikan ceramah di tiga-empat tempat. Ia bahkan sering sampai kembali ke rumahnya pada subuh. Kesibukan tersebut membuatnya jarang bertemu dengan keluarganya.
Gus Muwafiq sedang memberikan tausyiah di perkampungan Tegalrejo, Yogyakarta, 20 Januari 2020. TEMPO/Shinta Maharani
Selepas pelaporan itu justru makin banyak anggota jemaah yang datang ke lokasi ceramahnya. Salah satunya Totok, pria asal Kota Yogyakarta. Malam itu Totok hadir di Kampung Tompeyan demi mendengar ceramah Gus Muwafiq yang, menurut dia, tidak jaim. “Karena Gus Muwafiq diprotes, saya malah jadi bersemangat ke sini,” katanya.
Sebelum kuliah di UIN Sunan Kalijaga, Gus Muwafiq belajar agama di banyak pondok pesantren di Jawa Timur. Ia mondok di Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri; Pondok Pesantren Langitan, Tuban; Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo; dan Pondok Pesantren Al-Ishlah, Bungah, Gresik. Ketika mondok itulah dia mengenal Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, cucu pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari. Ketika itu, Gus Dur datang mengunjungi salah satu kiai di Jawa Timur. “Pada 1980-an, dia sudah didambakan anak muda NU untuk sekadar salaman, termasuk saya,” ujarnya.
Ketika dilantik menjadi presiden pada 1999, kata dia, Gus Dur meminta anak-anak muda NU membantunya di Istana. Gus Muwafiq salah seorang yang datang memenuhi undangan itu. Namun ia menampik disebut sebagai asisten pribadi Gus Dur, seperti yang dikabarkan selama ini. “Masak, asisten gondrong begini?” kata Gus Muwafiq, yang mengaku berhenti memotong rambutnya sejak bocah.
Pada Juli 2001, ketika Gus Dur dimakzulkan, banyak simpatisan dari daerah datang ke Jakarta, termasuk mereka yang tak takut mati demi membela Gus Dur. Sebagian dari mereka disebut punya kesaktian. Mereka mempertontonkan kekebalan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Ada yang makan pedang, minum air satu kolam, dan mematahkan kawat berduri. Gus Muwafiq ditugasi membuat mereka tak ricuh. “Saya kasih mereka pil tidur. Walaupun sakti, kena pil tidur, ya tidur juga,” ujarnya.
Gus Muwafiq kembali belajar mengaji dan menjadi penceramah setelah Gus Dur lengser. Profesinya ini membuat rumahnya selalu kedatangan tamu setiap hari. Sebagian dari mereka datang meminta nasihat seputar persoalan hidup. Ada yang puyeng karena persoalan rumah tangga, percintaan, atau urusan bisnis. Tingkah laku tamunya sering kali aneh. “Pernah ada yang minta dicukur rambutnya, ada yang minta dimandiin,” tuturnya.
Sebagian yang lain datang meminta ia berceramah dalam acara pengajian ataupun hajatan mereka. Misalnya Yuni, yang datang dari Salatiga, Jawa Tengah. Bersama keluarganya, Yuni mengundang Gus Muwafiq mengisi pengajian di acara tahun baru Islam. “Kami sudah dua kali ke sini. Jadwal Gus Muwafiq sangat padat,” katanya.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo