Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran digital mengenang pelukis Raffaello digelar di Ciputra Artpreneur.
Puluhan karya sang perupa hadir dalam layar besar.
Pameran dibagi menjadi enam area tematik.
SEKOLAH Athena (The School of Athens). Fresco yang dilukis pada dinding ruang Istana Apostolik di Vatikan yang kini menjadi bagian Museum Vatikan itu menampilkan gambar puluhan filsuf yang hidup dari berbagai zaman berkumpul di sebuah ruangan berpilar yang luas. Terlihat ada Plato (yang dilukis sebagai Leonardo da Vinci), Aristoteles, Pythagoras, Socrates, Ibnu Rusyd, dan lainnya. Hingga kini, belum semua tokoh yang ada di lukisan itu terungkap identitasnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara gambar kumpulan filsuf tersebut terdapat sosok Michelangelo; seorang pemahat, pelukis, dan penyair ternama dari zaman Renaissance. Michelangelo ditunjukkan lewat visual seorang pria yang duduk merenung di tangga kuil berarsitektur Romawi. Sang seniman bermantel nila muda dengan sepatu bot kulit cokelat. Tangan kanannya terlihat sedang menulis di atas selembar kertas, sementara tangan kirinya menopang kepalanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Sekolah Athena, Michelangelo baru hadir belakangan, setelah sang pelukis, Raffaello Sanzio da Urbino (Raphael), berubah pikiran saat karya itu hampir kelar. Hubungan Raffaello dengan Michelangelo konon kurang harmonis. Sang senior menuduh Raffaello mencuri ide dan mempengaruhi Paus Yulius XIV agar tak menghargai karyanya. Michelangelo sendiri ketika itu sedang menggarap proyek rahasia di langit-langit Kapel Sistina. Jangankan orang biasa, Paus saja cuma boleh menengoknya sekali. Namun, suatu waktu, Raffaello menyelinap ke kapel. Ia diam-diam melihat karya rahasia Michelangelo itu, dan langsung terpesona. Saking kagumnya, Raffaello akhirnya memutuskan memasukkan figur Michelangelo ke Sekolah Athena.
Sekolah Athena adalah salah satu mahakarya Raffaello yang dibuat pada 1509-1511. Usianya 26 tahun ketika itu. Lukisan ini dibuat dengan teknik menimpakan pigmen pada plester yang masih basah. Tujuannya: lukisan lebih awet. Dalam Sekolah Athena, Raffaello “mempertemukan” filsuf, ilmuwan besar pada zaman klasik, juga seniman yang sebetulnya datang dari generasi berbeda. Pengalaman melihat lukisan itu—walau dalam format berbeda—bisa kita dapatkan di Jakarta, yakni di ruang pamer Ciputra Artpreneur.
Perangkat Handphone yang disiapkan pihak penyelenggara untuk mendengarkan atau membaca dari cerita visual, dalam Pameran Magister Raffaello, Ciputra Artpreneur, Jakarta, 11 Maret 2022. TEMPO/Cristian Hansen
Kedutaan Besar Italia dan Pusat Kebudayaan Italia menggelar acara bertajuk “Magister Raffaello” itu sejak 25 Februari 2022 hingga akhir bulan ini. Tiketnya gratis untuk umum, dengan syarat pengunjung mesti mendaftarkan diri dulu via tautan di akun media sosial Ciputra Artpreneur. “Ini kegiatan kami untuk memperingati 500 tahun wafatnya Raffaello. Kami bangga membawa karya pelukis dan arsitek besar dari zaman High Renaissance ini dalam instalasi seni video,” kata Duta Besar Italia untuk Indonesia, Benedetto Latteri.
Sebelum ke Indonesia, pameran serupa berlangsung di negara lain, seperti Vietnam, Austria, dan Brasil. Konsep dan format pameran di Indonesia sama dengan di destinasi lain. “Namun pameran ini juga dirancang fleksibel beradaptasi, baik dari struktur pameran maupun budaya lokal,” ujar pendiri dan Chief Executive Officer Magister Art Renato Saporito kepada Tempo via wawancara tertulis, Jumat, 11 Maret lalu.
Pameran seni “Magister Raffaello” terbagi menjadi enam area tematik yang meliputi aspek penting dalam 37 tahun kehidupan sang maestro. Enam area ini dibekali proyeksi tiga dimensi (3D) berskala besar dan kecerdasan buatan yang membawa karya-karya Raffaello kepada pengunjung pameran. Sambil menikmati visual itu, kita bisa sekaligus mendengarkan audio dari gawai yang dipinjamkan petugas pameran. Gawai itu dibekali penjelasan naratif tentang Raffaello dan karya-karyanya sesuai dengan konten fisik yang tersaji di area pameran.
Konsep itu membuat kita seperti sedang mendengarkan dongeng sekaligus menonton film sejarah. Begitu masuk ke ruangan, kita lebih dulu disuguhi kisah masa kecil Raffaello yang lahir di Urbino, Italia, pada 1483. Ayahnya adalah perupa termasyhur di sana. Banyak pedagang dan bangsawan meminta ayah Raffaello melukis. Sang bapak juga mengelola sebuah bengkel seni rupa. Dari situlah Raffaello kecil berkenalan dengan dunia seni dan tertarik pula untuk menggambar. Namun, saat Raffaello berumur 11 tahun, ayahnya mangkat. Beberapa waktu kemudian ia pindah ke Firenze dan membangun identitas perupanya di sana.
Narasi verbal dari gawai diperkuat dengan proyeksi 3D potret Raffaello di area pertama. Potret yang kini menjadi koleksi Galeri Uffizi di Firenze itu hadir dalam skala 1 : 1 atau sama persis dengan aslinya. Layar yang sama menghadirkan lanskap Urbino dalam sebuah lukisan, yang memvisualisasinya sebagai kota seni terpandang pada masa itu. (Potret) Raffaello lalu membawa kita menyusuri kota-kota Renaissance di Italia, bertolak dari Urbino ke Città del Castello, Firenze, sebelum tiba di Roma.
Selain mengisahkan Raffaello, pameran menyuguhkan lukisan-lukisan pentingnya, diimbuhi latar belakang cerita pembuatan. Hal ini bisa kita dapatkan begitu masuk ke bagian kedua (Area 01) yang mengisahkan lukisan Il matrimonio della Vergine (Pernikahan Perawan Maria). Dalam pembuatan karya ini, Raffaello terinspirasi lukisan Perugino, gurunya, yang berjudul La Città Ideale (Kota Ideal). Raffaello mengambil dan mencontoh elemen lukisan sang guru, mengimbuhinya dengan tokoh-tokoh yang berinteraksi secara alami di La Città Ideale. Hal itu tersampaikan lewat video bergerak yang membuat karya-karya Raffaello seolah-olah hidup, ditambah penjelasan audio yang gurih.
Di area ketiga, layar mempertontonkan fragmen-fragmen lukisan Raffaello tentang penguburan Kristus. Lukisan itu dibuat Raffaello atas permintaan keluarga kaya di Firenze yang ingin mengenang kematian tragis anak mereka, Grifonetto Baglioni. Dalam lukisan ini, Raffaello membuat penafsiran yang kemudian hari membuatnya dipuji. Ia menggambarkan Baglioni sedang memegang kain Kristus yang hendak dimakamkan. Baglioni dilukis sebagai sosok lelaki muda dengan kulit kemerahan dan perawakan tegap. Figur ini digambar seperti sedang menatap ke pusara.
Il matrimonio della Vergine
Sebelum lukisan ini jadi dan memantik pujian, Raffaello menggambarkan hal berbeda. Ia melukiskan Kristus tergeletak di tanah, dikelilingi orang-orang yang dekat dengannya. Sketsa yang menjadi saksi proses kreatif Raffaello itu masih tersimpan hingga kini. Namun Raffaello kemudian berubah pikiran dan mengubah total lukisannya. Tafsir baru Raffaello membuat lukisannya terasa lebih dramatis. Perubahan ini dikisahkan dalam instalasi video berisi penggalan lukisan, seolah-olah bergerak dari satu adegan ke adegan lain.
Pendiri dan CEO Magister Art Renato Saporito mengatakan yang betul-betul inovatif dalam pameran ini adalah caranya mengembangkan narasi dan memberi pengalaman bagi pengunjung. Mereka tak memakai gambar imersif untuk membuat pengunjung seperti dikelilingi reproduksi visual, melainkan lebih berfokus pada “cara” membawa pengunjung ke dalam konteks budaya dalam karya seni tersebut. Hal itu disebut Magister Art sebagai “narasi tambahan”: pengalaman kognitif total dan eksperimental yang memperkuat dan merangsang kemampuan persepsi pengunjung. “Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan instrumen teknologi canggih, media, dan gabungan bahasa visual, suara, narasi, dan skenografi,” ujar Saporito.
Di area berikutnya, lukisan-lukisan Raffaello Sanzio disuguhkan dalam bingkai digital yang berbeda dengan ukuran jauh lebih kecil daripada instalasi lain. Area 03 memajang karya Raffaello yang dipesan bangsawan ataupun pedagang pada masa itu, seperti Madonna del Cardellino. Sedangkan di Area 04 karya monumental Raffaello, Sekolah Athena, dibahas secara detail. Begitu pun di area penutup yang mengupas lukisan Transfigurasi—karya terakhir Raffaello sebelum ia wafat pada umur 37 tahun. Latar belakang karya itu didedah lewat permainan video, didukung penjelasan audio yang ringkas. Hal ini membantu pengunjung memahami konteks lukisan pada masanya, baik perkembangan ilmu pengetahuan maupun pergolakan sosial-budaya. “Kami sadar sejak awal perlunya menghadirkan Raffaello dengan cara yang bisa dimengerti siapa saja,” ucap Saporito.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo