Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satu keluarga nelayan di Desa Air Glubi, Kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, terkenal sebagai spesialis pemburu duyung atau dugong.
Munsa dan kedua anak laki-lakinya berhenti memburu dugong pada 2018 setelah membuat perjanjian dengan pemerintah setempat serta Program Konservasi Dugong dan Lamun.
Munsa dan keluarganya kini menjadi nelayan biasa, tapi penghasilannya jauh berkurang dibanding dulu ketika menjadi pemburu duyung.
LELAKI tua itu melambaikan tangannya sambil mengarahkan pompong untuk mendarat di depan rumahnya di Dusun I, (Pulau) Desa Air Glubi, Kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Munsa, nama lelaki tua itu, baru saja mencari umpan untuk melaut pada malam. Ia mengajak Tempo masuk ke rumah beton yang berdiri persis di pinggir laut. Munsa membuka sweater dan mengganti celana panjangnya dengan kain sarung kotak-kotak berwarna merah, lalu duduk bersila di ruang tamu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kampungnya, Munsa tersohor sebagai pemburu duyung atau dugong terakhir. Ia mewarisi keahlian itu dari ayahnya, orang suku Laut. Ia menjadi pemburu duyung sejak berusia belasan tahun. Munsa mengira-ngira, usianya sekarang 75 tahun. Dari selusin anaknya, ia mewariskan keahlian memburu duyung kepada dua anak laki-lakinya. Kepiawaian itu, kata dia, tidak bisa diturunkan di luar garis keturunan. “Teman-teman pernah nyoba menombak duyung, tapi tidak pernah berhasil,” ucapnya, Ahad, 29 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ya, menombak adalah cara Munsa berburu duyung. Tak ingin dibilang sebagai pemburu dugong bohong-bohongan, ia bergegas mengambil tombak yang disimpannya di dapur. Alat tangkapnya itu berupa sebatang kayu ibul 2,5 meter yang di ujungnya tertancap besi sepanjang jari telunjuk yang runcing dan seperti mata kail. Pada pangkal mata tombak itu terdapat lubang untuk mengikatkan tambang plastik. Panjang tambang itu bisa mencapai 80 meter. “Tombak ini sudah lama tidak saya pakai,” tutur Munsa sambil mengelus tombaknya.
Hampir enam tahun Munsa tak menggunakan tombak duyung itu lagi. Pada 2018, ia membuat perjanjian penghentian perburuan duyung dengan pemerintah setempat dan Proyek Konservasi Duyung dan Lamun (DSCP) Indonesia. DSCP adalah upaya internasional untuk meningkatkan konservasi duyung dan ekosistem lamun di delapan negara kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia. DSCP didanai Fasilitas Lingkungan Global (GEF) serta mendapat dukungan dari Program Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Nota Kesepahaman Konservasi dan Pengelolaan Dugong (Dugong MOU).
Di Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan menggelar DSCP di empat daerah: Bintan, Kepulauan Riau; Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah; Tolitoli, Sulawesi Tengah; dan Alor, Nusa Tenggara Timur. Dalam pelaksanaannya, pemerintah bermitra dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Institut Pertanian Bogor (IPB University), Dana Dunia untuk Alam (WWF) Indonesia, dan Yayasan Lamun Indonesia. “Tahun 2018 saya berhenti. Sertifikat itu tandanya,” ujar Munsa sembari menunjuk piagam ucapan terima kasih dari DSCP yang terpajang pada dinding rumah.
Menurut Munsa, pemerintah kala itu hanya bisa memintanya berhenti berburu duyung, tanpa memberikan solusi mata pencarian pengganti. “Untung ada bule yang menggaji saya agar berhenti berburu dugong,” kata Munsa ihwal pekerjaannya sebagai pemandu wisata edukasi duyung untuk sebuah resor milik pengusaha Singapura di Pulau Cempedak, Bintan. Ketika itu Munsa mendapat imbalan Rp 1,5 juta per bulan. Tapi bantuan itu, Munsa menambahkan, hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu, nilai kompensasi turun menjadi Rp 250 ribu sebulan. “Itu pun dibayar sekali setahun.”
“Hidup saya melarat karena tidak menombak duyung lagi,” ucap Munsa sambil menyalakan rokok. Betapa tidak, penghidupannya berubah 180 derajat setelah ia berhenti berburu dugong. Biasanya, dalam satu hari Munsa bisa menangkap empat duyung atau minimal belasan duyung dalam sepekan. “Tak terhitung jumlahnya. Dulu dalam sebulan bisa puluhan. Saya sudah berburu duyung sejak muda,” tuturnya. Munsa mendapat hasil terbesar dari penjualan tulang, taring atau gading, dan air mata duyung. Taring duyung bisa dijual sampai Rp 15 juta.
“Gading duyung banyak gunanya, bisa buat obat, pipa rokok, atau mata kalung. Itu khusus orang Singapura yang banyak mencarinya,” kata Munsa. Begitu juga air mata duyung yang harganya mencapai puluhan juta rupiah. Dia tak menyebutkan nilai nominal harga air mata duyung yang pernah dijualnya. “Pokoknya, kalau saya sudah berburu, ada saja orang yang datang mencari air mata itu,” ujarnya. Bahkan beberapa kali ia ditipu, air mata duyung diambil pembeli tapi tidak dibayar.
Munsa di Bintan Pesisir, Bintan, Kepulauan Riau, 29 Oktober 2023/Tempo/Yogi Eka Sahputra
Adapun harga daging duyung kala itu Rp 30 ribu per kilogram. Berat satu duyung bisa sampai 500 kilogram. Tidak hanya dijual, daging duyung tangkapan Munsa juga sering dijadikan sajian warga sekitar, terutama pada perayaan Idul Fitri. “Semenjak dilarang itu tidak ada lagi, diganti dengan daging sapi,” tutur Munsa. Daging duyung, dia melanjutkan, lebih lembut rasanya dan tidak berbau. Berbeda dengan daging sapi yang amis. “Kalau sudah saya berburu, di sini makan duyung semua,” ucapnya.
Munsa menceritakan kesulitan berburu duyung. “Semua orang bisa menombak, tapi mendekati duyung itu yang susah. Tidak ada ilmu khusus, (keahlian) turun-temurun saja,” katanya. Duyung, dia menambahkan, adalah hewan pemalu yang sangat sensitif terhadap suara. Karena itulah Munsa tidak memakai pompong bermesin, melainkan dayung tenaga manusia. “Duyung takut sama bunyi apa pun, bahkan mendengar batuk saja duyung bisa lari,” tutur Bahar, anak sulung Munsa, menimpali.
Ketika muda dan anak-anaknya masih kecil, Munsa berburu duyung ditemani istrinya yang mendayung pompong. Begitu melihat duyung, ia melemparkan tombaknya dari atas pompong. Jarak antara Munsa dan duyung buruan bisa mencapai 30 meter. Sekali tertancap tombak yang ujungnya seperti pengait itu, duyung tidak akan terlepas. Munsa menancapkan tiga tombak, lalu menyeret duyung yang terluka itu sampai ke daratan.
Munsa dan Bahar sudah memahami cara mencari duyung. Termasuk tanda-tanda kapan duyung akan muncul di musim angin selatan. “Bulan terang, itu bagus untuk berburu,” ujar Bahar. Menurut dia, beberapa lokasi tempat duyung banyak dijumpai adalah sepanjang pesisir Pulau Air Glubi, Pulau Pangkil, dan Pulau Numbing, sampai perairan Sembulang di Pulau Rempang. “Di Laut Kawal juga banyak duyung, itu lokasi-lokasi saya mencari duyung,” ucap Bahar tentang lokasi keberadaan duyung yang merupakan padang lamun.
Belakangan, Munsa dan Bahar masih bisa menemukan duyung ketika melaut mencari ikan. Bahkan Munsa merasa geram ketika melihat duyung melintas di depannya. “Bapak masih geram kalau jumpa duyung, sampai kebawa mimpi ingin berburu duyung lagi. Tapi sabar, iman masih tebal,” tutur Bahar. Sekitar dua minggu sebelumnya, kata Bahar, ia masih bertemu dengan dugong saat melaut. Ia tidak setuju kalau dugong disebut sudah langka.
Apalagi, selama menombak, mereka tidak pernah mengambil anak-anak duyung. “Kami sudah tahu mana yang induk mana yang anak. Induk berada paling belakang, itu yang kita tombak," kata Bahar. Duyung dewasa juga diincar karena memiliki gigi lebih banyak. Bahar pun sudah memahami cara menentukan jenis kelamin duyung. Yang jantan berbadan lebih panjang, sementara yang betina lebih pendek dan besar. “Kadang saya bertemu dengan duyung, dua-tiga minggu kemudian sudah bawa anak-anak aja duyung itu,” ucap Bahar, mengira melihat duyung yang sama.
Semenjak berhenti berburu duyung, Bahar mengaku kehidupannya dan ayahnya makin susah. Apalagi melaut tidak menjanjikan lagi. Ikan makin susah dicari. Sekarang, dari satu hari melaut, Munsa atau Bahar hanya bisa mendapatkan penghasilan Rp 150-200 ribu. “Penghasilan segitu hanya dapat untuk beli minyak kapal. Menangkap ikan juga makin jauh sekarang,” kata Bahar. Munsa dan Bahar berharap pemerintah mencarikan solusi mata pencarian dengan penghasilan yang layak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Liputan ini mendapat dukungan dari International Women’s Media Foundation melalui program Round Earth Media. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lelaki Tua dan Tombak Duyung"