Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pentas Teater Koma di Yogyakarta.
Mengambil lakon Bisul Semar.
Mengkritik soal ketahanan pangan dan tata kelola pertanian.
DI sofa nan empuk, di situlah Semar menikmati hari-harinya. Sofa itu satu-satunya yang tampak mewah di ruangan yang menyatu dengan dapur, berteman meja bundar kecil yang di atasnya terdapat termos dan cangkir besar. Malam itu, istri Semar, Sutiragen, dan ketiga anaknya, Gareng, Petruk, dan Bagong, mengelilinginya sembari bernyanyi, menghibur Semar yang terkena bisul misterius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukannya terhibur, Semar justru mengerang kesakitan dan membuat Sutiragen tergopoh-gopoh mendekatinya. Mata suaminya itu masih ditutup masker dan tubuhnya berbalut kimono tidur. “Seisi rumah dibikin ribut,” ujar Sutiragen, kesal. Begitulah sekelumit adegan pementasan Teater Koma berlakon Bisul Semar di gedung Taman Budaya Yogyakarta pada Rabu, 4 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya bisul di kepala juga membuat Semar tak bisa berpikir jernih. Ia bisa tiba-tiba lebih genit terhadap istrinya, bahkan menjadi nyinyir ngerasani pejabat, penguasa, ketua partai politik. Dalam pertunjukan itu pun, seperti umumnya pentas-pentas Teater Koma, bisa ditebak sang Semar menjadi medium untuk merumpi soal politik mutakhir. "Kapan waktunya pemilu? Doakan saat pemilu bisul jangan datang mendadak. Nanti tidak ada calon pemimpin yang bagus di mata Romo,” kata Semar setelah terbangun.
Semar, yang diperankan Budi Ros, benar-benar menguliti situasi kekinian yang sedang ramai digunjingkan khalayak negeri ini, meski kadang ungkapan-ungkapannya klise dan sudah menjadi pembicaraan di media sosial. Bisul itu benar-benar menjadikan Semar sosok yang cas-cis-cus menyampaikan kritik. “Apa bedanya ketua parpol dengan petani?" Pertanyaan Semar itu membuat Gareng, Petruk, dan Bagong terbengong.
Mereka memiliki pendapat masing-masing mengenai urusan pangan itu. Pendapat menohok justru datang dari Sutiragen, yang diperankan Rita Matumona. “Ingat, semua orang butuh makan. Mengabaikan jantung pertanian sama saja bunuh diri,” tuturnya.
Pernyataan sang emak itu membuat Bagong lantas berceloteh tentang urusan ketahanan pangan, mengutip pidato Presiden Sukarno dalam acara peletakan batu pertama Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—cikal bakal Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat—pada 1952. “Saudara-saudaraku, soal pangan adalah soal hidup-matinya sebuah bangsa. Tanpa pangan memadai, Indonesia tak akan maju, tak akan mencapai adil, makmur, dan berdaulat,” kata Bagong, menirukan Sukarno saat berpidato.
Mendadak latar panggung yang hitam berubah menjadi seperti layar tancap. Muncul selarik tulisan: "Roma, 14 November 1985". Pada saat itu, Presiden Soeharto diundang dalam peringatan 40 tahun Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) untuk mewakili negara berkembang. Indonesia sekaligus menyumbangkan 100 ribu ton beras untuk mengatasi bencana kelaparan di Afrika. Soeharto berpidato dengan setelan jas gelap, peci, dan senyumnya. “Indonesia pernah mencapai swasembada pangan, tapi tidak bertahan lama dan masih mengimpor beras,” demikian prolog pidato Soeharto. “Kebanggaan sesaat!” anak-anak Semar berseru sinis. Tepuk tangan penonton bergemuruh.
Panggung memperlihatkan Semar yang makin merasa kesakitan dan didatangi dokter Srimul, yang acap menjadi pelesetan nama Sri Mulyani. Ia lalu memberi Semar obat yang harus diminum sehari tiga kali setelah makan. “Makan satu kali saja belum tentu. Apalagi makan tiga kali sehari,” ucap Sutiragen, memprotes.
Pentas Teater Koma berjudul Bisul Semar dalam Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2023, di Taman Budaya Yogyakarta, 4 Oktober 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Karena tak kunjung menemukan bisul di kepala Semar, Srimul lantas menyimpulkan Semar tak sakit. Bisulnya hanya omong kosong, ia cuma mencari perhatian. Bisul Semar muncul ketika ia mendengar pidato para pemimpin negara. Seketika wajah Presiden Joko Widodo muncul di layar. Mengenakan baju adat Tanimbar, Maluku Utara, ia berpidato dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 16 Agustus 2023. Saat itu ia tengah berpidato tentang kebijakan food estate untuk memperkuat ketahanan pangan.
Budi Ros, yang merangkap sebagai penulis naskah dan sutradara lakon ini, membelejeti urusan pangan dan pertanian yang banyak merugikan petani. Ia mencontohkan kebijakan-kebijakan yang membuat petani terpukul. Salah satunya, ketika petani melakukan panen besar, pemerintah malah mengimpor beras.
Pertunjukan setengah opera yang dibawakan enam pemain itu menandai kembalinya Teater Koma ke Yogyakarta. Ini adalah pementasannya yang ketiga, setelah pada 1992 dengan lakon Rumah Sakit Jiwa dan pada 2004 dengan Sampek Engtay.
Setelah Riantiarno wafat, agaknya Budi Ros sekarang menjadi ujung tombak Teater Koma selain Rangga Riantiarno. Budi Ros boleh jadi yang akan menyutradarai pertunjukan-pertunjukan Teater Koma nantinya. Naskah lakon ini pun diambil dari buku kumpulan monolog karya Budi Ros berjudul Lugu Kayu Bakar yang diterbitkan pada 2022. Bisul di Kepala adalah salah satu judul naskah monolog itu. Penulisan monolog itu terinspirasi lirik lagu “Dendang Petani” yang ia buat pada 2020.
Pementasan Teater Koma di Yogyakarta ini digelar setelah pentolan Teater Gandrik, Butet Kartaredjasa, meminta mereka tampil di Festival Kesenian Yogyakarta yang bertema “Kembul Mumbul”. Ratna Riantiarno selaku produser Teater Koma lalu meminta Budi Ros menyiapkan bahan lakon pendek bertema ketahanan pangan. Budi Ros mengakui tema ketahanan pangan kurang menarik publik. Maka jadilah pertunjukan selama satu jam yang penuh celetukan kalimat seperti informasi dalam berita di koran dan gibah tentang politik di media sosial ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Budi Ros dan Bisul Semar"