Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kain dan Benang Rajut Lusiana Limono

Pameran Lusiana Limono mengeksplorasi kriya tekstil—kain dan benang rajut. Menyodorkan refleksi dan dialog berbagai elemen.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pameran tunggal kriya tekstil Lusiana Limono.

  • Lapisan-lapisan makna dari karya kriya tekstil.

APA jadinya jika aneka bumbu dapur dan rempah, seperti cabai, kemiri, bawang merah, kunyit, cengkih, pala, gambir, asam kandis, wijen, asam kawak, jinten, lengkuas, dan jeruk gambir disatukan? Tak hanya menjadi bumbu untuk masakan, tapi juga menjadi pewarna yang cantik. Lusiana Limono, seniman lulusan Institut Kesenian Jakarta, menyatukan aneka bahan tersebut untuk mewarnai belasan rajutan karyanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasilnya, beragam benang rajutan berwarna cokelat susu dan cokelat muda berpadu dengan benang berwarna cokelat muda dan oranye. Ada pula warna kuning cerah dan pastel. Kemudian ketika ia menyatukan kesumba, kayu secang, lada, susu kedelai, garam, asam, jeruk, dan kemiri, terciptalah paduan warna kecokelatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 Ketika menggunakan kayu indigo, ia mendapatkan warna biru. Tak hanya mengurusi warna, ia juga menggali kekayaan alam yang lebih ramah lingkungan. Ia mewarnai benang-benang yang dirajut oleh Komunitas Rajut dalam berbagai teknik rajut menjadi syal-syal yang cantik.

“Mulanya saya belajar eksperimen terkait dengan rempah berdasarkan resep yang ditulis J.E. Jasper. Jasper menjelajah Nusantara menemukan bahan-bahan alami dan racikan rempah untuk pewarnaan dan pengawetan kain. Ia berduet dengan Mas Pirngadie ditugaskan pemerintah kolonial untuk mendokumentasikan seni kerajinan di Nusantara,” kata Lusiana.

Lima jilid buku Jasper dan Mas Pirngadie sudah diterjemahkan oleh Dewan Kerajinan Nasional. “Buku tentang kain ada dua: De batik kunst dan De weltkunst (batik dan tenun). Studi Jasper membuktikan ramuan pewarnaan sudah dipakai ratusan tahun lalu di Nusantara,” dia menambahkan.

Lusiana mengaku pemahamannya tentang pewarnaan kain Nusantara makin dalam setelah dia berkelana dari desa satu ke desa lain di Bali serta Nusa Tenggara Timur. “Saya lebih mengerti ketika tinggal bersama penduduk di Tenganan Pegringsingan, Bali, pada 1999-2000,” tuturnya. Lusiana pernah tinggal di tiga daerah di Nusa Tenggara Timur, yaitu Lembata dan Maumere pada 2018 serta Sumba pada 2019. Di Lembata, Lusiana melakukan pengamatan di dua kampung: Kampung Watuwawer, Desa Atakore, Kecamatan Atadei; dan Kampung Atawolo, Desa Lusilame, Kecamatan Atadei.

“Motif yang tampak dominan di Atadei adalah motif hiraten (bintang bersudut delapan), tenar (perahu), mokung (ikan pari), dan ata diken (manusia bergandengan tangan). Keempat motif ini buat saya terkait dengan tiga hal yang saya alami ketika tinggal di sini. Motif bintang bisa sangat berkaitan dengan bintang bertaburan yang selalu tampak dengan jelas di langit Atadei pada malam hari. Bintang rupanya erat dengan masyarakat Lembata.

Bandara di Lewoleba bernama Wunopito yang berarti bintang tujuh. Masyarakat yang sangat erat dengan alam menjadikan bintang sebagai penunjuk musim. Bintang sebagai pemandu digambarkan dalam wastra. Hubungannya dengan Lera Wulan (matahari sebagai bintang dan bulan) yang melindungi,” ujarnya.

Di GoetheHaus Foyer, Jakarta, lokasi pameran ini berlangsung, tak hanya ada syal rajutan. Lusiana juga menampilkan sebuah panel kain besar yang dibuat dengan aplikasi teknik sulam tangan dan tisik di atas seprai katun bekas dan benang celup tangan. Panel seprai berukuran 150 x 250 sentimeter itu diberi judul Manifesto yang disusun dari hasil pengamatan di lapangan, studi literatur, dan pengalaman. Di sisi yang lain, Lusiana memberi judul Udar Pikiran. Pada panel Maestro terlihat jahitan dengan pohon kehidupan yang bercabang dan beranting. Tampak pula rumah kecil-kecil dan banyak tulisan, seperti sustainability, creativity, productive, gender, wisdom, dan memori. 

Di panel Udar Pikiran, ia menuangkan kalimat-kalimat yang tertuang dari gagasannya. Panel itu menjadi penyambut para pengunjung pameran ini, yang bertajuk "Berbicara Melalui Kain-Menyulam Ruang, Merajut Kisah, Menenun Makna dan Mengikat Waktu". Pameran tunggal Lusiana Limono itu dikurasi oleh Christine Toelle dan berlangsung pada 10 November-3 Desember 2023. 

Udar Pikiran karya Lusiana Limono di Goethe, Jakarta, 30 November 2023. Tempo/Jati Mahatmaji

Selain menampilkan panel, syal rajutan, dan lima selendang yang diwarnai dengan pewarna alami, Lusiana memamerkan panel yang didominasi bentuk bintang segi delapan berukuran 5 x 5 sentimeter. Panel itu rupanya sebuah selimut bayi warisan ayahnya. Selimut itu dikirim nenek buyutnya yang berada di daratan Cina.

Gambar bintang dari kain perca yang dijahit itu melambangkan harapan dan doa dari para kerabat. Selimut bayi ini dijahit dari kain perca yang disatukan. Selimut bayi ini adalah ekspresi subbagian Subyek dan Keluarga, yang mengurai konsep hubungan diri dan keluarga. Sebuah refleksi tentang perempuan, keluarga, peran diri, dan subyektivitasnya.

Akan halnya panel dengan teknik tambal sulam, jelujur, dan aplikasi pada kain perca katun cetak diberi judul PPKM Darurat (2021). Karya panel besar ini hasil kolaborasi dengan komunitas perca Malang Patchwork & Quilt. Karya ini merespons kebijakan pemerintah pada masa pandemi Covid-19 dengan adanya pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat atau PPKM.

Karya ini dikerjakan di rumah 13 anggota komunitas dalam ukuran dan durasi yang bersamaan. Hasilnya adalah sebuah panel dengan narasi-narasi pandemi, seperti stay healthy, “iman-imun-aman”, ajakan memakai masker dengan benar, up and down, serta gambar rumah, sepeda, bunga dalam pot, dan virus Corona.

Merajut Rempah 1 (2021) karya Lusiana Limono. Tempo/Jati Mahatmaji

Karya ini diletakkan pada subbagian Sejarah, Kolektivitas, dan Tradisi. Melalui karya ini, Lusiana hendak membongkar karya tradisi dan memperlihatkan pengetahuan yang tersembunyi. Lusiana hendak menyatakan kain bukan sekadar benang yang dirajut atau yang dijahit dengan beragam teknik. Ia melihat ada banyak lapisan dalam kain dan kriya kain.

Baginya, selembar kain, sehelai benang, dan elemen pembentuknya tak lepas dari perempuan. “Bagi saya, kain dengan segala teknis itu adalah medium. Aktor utamanya adalah perempuan. Saya mempertanyakan mengapa wacana rempah yang mengemuka selama ini lebih diasosiasikan pada narasi kolonial dan perdagangan. Narasi perempuan sebagai produsen pengetahuan di ruang domestik hampir terkubur,” ucapnya.

Dalam pameran ini ada tiga elemen utama: perempuan, rumah, dan kain. Karya kriya tekstil selama ini dalam wacana seni rupa seperti mengalami subordinasi. Kain seperti kelas dua dibanding seni rupa murni. Padahal, jika dilihat dari seni rupa di Timur, Lusiana menjelaskan, karya seni umumnya muncul pada karya kriya, seperti batik dan senjata.

Sementara itu, perempuan yang selama ini berkaitan dengan kain dianggap liyan, kelompok yang termarginalkan, seolah-olah tidak memproduksi pengetahuan. Menurut Lusiana, ada pengetahuan perempuan yang tertanam dari setiap tusukan jarum dan benang yang terajut pada kain yang terwarnai. “Sayangnya, pengetahuan perempuan ini seperti tak dikenali. Saya ingin mengangkat lagi dari segi positioning-hierarki,” katanya. “Kriya seharusnya bisa setara karena ia memuat ekspresi dan buah pemikiran si pembuat.”

PPKM Darurat (2021). Tempo/Jati MAhatmaji

Karya-karya Lusiana Limono dalam pameran ini dibagi menjadi tiga subbagian yang mengalir dari satu karya ke karya yang lain. Ini dimulai dari Penelitian Akademik tentang domestikasi dan berkelanjutan, kemudian subbagian kedua, yakni Subyek dan Keluarga, lalu disambung dengan subbagian Sejarah, Kolektivitas, dan Tradisi. Ada lapisan romantisisme, subyektivitas, dan kisah yang intim dari sebuah selimut bayi. Ada pengetahuan yang kembali direproduksi dan pengetahuan perempuan yang dianggap liyan. Pun ada kekayaan alam dan kearifan lokal untuk kelestarian lingkungan yang kembali tergali. Penutupan pameran ini adalah sebuah workshop menjahit kamper alami.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Seno Joko Suyono berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kain-kain Lusiana Limono"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus