Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada tempat yang lebih cocok untuk menjalin affair selain Heidelberg, kota paling romantis di Jerman. Nyaris di setiap tikungan di Altstadt—Kota Tua—yang tampak cantik dengan deretan gedung ratusan tahun bernuansa Gothik-Romantik terdapat hotel atau apartemen yang bisa digunakan untuk rendezvous bersama paramour—kekasih rahasia. Jika bertahan lama, itu artinya cinta. Jika berakhir, itu menjadi kisah cinta. Jika tak pernah berawal, itu adalah puisi. Selebihnya, apa yang terjadi di Heidelberg biarlah tetap tersimpan di sana. What happens in Heidelberg, stays in Heidelberg.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulhumut bertemu Isabel tanpa sengaja. Semacam serendipity—kebetulan yang menyenangkan. Waktu itu gerimis turun begitu saja. Mula-mula suasana terasa magis dan romantis. Namun, lama-kelamaan gerimis itu menjelma hujan deras. Dulhumut yang tak membawa payung bergegas berteduh di serambi bioskop tua Gloria.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulhumut datang ke Heidelberg karena nasib mujur. Sebagai wartawan sebuah media daring di Jakarta, dia ditugaskan untuk mengikuti lokakarya jurnalistik sekaligus melakukan liputan investigasi tentang kaum imigran dan radikalisme agama di Jerman selama sebulan. Baru pertama kali dia pergi ke Jerman meski sebelumnya pernah singgah di Paris dan Praha—dua kota lain di Eropa yang juga romantis. Dia tinggal di sebuah apartemen sederhana di Kircheim dan kerap bertandang ke Altstadt, antara lain untuk melakukan riset referensi di perpustakaan Universitas Heidelberg. Seperti sore di ujung musim semi itu.
Di dinding bioskop terpajang poster film yang diputar. Sebuah film Prancis tentang seorang suami yang tewas karena jatuh dari loteng. Sang istri didakwa membunuhnya dengan sengaja. Inilah misteri yang menjadi inti film itu: si suami tewas karena kecelakaan, bunuh diri, atau dibunuh oleh istrinya sendiri?
Dulhumut sudah menonton film itu. Menurutnya, film itu bagus, tetapi dia tidak menyukainya.
Saat itu di beranda Gloria telah ada seorang perempuan yang juga berteduh dari guyuran hujan. Dia tampak kedinginan. Hanya ada mereka berdua di situ.
Dulhumut tertarik dengan perempuan itu. Jatuh suka pada pandangan pertama. Tubuhnya agak gemuk, tapi proporsional. Hidungnya bangir. Bibirnya menggemaskan. Menjanjikan petualangan. Kulitnya terang, tapi tak sepucat perempuan Eropa kebanyakan. Rambutnya cokelat tua. Tidak pirang terang seperti Nina atau Dorothea—kawannya sesama peserta lokakarya jurnalisme investigasi asal Jerman dan Ukraina. Bagi Dulhumut, warna rambut sebaiknya lebih gelap daripada warna kulit. Itu baru estetis.
Namun, yang paling menarik adalah sepasang matanya. Mata itu seperti menyimpan kesedihan, tetapi sekaligus mengandung kehangatan. Sinar matanya menyiratkan kebaikan yang tulus bercampur cinta yang bergelora.
Dulhumut tidak tahan untuk mengajak berkenalan.
“Kamu dari Chile? Santiago?” tanya Dulhumut kepada Isabel setelah mereka berkenalan. Dulhumut menyukai Chile karena negara di Amerika Selatan itu bebas visa bagi warga Indonesia. Selain itu, Dulhumut senang membaca karya para sastrawan Chile yang menurutnya bagus-bagus.
“Bukan. Temuco,” sahut Isabel.
“Oh, itu kan kota kelahiran Neruda,” kata Dulhumut.
Isabel seperti terkejut. Matanya berbinar. “Kamu tahu Pablo Neruda?”
“Tentu saja. Aku menyukai puisi-puisinya. Dia penyair hebat dan pencinta yang berkobar-kobar. Lagi pula, dia pernah tinggal di negeriku semasa muda,” jawab Dulhumut seraya memasang perangkap dalam senyumnya.
Obrolan selanjutnya menjadi lebih hangat. Mereka lekas akrab.
Isabel bekerja di sebuah lembaga pelestarian lingkungan yang berafiliasi dengan Uni Eropa. Baru sebulan dia pindah ke Heidelberg dari Bielefeld di bagian utara Jerman. Isabel pindah karena pekerjaannya. Dia tinggal di sebuah apartemen di Altstadt, tak jauh di kaki Heidelberg Schloss—kastil tua di puncak bukit yang amat termasyhur.
Sore itu mereka bertukar nomor telepon sebelum berpisah setelah hujan reda.
Hari demi hari Dulhumut dan Isabel kian akrab. Di sela kesibukan masing-masing mereka kerap bertukar pesan lewat telepon. Saling berbagi cerita. Mula-mula hanya soal-soal biasa. Namun, kemudian mereka mulai menyingkap hal-hal yang lebih intim. Sepertinya sepasang anak manusia dari benua yang jauh itu saling tertarik dan menemukan kecocokan di perantauan.
Seminggu setelah pertemuan pertama mereka, Dulhumut mengajak Isabel berkencan. Dulhumut menjemput Isabel di sanggar dansa di Theaterstrasse pada pukul 19.05. Isabel berlatih salsa di sana setiap Senin sepulang kerja.
Isabel mengusulkan agar mereka mampir ke Che Pana, sebuah bar Amerika Latin di Floringasse milik sepasang suami-istri asal Venezuela. Isabel bilang dia menyukai minuman pisco sour yang mereka racik. Namun, ternyata bar itu tutup.
Mereka lalu makan malam di sebuah kedai Italia di Hauptstrasse, Ristorante-Pizzeria Cavallino Bianco—Kuda Putih. Isabel yang vegetarian dan penggemar terung memesan parmigiana di melanzane dan segelas anggur merah Chianti. Dulhumut yang pemakan daging memesan vitello tonnato dan anggur putih Chardonnay.
Mereka bercakap-cakap riang di antara kerling hangat dan denting gelas kaca. Tertawa gembira. Saling membuka rahasia. Mata mereka bicara. Tak hanya menatap, mata juga bisa saling meraba dan menggoda.
Isabel punya suami yang tinggal dan bekerja di Bielefeld. Suaminya seorang insinyur. Dia lelaki Jerman yang dingin, disiplin, dan mekanistis. Seperti mesin. Mereka tak punya anak. Meski belum resmi bercerai, Dulhumut telah berpisah dengan istrinya yang bekerja sebagai guru SMA dan tinggal di Bandung dengan anak perempuan mereka yang baru beranjak remaja. Dulhumut sebulan lagi genap 40 tahun. Isabel setahun lebih tua. Dulhumut suka membaca novel Alejandro Zambra, terutama Bonsai. Isabel tidak suka Zambra. Menurutnya, Zambra terlalu dilebih-lebihkan. Di mana-mana di Chile, dari Santiago sampai Valparaiso, Zambra diagungkan. Menurut Isabel, itu menyebalkan. Dia lebih suka membaca Isabel Allende atau Roberto Bolaño. Tapi mereka berdua sama-sama mencintai Neruda.
Dulhumut amat menyukai selarik sajak Neruda ini: Jika cinta itu seperti anggur, kaulah anggur kesukaanku.
Isabel sangat menyukai sebait puisi lain Neruda: Aku mencintaimu tanpa tahu bagaimana, kapan, atau mengapa. Aku mencintaimu dengan lugas, tanpa kerumitan atau keangkuhan.
Sudah lewat tengah malam saat mereka meninggalkan si Kuda Putih. Tak ada lagi bus yang melaju ke Kircheim—tempat Dulhumut seharusnya kembali. Dia harus mencari taksi jika hendak pulang.
“Kamu boleh menginap di apartemenku. Sofaku bisa kamu pakai,” kata Isabel seraya menatap lekat mata Dulhumut.
Dulhumut melihat kesungguhan di mata Isabel. Tapi dia tahu, jika mereka pulang bersama ke apartemen Isabel, dia tidak akan tidur di sofa.
Tangan Dulhumut menggamit jemari Isabel. Mereka berjalan berdampingan menuju apartemen Isabel—hanya empat puluh langkah dari kedai Italia itu. Begitu mesra. Seperti sepasang kekasih yang dimabuk asmara.
Mereka menyusuri malam lengang, melintasi Kornmarkt lalu berbelok ke Karelstrasse. Di sebuah apartemen tua bercat merah muda tiga lantai di sisi kiri mereka masuk dan naik ke lantai paling atas.
Semua terjadi begitu cepat dan alamiah. Di balik pintu tertutup mereka berpelukan dan berciuman. Bibir mereka berpagut. Lidah mereka bertaut. Tanpa sempat menyalakan lampu, Isabel menarik Dulhumut ke dalam kamar. Mereka naik ke ranjang, bergelut mesra seakan-akan tak ada waktu tersisa. Seperti musafir yang kehausan di Gurun Atacama.
Setelah semuanya usai, hanya tersisa senyap di dalam gelap. Tanpa busana mereka terlelap.
Saat pagi tiba, Dulhumut terbangun oleh sinar matahari yang menyusup melalui jendela kaca yang tirainya terbuka. Di balik kaca di atas bukit sana tampak Kastil Heidelberg yang berdiri anggun sejak ratusan tahun silam. Di sampingnya, Isabel masih tertidur dengan mata terpejam.
Dulhumut bangkit dari ranjang lalu masuk ke kamar mandi untuk berkemih dan membasuh muka. Ada banyak peralatan mandi, kosmetika, ornamen, dan pernak-pernik dari berbagai negeri, menandakan Isabel kerap bepergian ke mana-mana. Ada sabun dari Maroko, juga semacam dupa dari Tiongkok dan hiasan mata angkara penangkal sihir dari Turki. Ada pula buku-buku beragam bahasa di rak sudut kamar mandi—Inggris, Jerman, Spanyol.
Dulhumut meraih salah satunya. Judulnya Antología de la literatura fantástica, kumpulan cerita ganjil dalam bahasa Spanyol yang dikumpulkan oleh Jorge Luis Borges dan dua kawannya dari Argentina. Juga ada kumpulan puisi Jorge Teillier berjudul Los Dominios Perdidos dan sebuah kumpulan cerpen Juan Emar. Dulhumut belum pernah membaca karya kedua sastrawan Chile itu meski dalam edisi terjemahan.
Keluar dari kamar mandi, Dulhumut melangkah ke ruangan di samping kamar tidur. Di situ terdapat sebuah rak buku besar dan tinggi penuh buku yang menempel ke dinding. Juga ada sofa yang tampak nyaman diduduki dan ditiduri.
Namun, yang menyita perhatian Dulhumut adalah bendera besar di salah satu dinding, menghadap ke jendela. Bendera biru, merah, dan kuning itu lambang klub sepak bola Barcelona!
Dulhumut tercekat. Tanpa sadar, rupanya dia sudah masuk perangkap di sarang musuh. Dia telah berkhianat!
Orang bisa saja berganti agama atau kewarganegaraan, tapi tidak mungkin berganti klub sepak bola pujaan. Itu kontrak kesetiaan seumur hidup. Begitu pula bagi Dulhumut. Sejak remaja dia penggemar sejati klub Real Madrid—musuh bebuyutan Barcelona. Pemain favoritnya adalah Raul Fernandez dan Cristiano Ronaldo.
Bagaimana mungkin hal semacam ini luput dari perhatiannya? Saat bercakap-cakap di tengah badai asmara yang bikin terlena, mereka tak pernah menyinggung sepak bola.
Tiba-tiba Dulhumut merasa mual. Buru-buru dia masuk toilet, menumpahkan seluruh isi perut di lubang kakus. Dulhumut sungguh menyesali apa yang terjadi. Dia merasa telah melakukan pengkhianatan yang keji. Bagaimana mungkin dia begitu polosnya tidur dengan seorang Decul? Dia telah menodai kesetiaannya terhadap Los Blancos!
Dulhumut menyelinap ke kamar tidur. Dilihatnya Isabel masih pulas. Dulhumut membuang muka. Lekas dia mengenakan seluruh pakaiannya yang terserak di lantai. Ponsel dan dompet ada di saku celana jinsnya. Lalu buru-buru dia memakai kaus kaki dan sepatu.
Tanpa pamit atau mengucapkan kata perpisahan, Dulhumut meninggalkan Isabel. Dia bergegas melangkah keluar dan menutup pintu di belakangnya rapat-rapat.
Heidelberg-Dilsberg-Jakarta, Juli-Agustus 2024
Anton Kurnia menulis cerpen, novel, esai, dan nonfiksi kreatif. Dia terpilih mengikuti residensi penulis yang diselenggarakan UNESCO City of Literature Heidelberg di Jerman pada April-Juli 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Para penulis bisa mengirim cerpen, puisi, dan esai seni serta budaya untuk Tempo lewat surat elektronik: sastra@tempo.co.id dan cc: sastratempo@gmail.com. Panjang cerpen maksimal 13.000 karakter. Kiriman puisi minimal lima dan maksimal 10 judul. Panjang esai maksimal 6.000 karakter. Karya-karya tersebut belum pernah terbit di medium mana pun, termasuk media sosial. Lampirkan biodata singkat, alamat lengkap, kontak, foto gaya bebas, dan nomor rekening. Waktu tunggu maksimal enam pekan.