Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menteri Hukum Yasonna Laoly dituding berbohong soal keberadaan Harun Masiku.
DPR membentuk tiga panitia kerja terkait dengan kasus Asuransi Jiwasraya.
Bekas Ketua Umum PPP divonis lebih ringan dari tuntutan jaksa.
PARA pegiat antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka meyakini Yasonna mencoba menghalangi pengusutan kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, dengan menutupi keberadaan salah satu tersangka penyuapnya, Harun Masiku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka pun menuntut Presiden Joko Widodo segera mencopot Yasonna. “Kami melihat ada keterangan tidak benar yang disampaikan Yasonna,” kata peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, di gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis, 23 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya, Menteri Yasonna ngotot menyatakan Harun Masiku, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, berada di Singapura saat KPK menangkap Wahyu pada Rabu, 8 Januari lalu. Menurut Yasonna, yang juga politikus PDIP, Harun pergi pada 6 Januari dan belum kembali. Penelusuran Tempo menunjukkan Harun kembali ke Jakarta pada 7 Januari. Pada Rabu, 22 Januari lalu, istri Harun, Hildawati Jamrin, membenarkan kabar bahwa suaminya sudah kembali ke Tanah Air sehari sebelum operasi tangkap tangan.
Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie akhirnya mengakui Harun sudah di Indonesia pada 7 Januari. Ia beralasan ada keterlambatan pada sistem informasi keimigrasian di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Sedangkan Yasonna menyatakan kesalahan itu bukan kesengajaan. “Swear to God, itu eror.”
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati mendesak KPK segera memeriksa Yasonna dan Ronny Sompie. Ia juga meminta KPK menyelidiki sistem imigrasi yang terlambat. “Jika tidak terbukti, berarti ada kebohongan yang sengaja dibuat untuk mengacaukan penyidikan,” ujarnya.
DPR Loloskan Lima Hakim Agung
DEWAN Perwakilan Rakyat meloloskan lima calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc di Mahkamah Agung melalui uji kelayakan dan kepatutan. “Delapan nama yang lolos kami putuskan secara musyawarah,” kata Ketua Komisi Hukum DPR Herman Herry, Kamis, 23 Januari lalu.
Komisi Yudisial sebelumnya mengajukan sepuluh nama untuk diuji oleh DPR. Enam di antaranya calon hakim agung dan empat sisanya hakim ad hoc. Calon yang lolos sebagai hakim agung adalah Soesilo untuk Kamar Pidana, Dwi Sugiarto dan Rahmi Mulyati untuk hakim Kamar Perdata, Busra untuk Kamar Agama, serta Brigadir Jenderal Sugeng Sutrisno untuk Kamar Militer.
Sedangkan tiga calon hakim ad hoc yang lolos adalah Ansori dan Agus Yunianto (Tindak Pidana Korupsi) serta Sugiyanto (Hubungan Industrial). Mahkamah Agung menyambut positif lolosnya delapan orang tersebut.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat, 12 Desember 2019. ANTARA/Puspa Perwitasari
Kebijakan Nadiem di Perguruan Tinggi
KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan akan meluncurkan program magang bagi mahasiswa untuk menimba ilmu di perusahaan atau lembaga lain selama tiga semester. Wakil Rektor Universitas Padjadjaran Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Arry Bainus pada Kamis, 23 Januari lalu, menyatakan Kementerian Pendidikan mengundang perwakilan dari beberapa universitas untuk membahas program itu sejak dua pekan sebelumnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nizam mengatakan kebijakan tersebut dirumuskan bersama para pemangku kepentingan, di antaranya Forum Rektor Indonesia. “Banyak stakeholder diajak berdiskusi,” ujarnya.
Rektor Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan program magang baru itu bersifat sukarela. Mahasiswa bisa memilih menghabiskan sebagian waktunya mengenal dunia profesional atau tetap kuliah. Menurut dia, pemerintah juga membolehkan mahasiswa menimba pengetahuan lintas disiplin keilmuan. Misalnya mahasiswa fakultas ekonomi bisa mengambil mata kuliah tertentu di fakultas hukum.
Tiga Panitia Kerja Jiwasraya Dibentuk
KOMISI Hukum Dewan Perwakilan Rakyat sepakat membentuk panitia kerja terkait dengan dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Komisi itu akan membahas persoalan tersebut bersama Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. “Kami akan memanggil sejumlah lembaga seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Otoritas Jasa Keuangan,” ujar Wakil Ketua Komisi Hukum Desmond J. Mahesa, Senin, 20 Januari lalu.
Selain dibentuk di Komisi Hukum, panitia kerja dibentuk di dua komisi lain. Ketua Komisi Keuangan DPR Dito Ganinduto mengatakan panitia kerja di komisinya akan membahas kasus Jiwasraya dan industri keuangan secara menyeluruh. Wakil Ketua Komisi Badan Usaha Milik Negara Aria Bima mengatakan panitia kerja di komisinya akan berfokus pada penyehatan Jiwasraya. “Termasuk pengembalian uang nasabah,” katanya.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan parlemen tak membentuk panitia khusus karena tak mau mengganggu proses penegakan hukum di Kejaksaan Agung. Kejaksaan telah menetapkan lima tersangka dalam kasus gagal bayar Jiwasraya.
Muhammad Romahurmuziy. TEMPO/Imam Sukamto
Dua Tahun Bui untuk Romy
BEKAS Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy, divonis 2 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin, 20 Januari lalu. Vonis ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yaitu 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta.
Hakim meyakini Romy--panggilan Romahurmuziy--menerima suap secara bertahap senilai Rp 255 juta dari bekas Kepala Bidang Urusan Agama Islam di Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur, Haris Hasanuddin. Uang itu diduga untuk meloloskan Haris menjadi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur.
Hakim pun menyebutkan duit dari Haris sebesar Rp 70 juta juga diterima Menteri Agama saat itu, Lukman Hakim Saifuddin. Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menilai putusan itu menunjukkan duit untuk Romy merupakan gratifikasi. “Bukan tindak pidana suap-menyuap,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo