Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

IB. Said, Pelukis Tamu Agung Negara

Istana menerbitkan katalog lukisan IB. Said yang menggambarkan para tamu agung. Hadiah penting untuk dunia seni rupa di HUT RI.

18 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA masa yang panjang, Jakarta memiliki cara khas dalam menyambut tamu negara atau tamu agung. Selain dengan upacara formal kemiliteran dan kebangsawanan, para perdana menteri, presiden, serta raja atau ratu itu dijunjung dengan lukisan-lukisan besar di sejumlah jalan dan lapangan. Gambar itu berupa lukisan potret tamu yang bersangkutan, dengan didampingi lukisan potret Presiden Indonesia dan ibu negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penggagas pertama pemasangan lukisan besar atau baliho itu adalah Henk Ngantung, seniman yang menjabat Gubernur Jakarta periode 1964-1965. Henk mendapat ide dari realitas kala Presiden Sukarno berkunjung ke Uni Soviet dan negara Eropa Timur. Di negeri-negeri itu, tamu agung selalu disanjung dengan segala cara. Salah satunya dengan gambar-gambar besar potret diri, yang dipajang di plaza utama ibu kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Gambar-gambar besar yang kami bikin itu juga untuk memberi tahu masyarakat bahwa inilah pemimpin negeri sahabat kita,” kata Henk, yang memulai tradisi lukisan tamu agung sejak 1960, kala ia jadi ketua Panitia Negara (lembaga penghias ibu kota). Tradisi lukisan tamu agung itu berterusan hingga 2008. Sampai sang zaman mengatakan bahwa pada akhirnya tradisi penyambutan dengan cara itu tidak lagi perlu. Lalu lukisan tamu agung pun jadi sejarah.

Nah, bisa dilihat di manakah jejak-jejak sejarah itu? Ini yang jadi persoalan. Masalahnya, pihak Panitia Negara, juga pihak Sekretariat Negara era Presiden Sukarno (sampai 1967) dan era Presiden Soeharto (sampai 1998), tampak lupa menyimpan jejak-jejak itu. Lukisan besar tamu agung tersebut tidak diketahui rimbanya. Sampai di sini, kenangan masyarakat akan baliho tamu agung pelan-pelan hilang dari ingatan.

Tapi kabar baik tiba-tiba datang dari istana kepresidenan. Lukisan tamu agung, terutama yang diciptakan oleh IB. Said, berhasil dikumpulkan dan siap diformulasi dalam kitab katalog pada Agustus 2024. Dengan begitu, karya-karya seni yang selama puluhan tahun dirumorkan raib dalam kabut sejarah segera menyeruak keluar dan siap unjuk diri.

Pelukis tamu negara, IB Said, melukis Taufiq Kiemas di bengkel kerjanya di Kompleks Bina Graha, Jakarta, 22 Mei 2003. TEMPO/ Lourentius EP

Meski demikian, seperti yang dikatakan Kepala Biro Pengelolaan Istana Darmastuti Nugroho, lukisan tamu agung yang dikumpulkan bukan versi ukuran besarnya. “Puluhan lukisan yang kami bukukan adalah versi ukuran kecilnya, yang kala itu selalu diciptakan berbarengan dengan versi balihonya. Karya Said jadi pilihan karena pelukis ini yang mengerjakan potret tamu agung tanpa henti, sejak 1960-an,” katanya.

Upaya menarik ini juga didorong oleh Deputi Bidang Administrasi dan Pengelolaan Istana Rika Kiswardani. Sebab, menurut dia, lukisan figur tamu agung adalah dokumen diplomasi pada suatu era. Lukisan tamu agung merupakan karya seni yang berhubungan langsung dengan politik Istana pada suatu masa. 

Namun, siapakah IB. Said, pelukis yang begitu gigih dan sabar mengerjakan order negara dalam jumlah sangat banyak dan dalam tempo yang begitu panjang?

 

Satu-satunya di Dunia

IB. Said lahir di Malang pada 28 Agustus 1934. Ia sebenarnya bernama pendek saja: Said. Sedangkan “IB” di depan namanya merupakan penyingkatan tulisan dari kata “ibe” (bahasa Madura), yang artinya kakak. Ia semula belajar melukis di Sekolah Seni Rupa Malang, di bawah bimbingan pelukis Widagdo. Tak puas belajar di situ, ia hijrah ke Yogyakarta dan belajar kepada Trubus dan Fadjar Sidik. Belum puas juga, ia lantas bermukim di Bandung untuk belajar kepada Hendra Gunawan.

Pada awal 1960-an, Said ke Jakarta dan bergabung dengan Panitia Negara pimpinan Henk Ngantung. Dari sinilah kariernya sebagai pelukis tamu agung dimulai. Kala itu ia dilibatkan dalam proyek melukis potret Presiden Sukarno di kanvas-kanvas besar dan tebal. Karena masih dipertimbangkan kemampuannya, Said hanya ditugasi melukis kancing dan tanda jasa. Said tidak kecewa dengan tugas yang terlalu ringan ini. Tapi ia mencuri-curi kesempatan memoles dan mempresisi bagian wajah Sukarno. Mereka yang melihat, heit, terpesona! Selanjutnya ia diberi tugas melukis Presiden Tiongkok Liu Shaoqi.

Atas capaian itu, ia diberi hadiah “tugas berat”: melukis potret Sukarno untuk kampanye “Bebaskan Irian Barat dari Belanda” di pelosok Irian Barat (kini Papua). Semula ia ingin melukis itu di Jakarta saja untuk kemudian lukisan digulung dan dibawa ke sana. Namun khawatir catnya lengket, belasan lukisan besar itu ia kerjakan langsung di tempat.

“Selama 50 hari saya berada di Irian Barat, yang kala itu jiwa masyarakatnya masih setengah Indonesia, setengah Belanda,” Said mengisahkan. Ia bercerita bahwa, ketika di sana, anak pertamanya lahir di Jakarta. Yang mengejutkan, si putra muncul ke dunia dengan rambut keriting, seperti orang Papua!

Gerakan 30 September 1965 meletus. Orde Lama runtuh. Henk Ngantung serta Panitia Negara dibekukan. Namun eksistensi Said tetap cair. Kemudian pada 1967 ia diminta Sekretariat Negara era Orde Baru untuk terus melukis para tamu agung yang sewaktu-waktu datang. Pekerjaan membanggakan, meski jadi beban tak alang kepalang.

“Ordernya selalu terburu-buru. Sering kali contoh foto yang datang segede kotak korek api. Kecil sekali! Padahal saya harus melukis dengan persis,” ujar Said.

Ketika Orde Baru runtuh dan Orde Reformasi tiba, ia tetap dipanggil untuk jadi pelukis utama tamu agung. Sedangkan rekannya, Soetardjo, hanya menyelip ketika Said sedang berhalangan. Profesinya sebagai pelukis tamu agung baru terhenti pada 2006, ketika ia cedera tangan karena kecelakaan lalu lintas. Pada 2008, ia aktif lagi. Ini adalah terakhir kalinya order ia terima. “Pada waktu itu, lukisan besar tamu agung sudah kurang diperlukan. Dan gambar tamu sudah dituntaskan dengan foto digital yang dicetak di kanvas lebar,” kata Said. Lukisan tamu agung terakhir yang ia garap adalah Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad.

Maka, sejak 1962 sampai 2008 (selama 46 tahun), Said telah melukis 223 kepala negara (presiden, perdana menteri, raja, ratu) atas permintaan pemerintah. Reputasi ini tidak tertandingi oleh pelukis resmi tamu agung di mana pun di dunia. Dokumentasinya menegaskan: Norodom Sihanouk, Ratu Elizabeth, Nelson Mandela, Ratu Sirikit, Julius K. Nyerere, Zia ul Haq, Helmut Kohl, Yasser Arafat, Corazon Aquino, Paus Yohanes Paulus II, sampai Bill Clinton sudah direkam apik oleh kuas dan kanvasnya. Kapan mereka dilukis dan kapan mereka datang, Said mendokumentasikan dengan sempurna. Yang juga harus dicatat, para tamu tersebut umumnya datang bersama pasangannya. Dan keduanya harus ada dalam lukisan yang terpajang.

Pelukis tamu negara, IB Said, melukis Taufiq Kiemas di bengkel kerjanya di Kompleks Bina Graha, Jakarta, 22 Mei 2003. TEMPO/ Lourentius EP

Lukisan diwujudkan dalam ukuran 4 x 3 meter, yang dibentangkan di Kemayoran, Pasar Baru, Markas Besar TNI, Stasiun Beos, Senen, hingga Jatinegara. Sampai akhirnya diringkas hanya untuk Bundaran Hotel Indonesia, Bandara Halim Perdana Kusuma, Bandara Soekarno-Hatta, Istana Negara-Istana Merdeka. Dengan begitu, dalam satu kedatangan, Said melukis para tamu itu dalam banyak kanvas. Semua lukisan harus dipajang di sekujur Ibu Kota, meski sang tamu akhirnya tidak mampir ke Jakarta. Seperti Ronald Reagan yang ternyata mendarat di Bali.

Selain itu, Said diharuskan menggubah dua lukisan berukuran 75 x 60 sentimeter untuk dipasang di ruang pertemuan dalam setiap momen penyambutan kedatangan di istana kepresidenan. Nah, lukisan-lukisan jenis inilah yang dibukukan oleh istana kepresidenan.

Sesuai dengan protokol, lukisan tamu agung tersebut selalu didampingi lukisan potret Presiden Indonesia dan ibu negara. Karena lukisan yang pernah dipajang tidak boleh dipakai lagi, Said harus menggubah lukisan baru. Berkonteks dengan ini, era Orde Baru menghadiahkan realitas luar biasa. “Saya harus melukis Pak Harto dan Ibu Tien selama 32 tahun, sejak mereka berusia muda sampai tua,” kisah Said. Maka, dalam hitungan, Said telah melukis mereka lebih dari 500 kali.

Itu sebabnya, ketika Soeharto lengser pada 1998, prestasi Said ini ramai-ramai diingat oleh berbagai media massa internasional. Dari Reuters dan AFP dari Amerika, NHK dari Jepang, ABC Television dari Australia, sampai CBC dari Kanada. Sedangkan untuk tradisi menyambut tamu agung dengan kanvas baliho, hanya Indonesia dan sejumput negara lain yang melakukannya. Kerja Said pun dianggap unik dan langka. Meskipun, sungguh aneh, Said tak pernah sekali pun bertemu dengan Soeharto. Bahkan dengan semua presiden Indonesia yang bertubi-tubi dilukisnya.

Lukisan Bela Negara

Said adalah pelukis yang bekerja keras untuk Indonesia di tengah kehidupannya yang apa adanya. Rumahnya yang selama puluhan tahun kontrak di bilangan Haji Ung, Kemayoran, adalah bukti kesederhanaan itu. Pada hari tuanya, Said memilih pindah ke Depok (Jawa Barat), lalu ke Desa Slumbung di Blitar, ikut anaknya. 

Di tengah menunggu order melukis tamu agung, Said bekerja sebagai pelukis bebas. Ia menyewa kios di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Di situ ia jadi pelukis potret. Untuk hal ini, kepiawaian Said memang teruji. Bukankah ia pelukis ratusan wajah pemimpin dunia? Ketika lukisan bebasnya banyak terkumpul, ia berpameran tunggal di Bali dan Jakarta.

Sejak memasuki dekade kedua 2000 banyak yang berusul agar negara memberi penghargaan tinggi kepada Said. Karena selama puluhan tahun Sekretariat Negara banyak menggunakan jasanya, banyak pihak menganggap bahwa lembaga inilah yang berkewajiban menganugerahi. Namun Sekretariat Negara melimpahkan tugas itu kepada lembaga yang dianggap paling pas: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada 2014, wewenang tersebut dipindah lagi ke Kementerian Pariwisata & Ekonomi Kreatif. Kementerian ini membahas dengan serius dalam forum group discussion di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali. Tapi usul ini juga gagal. Alasannya, yang berkewajiban memberi (lagi-lagi) adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan! Sedangkan Said sendiri tidak pernah ingin memperoleh penghargaan itu. “Lukisan tamu agung saya untuk bela negara,” tutur Said. 

Pada Juni 2014, terbit berita bahwa Said terkena stroke ringan. Pelukis pengukir sejarah ini beberapa minggu tergolek di rumah sakit sederhana di kawasan Jakarta Selatan. Ia lalu dibawa ke Blitar. Di sana ia meninggal pada 16 Januari 2016. Delapan setengah tahun setelah ia mangkat, atau 16 tahun setelah ia pensiun, penghargaan akhirnya datang dari pemerintah: kitab katalog. Lumayan. * 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus