Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Artis Marissa Anita mengisi puasa media sosial dengan banyak membaca buku dan berlatih kemampuan bahasa asing.
Konten pamer di media sosial kerap menimbulkan rasa iri, khawatir, cemas, dan tak percaya diri.
Media sosial bukan satu-satunya tempat mendapatkan informasi terbaru.
AKTRIS dan presenter, Marissa Anita, langsung mengambil dan menunjukkan sebuah buku bersampul gelas berisi white wine yang berjudul Perfect Your French dari atas meja kerja. Dia mencoba menjawab pertanyaan Tempo tentang aktivitasnya setelah membatasi penggunaan media sosial atau puasa media sosial sejak Maret 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Lebih banyak baca buku. Belajar beberapa bahasa. Untuk bahasa Prancis, saya memang sudah lama suka dan ingin menguasainya. Justru ketika puasa medsos, ini bisa berjalan,” kata Marissa saat wawancara virtual dengan Tempo, Rabu, 21 September lalu.
Marissa Anita sudah menghapus semua aplikasi media sosial pada gawai pribadinya. Bahkan perempuan kelahiran Surabaya, 39 tahun lalu, ini secara permanen menghapus akun pribadi di platform Instagram dan Facebook. Saat ini dia hanya memiliki akun pada Twitter yang digunakan untuk update informasi, keperluan bisnis, dan pekerjaan. Meski demikian, dia pun mengakses platform buatan Jack Patrick Dorsey tersebut hanya melalui komputer atau website.
“Biasanya ada keperluan harus ikut promo film. Jadi saya upload di Twitter. Itu pun saya sangat jarang membukanya,” ujar peraih penghargaan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik Festival Film Indonesia 2021 ini.
Anggota teater The Jakarta Players tersebut mengatakan sudah lama merasakan dampak buruk dari komunitas dan algoritma media sosial terhadap kesehatan mental. Namun perasaan tersebut baru mendapatkan konfirmasi saat dirinya menempuh pendidikan strata dua di Jurusan Digital Media and Society di Loughborough University, Inggris, pada 2016-2017. Kala itu, dia mempelajari apa saja yang bisa pengelola media sosial lakukan terhadap penggunanya.
Marissa pun makin khawatir terhadap pergeseran nilai di media sosial, terutama Instagram. Dia menemukan beberapa kenalannya justru mengunggah gambaran kehidupan pribadi palsu yang tak sesuai dengan kenyataan. Para pengguna juga kerap berburu like dan status centang biru atau verified. Rasa bahagia kemudian menjadi identik dengan tingginya jumlah orang yang menekan ikon suka dan berkomentar positif. Jika yang terjadi sebaliknya, pengguna akan merasa sedih dan kecewa.
Marissa mengaku kehilangan banyak waktu berkualitas dengan orang-orang di sekelilingnya. Saat itu, tangan dan matanya nyaris sulit berada jauh dari telepon seluler. Dia selalu memiliki perasaan harus memeriksa setiap notifikasi yang masuk ke ponsel. Dia pun bisa terjebak selama puluhan menit hingga hitungan jam saat mulai menjelajah media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marissa Anita berpose di Juni 2019/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
“Efek paling terasa itu pikiran jadi sulit berfokus. Lompat-lompat. Kemudian mudah cemas. Juga tidak produktif, waktu habis dengan gadget,” ujar pemeran Maya dalam film Mendarat Darurat ini.
Marissa kemudian mempelajari sebuah gaya hidup minimalis di media sosial yang populer melalui buku Cal Newport berjudul Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in A Noisy World. Dia pun memulai puasa medsos dengan target satu bulan pada Maret 2019. Pada pekan pertama, dia mengalami sakau atau efek kecanduan sehingga tangannya selalu mencari-cari ponsel.
Namun, setelah berjalan dua-tiga pekan, dia justru mulai menikmati kehidupan harian yang tak lagi tersandera media sosial. Dia memiliki waktu untuk berinteraksi secara berkualitas dengan kolega dan kerabat. Di waktu sela, dia juga bisa menjalankan berbagai hobi dan pengembangan diri, termasuk menambah kemampuan bahasa asing.
“Ketika masih pakai medsos, sama sekali tak pernah baca buku. Karena baca buku kan butuh waktu. Kecepatan membaca dan mencerna isi juga sesuai dengan kemampuan sendiri,” tuturnya.
Pada ujung waktu puasa, Marissa justru merasa takut untuk kembali menggunakan media sosial. Selama beberapa waktu, dia pun menimbang apakah ada platform digital yang bisa tetap aktif meski tak intens. Akhirnya, dia memilih Twitter yang komunitasnya lebih banyak mengutarakan pikirannya melalui tulisan, tapi tetap bisa mengakomodasi kebutuhan pekerjaan, seperti mengunggah poster film. “Hidup saya lebih tenang dan terfokus. Dan ini memang hidup yang saya inginkan,” ucap Marissa.
•••
MEDIA sosial memang sangat lekat dengan kegiatan harian masyarakat di era teknologi digital. Perusahaan pengolah data tren asal Inggris, We Are Social, pernah melaporkan rata-rata durasi penggunaan Internet untuk mengakses media sosial secara global mencapai 147 menit atau dua jam 27 menit per hari. Adapun pengguna di Indonesia duduk pada urutan ke-10 paling sering membuka platform digital sekitar 197 menit atau 3 jam 17 menit per hari.
Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan jumlah pengguna media sosial tertinggi keempat di dunia. Berdasarkan sigi 2021, di Indonesia, jumlah pengguna terdaftar Facebook sebanyak 140 juta akun, Instagram 56 juta akun, dan Twitter 6,6 juta akun. Jumlah ini diprediksi akan menembus 230 jutaan akun dalam lima tahun.
Puasa media sosial menjadi keputusan anomali di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Platform pada jejaring Internet kini tak sekadar medium komunikasi dan relasi dengan kerabat lama atau jauh. Masyarakat modern mulai menggunakan media sosial sebagai sarana mencari popularitas hingga menghasilkan keuntungan finansial. Hal ini kemudian membuat pengguna Internet berlomba-lomba menjadi viral agar mendulang pengikut atau pelanggan demi mendapatkan endorsement.
Tokoh publik, seperti artis, influencer, dan pejabat, justru memiliki peluang paling tinggi. Marissa yang mulai dikenal sebagai presenter di sejumlah televisi nasional dan membintangi belasan judul film layar lebar justru tak tergiur. “Saya endorsement pun jarang ambil kalau memang saya tak bisa gunakan atau suka. Jadi tak masalah (kehilangan peluang mendapat uang dari media sosial). Hidup saya lebih bernilai,” katanya.
Claudia di kediamannya, di Jakarta, 22 September 2022/TEMPO/MAGANG/Abdullah Syamil Iskandar
Claudia Yuniar, 32 tahun, juga rela kehilangan peluang endorsement dan tawaran pekerjaan saat menghapus sementara akun Instagram pribadinya, @claudiayuniar, pada Februari lalu. Dia mengklaim akunnya tersebut tumbuh secara organik atau natural hingga memiliki 12 ribuan pengikut. Platform tersebut selama beberapa tahun juga telah menjadi wadah dirinya membagikan informasi kegiatan pribadi.
Namun media yang sebelumnya memberikan kebahagiaan itu perlahan lebih sering memicu rasa sedih dan kecewa. Ini berawal saat dia mulai merintis profilnya sebagai seorang food vlogger, akhir 2019. Dia bahkan mengembangkan medium aktivitasnya pada platform Tiktok dan YouTube. Bersama timnya, dia pun mulai meliput dan mengulas beberapa tempat dan usaha kuliner.
Dia mengatakan kegiatan tersebut berjalan dengan baik dan normal. Namun dia perlahan merasa sedih dan iri saat membandingkan peningkatan popularitas dirinya dengan food vlogger pemula lain yang lebih pesat.
Pikiran itu terus terbawa pada aktivitas harian dan istirahat malam. Bahkan dia mulai merasa kecewa atas keputusannya menikah dan memiliki anak. Dia menilai kondisinya sebagai ibu rumah tangga telah menghambat dan menutup sejumlah peluangnya di media sosial. Rasa benci pada dirinya pun berimbas terhadap relasinya dengan anak dan suami sehingga dia menjadi mudah bertengkar.
“Setiap buka media sosial, terus melihat orang yang lain jadi berpikir, seandainya saya begini atau begitu pasti bisa sukses kayak mereka. Jadi tak bersyukur dengan hidup sendiri,” ujarnya.
Dia kemudian memutuskan berhenti menjadi kreator konten kuliner. Dia mulai mengisi laman akun media sosialnya dengan kegiatan kebugaran dan gaya hidup sehat. Dia ingin menjadi influencer hidup sehat. Beberapa kali dia mengunggah kegiatannya beraktivitas dan berolahraga kebugaran.
Alih-alih tenang, Claudia justru kembali mengalami ketakutan dan stres. Sejumlah kerabat senior mulai mengkritik semua konten olahraga tersebut pada pertengahan 2021. Mereka menilai dia tak pantas menampilkan diri tengah memakai pakaian minim seperti sport bra dan legging di media sosial.
“Jadi keputusan berpuasa medsos itu sudah dipikirkan beberapa bulan sebelumnya. Baru kemudian, ya sudah, saya tutup saja akun Instagram,” tutur mantan bintang iklan ini.
Claudia menuturkan berpuasa media sosial lebih dari satu bulan. Selama periode tersebut, dia sama sekali tak membuka satu pun platform digital. Dia mengalihkan kebiasaan memegang telepon seluler menjadi merawat tanaman di halaman rumah, bermain dengan anak, dan menonton drama Korea.
Puasa medsos pun memulihkan kepercayaan diri dan rasa syukur terhadap hidupnya sendiri. Dia juga merasa lebih dewasa karena mulai memiliki batasan dalam bermedia sosial. Salah satunya mencegah kepo atau ingin mengetahui kehidupan orang lain. Dia pun menerapkan pembatasan informasi dengan membuat akun baru yang berisi segelintir teman dan kerabat dekat.
“Saya baru mengaktifkan lagi akun Instagram lama, Agustus 2022. Itu pun karena ada keperluan bisnis, misalnya postingan endorsement,” katanya.
•••
BADAI krisis kepercayaan diri juga melanda para pengguna media sosial usia sekolah dan kuliah. Muzdalifah Fauziyah, 22 tahun, harus menutup sementara akun Instagram pribadinya selama tiga bulan, akhir 2019-awal 2020. Saat itu dia justru merasa kegemarannya berselancar di media sosial memperburuk kondisi mental dan psikologisnya.
Pada periode tersebut, dia mengklaim tengah mengalami masalah pribadi yang cukup menyita pikiran dan perasaan. Awalnya dia berniat menjadikan media sosial sebagai sarana hiburan paling mudah dan praktis untuk melepas penat.
Alih-alih lebih bahagia, Muzdalifah justru kian tertekan karena lebih sering melihat unggahan kisah dan perjalanan yang indah dari akun artis atau kerabatnya. Padahal sebelumnya dia gemar mengikuti kegiatan harian para pesohor yang mewah dan ideal.
“Tiap buka Instagram bukan lagi jadi motivasi agar bisa seperti mereka (para pesohor). Tapi justru membandingkan dan merasa insecure karena merasa tak mampu seperti mereka,” katanya.
Setelah berpuasa media sosial, dia pun kembali menata kepercayaan diri untuk secara perlahan menapaki kisah hidup sendiri. Kesehatan mental justru memberikan ketenangan di tengah ingar-bingar kehebohan yang ditampilkan di media sosial. “Karena komitmen, puasa medsos berhasil karena saya benar-benar hapus akun dan uninstall aplikasinya dari ponsel,” ujarnya.
Hal sama dilakukan Muhammad Fadli Fakhrur Rizqi, 21 tahun, yang menarik diri dari Twitter selama satu tahun, pada 2018-2019. Padahal dia adalah pengguna aktif platform bikinan perusahaan Amerika Serikat tersebut sejak usia sekolah. Bahkan dia mengklaim biasa menghabiskan waktu berselancar di media sosial tersebut nyaris 10 jam per hari.
Mahasiswa jurusan jurnalistik tersebut jengah terhadap cuitan pengguna Twitter yang mulai banyak bernada emosional dan diskriminatif serta berdebat tanpa faedah. Dia mulai merasa komunitas pada platform tersebut sudah tak lagi kelompok terpelajar dan berpengalaman luas. Seperti media sosial lain, aplikasi ini juga wadah orang bersikap toxic—istilah populer yang merujuk pada sikap pengguna yang memberi pengaruh buruk bagi orang lain. “Selama berpuasa, saya coba tak peduli apa saja isi media itu,” kata Fadli.
Muzdalifah Fauziyah di Jakarta, 21 September 2022/TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Dia pun pernah menghentikan aktivitasnya di Instagram. Yang berbeda, puasa pada platform ini dipicu peningkatan rasa tak aman. Media sosial garapan Meta ini memang terkenal sebagai wadah pamer bagi para penggunanya. Hal ini terjadi terutama saat Fadli melihat konten dari teman sebayanya yang telah memiliki capaian dalam hidup.
“Setelah berpuasa medsos, saya lebih berfokus dengan apa yang harus saya jalani dalam hidup sendiri. Tak usah kepo. Setiap orang punya urusan dan jalannya masing-masing,” ujarnya.
Puasa media sosial pun ternyata tak membuat seseorang jauh dari informasi terbaru. Herliana Septiarini Wulandari, 38 tahun, mengaku sering menonaktifkan akun platform digital untuk durasi atau periode tertentu. Meski demikian, dia mengklaim tetap bisa mendapatkan informasi melalui sarana lain, seperti televisi atau radio. Dia pun sering bertukar informasi saat bertemu dengan teman atau sekadar belanja pada pedagang sayur keliling. “Malah lebih menyenangkan daripada hanya menatap layar gadget,” tuturnya.
Penulis buku asal Cirebon, Jawa Barat, ini bercerita, kebutuhan detoksifikasi—menghilangkan kecanduan dan pengaruh buruk media sosial—pada setiap orang berbeda. Dia harus berulang kali menjalani puasa media sosial karena kebutuhan kesehatan mental. Biasanya dia menghentikan sementara penggunaan akun media sosial dalam kurun satu bulan hingga satu tahun. “Saya kerap mudah terserang rasa cemas dan tak nyaman saat melihat keberhasilan dan kehidupan ideal orang lain yang dipamerkan di media sosial,” katanya.
ECKA PRAMITA, FELIN LORENSA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo