Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Agar Tari Merak Diakui Dunia

Penari Irawati Durban secara kolosal membawakan Tari Merak. Upaya agar Tari Merak diakui sebagai warisan budaya tak benda.

25 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIK gamelan ditabuh. Sekitar 50 penari mengikuti Irawati Durban, 79 tahun. Mereka berkostum cerah seperti warna bulu burung merak dengan mahkota berbentuk burung. Irawati dan para muridnya itu berjalan cepat sambil mengibaskan sayap kain yang menempel pada punggung atas mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan gerakan yang luwes mereka berlenggak-lenggok, kepala mereka seperti ditolehkan ke kiri dan ke kanan, tangan dan tubuh mereka pun gemulai mengikuti iringan gamelan. Gerak mereka seperti polah burung merak yang tengah memamerkan bulu-bulu indahnya selama sekitar tujuh menit. Setelah itu, sekitar seribu orang menari, dari anak-anak hingga dewasa, termasuk istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Atalia Praratya. Suami dan ibu Atalia menonton dari teras Gedung Sate, Bandung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara kolosal bertajuk Tari Merak Sadunya (sedunia) itu menyemarakkan halaman Gedung Sate pada Ahad siang, 18 September lalu. Tak lama setelah penampilan itu, diputar video rekaman Tari Merak yang dibawakan secara tunggal ataupun berkelompok dari sejumlah negara. Contohnya penggiat budaya Ratna Iswahyuni Cary dari Maryland, Amerika Serikat, serta penari asing seperti Polina Cherneva. Ada pula penggemar tari serta kelompok tari dari sanggar, sekolah, dan kampus yang tersebar di Bandung, Karawang, dan Sukabumi di Jawa Barat serta Yogyakarta.

Gebyar kegiatan yang diadakan melalui kerja sama beberapa pihak dalam Gerakan Gotong Royong Perempuan Merawat Nusantara ini menjadi kampanye pengusulan Tari Merak sebagai warisan budaya tak benda ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Ira—panggilan Irawati Durban—gundah karena masih sedikit karya kesenian Sunda yang diakui dunia.

Meski tak tahu kapan bisa diusulkan, Ira yakin Tari Merak telah banyak dikenal dan ditarikan. Pada 2015, Yayasan Pusat Bina Tari yang ia dirikan pernah menghelat parade akbar Tari Merak bertajuk Sarewu Merak Tandang. Acara yang melibatkan sekitar 1.500 penari itu memenuhi Jalan Asia Afrika depan Gedung Merdeka, Bandung.

Peristiwa ini mengingatkan akan perhelatan pada 1955, tatkala Raden Tjetje Somantri, guru tarinya, untuk pertama kalinya menampilkan Tari Merak di hadapan tamu peserta Konferensi Asia-Afrika. Saat itu Kepala Jawatan Kebudayaan Jawa Barat Tubagus Umay Martakusuma ikut menentukan penari serta menata kostum dan riasannya. Hingga 1958, tarian ini dipentaskan hingga lima kali. Namun kemudian pamor Tari Merak kalah dibanding Tari Kupu-kupu yang ditampilkan dengan kostum lebih memikat.

Ira lalu merekonstruksi Tari Merak pada 1965. Dari lima gerakan dalam karya gurunya yang berbasis pada tari Sunda itu, Ira mengambil dua lalu menambahkan tujuh gerakan baru seraya merancang ulang kostumnya. Dia menjadikan karya itu personifikasi kepribadian orang Sunda, di antaranya ramah, hingga menjurus kepada Sang Pencipta.

Ira menyebut Tari Merak sebagai tari Sunda klasik baru. “Karena saya memasukkan unsur di luar tari Sunda, seperti balet, tari oleg tamulilingan, dan modern dance,” ujar penari yang bernama asli Irawati Jogasuaria itu, Kamis, 15 September lalu. Agar gerakan tari mirip polah asli merak, Ira mengamati langsung burung itu di Kebun Binatang Bandung.

Sejak berusia sekolah dasar, seniman tari kelahiran Bandung, 22 Mei 1943, ini ingin menjadi penari balet. Cita-citanya muncul setelah ia menonton film di Bioskop Elita dekat Alun-alun Bandung dan Majestic di Jalan Braga. Saat berusia 12 tahun, dia sempat berlatih balet selama empat bulan di tempat kursus Gina Melloncelli di Jalan Riau bersama kakaknya. Karena kelelahan pulang-pergi bersepeda, Ira berhenti dari les balet dan beralih ke tari Sunda. Ia belajar kepada kerabatnya, Tjetje Somantri, secara sembunyi-sembunyi karena ibunya melarang keras.

Suatu ketika, Ira diberi upah Rp 20 sepulang tampil menari di Gedung Pakuan, yang kini menjadi rumah dinas Gubernur Jawa Barat. Ia menyerahkan uang itu kepada ibunya, tapi didamprat. "Ibu marah besar, katanya seperti penari ronggeng yang dibayar," ucapnya. Setelah gurunya turun tangan, bungsu dari sepuluh bersaudara anak pasangan R.S. Nannie Djajawikarta dan Muchsin Jogasuria itu bisa menekuni tari klasik Sunda, tari Melayu, tari Jawa, tari topeng Cirebon, dan tari Bali. Ia juga berguru kepada Nugraha Sudiredja, Raka Astuti, dan Ayu Bulantrisna Djelantik.

Irawati Durban (79), ambil bagian dalam pentas tari kolosal Merak Sadunya di halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 18 September 2022. TEMPO/Prima Mulia

Pemahaman Ira terhadap tari bertambah ketika ia kuliah di Jurusan Arsitektur Interior Institut Teknologi Bandung pada 1975. "Seni tari mempunyai dimensi ruang, waktu, dan tempo, itu yang saya pakai untuk menata tari," tuturnya.

Beberapa karya koreografinya selain Tari Merak adalah Tari Suraningpati (1965), Kandagan Cindelaras (1975), Simbar Sakembar (1980), Jayengrinengga (1986), Galura (1988), Puspa Ligar (2005), Ka Sawah (2005), Katumbiri (2009), dan Merak Bodas (2012) yang diiringi alunan world music. Ibu dua anak ini pun membuat tari untuk anak usia SD hingga sekolah menengah pertama, seperti Tari Kawit (1989), Mupu Kembang (1989), Cangkurileung (2002), Oray-Orayan (2002), Kukudaan (2003), Eundeuk-Eundeukan (2003), Hayu Batur (2003), dan Baris (2006). Ada pula dramatari, seperti Sangkuriang (1979), Prabu Silihwangi (1984), Dayang Sumbi (1981), Siwi Siwaya (1995), Pesta Sunat (1995), Lutung Kasarung (2000), dan Impian Guru Minda (2005).

Kepiawaian Ira menari membawanya mengikuti beberapa misi kesenian di luar negeri pada 1957-1970. Ia pun sering unjuk gigi di Istana Negara sejak era Presiden Sukarno hingga Joko Widodo, kecuali semasa Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan Abdurrahman Wahid. Adapun Tari Merak koreografinya berkesempatan tampil di hadapan pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung, lalu pemimpin Cina dan Jepang di negara masing-masing dalam lawatan pada 1965. “Pulang-pulang terjadi G-30-S,” katanya mengenang peristiwa itu, mengacu pada pergolakan 30 September 1965.

Selain menari, Ira mengajar di Konservatori Tari pada 1968 serta di jurusan tari dan seni rupa di kampus yang kini bernama Institut Seni Budaya Indonesia, Bandung, hingga 2008. Dia pun mengajarkan tari Sunda bagi kalangan guru sekolah dan sanggar di Bandung dan sekitarnya pada 2004-2013. Beberapa kali Ira juga mengajar tari di University of California, Santa Cruz, Amerika Serikat, dan terlibat dalam pengadegan tari serta kostum pada pementasan wayang teater berjudul The Ghostly Goddess and the Sinner Saint.

Pada 1986, Ira bersama penari Mira Arismunandar, Yetty Rochyatini, dan Ayu Murniati mendirikan Pusat Bina Tari. Kegiatannya antara lain pertunjukan tari di dalam dan luar negeri, kursus tari, serta penulisan dan penerbitan buku tentang seni dan tari Sunda. Yayasan ini pun memproduksi kostum tari, juga kaset dan video tari Sunda. Ada pula video tutorial Tari Merak di YouTube untuk melestarikan karya sesuai dengan versi aslinya.

Sejak 1990-an, Ira mulai mengurangi penampilannya di pentas tari. Meski begitu, dia masih aktif mengajar tari. Pada Agustus lalu, misalnya, dia mengajarkan dua karyanya kepada anak-anak sekitar rumahnya di kawasan Ciumbuleuit, Bandung, untuk ditampilkan dalam pentas perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Salah satu muridnya, Antik Bintari, mengatakan Ira mengajar tari dengan keras dan disiplin. “Tapi beliau enggak pernah membentak atau berkata kasar,” ujar dosen di Universitas Padjadjaran, Bandung, ini, Kamis, 22 September lalu. Dengan tenang dan sabar Irawati Durban mencontohkan gerakan tari yang seharusnya. Ira selalu mengawasi para pelatih dan muridnya serta menentukan kecocokan tari yang dibawakan sesuai dengan karakter masing-masing. Misalnya Antik, yang punya spesialisasi Tari Kupu-kupu dan Tari Merak.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus