Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran “Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen” (Tanah Air Kita: Dekolonisasi, Generasi, Kisah) di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda.
Pameran tentang migrasi besar-besaran penduduk Hindia Belanda selepas kemerdekaan Indonesia.
Menyuguhkan kisah dari orang Belanda, Indo, Tionghoa, Maluku, Papua, dan Inggris.
Tiga ratus ribu lebih orang Belanda, Indo, keturunan Tionghoa, Maluku, Papua, dan lainnya, yang tadinya menetap bahkan lahir di Indonesia, memilih bermigrasi ke Belanda selama 1945 sampai sekitar awal 1960-an. Kisah mereka direkam dan dipamerkan di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda, pada Februari-Juni 2022 dengan judul “Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen” (Tanah Air Kita: Dekolonisasi, Generasi, Kisah).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Koleksi-koleksi pribadi para migran berbagai etnis dan ras itu ditampilkan dan dibubuhi cerita yang diteruskan dari generasi ke generasi. Sebagian diceritakan oleh generasi ketiga bahkan keempat dari para migran.
Het is zo lang geleden (Itu sudah lama berlalu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waarom wil je dat nou weten (Kenapa kalian mau tahu?)
Het is toch goed zo (Bukankah semuanya baik-baik saja?)
Goed zoals het is (Semua baik-baik saja seperti apa adanya)
PENGGALAN lirik lagu “Kom Thuis” (Pulang ke Rumah) itu dinyanyikan Francesca Pichel pada acara pembukaan pameran “Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen” (Tanah Air Kita: Dekolonisasi, Generasi, Kisah). Francesca menyanyikannya dari atas panggung dengan memainkan sebuah gitar akustik. Suaranya getir, nadanya lirih, dan membuai sekitar seratus orang yang hadir di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda, Jumat, 5 Maret lalu.
Lagu itu khusus diciptakan Francesca untuk penampilannya dalam acara tersebut. Awalnya Francesca, aktris, penyanyi, dan penulis lagu, hanya diminta mengisi suara untuk perangkat audio pelengkap pameran. “Tapi kemudian saya menawari ke museum untuk membikin lagu tentang pameran Ons Land,” kata Francesca kepada Tempo seusai pertunjukan.
Pembukaan pameran Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda, awal Maret 2022. Tito Sianipar
Secara garis besar, Ons Land adalah pameran yang masih terkait dengan masa Revolusi kemerdekaan Indonesia, terutama tentang migrasi sebagian penduduk Hindia Belanda ketika itu. Dokumentasi Belanda mencatat migrasi tersebut adalah yang terbesar dalam sejarah, yakni migrasi lebih dari 300 ribu jiwa dan dibagi dalam berbagai gelombang.
Pada 1946-1950, sebanyak 12.550 orang yang kebanyakan adalah golongan kulit putih bermigrasi. Lalu, pada 1950-1952 sebanyak 86.900 jiwa bermigrasi, pada 1952-1957 sebanyak 97.800 orang, pada 1957-1959 sebanyak 58.300 orang, dan diikuti pada 1959-1964 sebanyak 46.400 orang. Adapun gelombang yang terakhir terjadi pada 1964-1968, dengan 15.300 orang di antaranya terdiri atas orang Maluku, Papua, dan Tionghoa.
Ons Land menyuguhkan cerita dari delapan keluarga, yang tak hanya berbeda etnis, tapi juga ras, yakni Maluku, Tionghoa, Belanda, peranakan, Papua, dan Inggris. Delapan keluarga itu antara lain Van Liefland, keluarga Jouwe, keluarga The, keluarga Keasberry, keluarga Manuhutu, keluarga Bernardus, keluarga Umarella, dan keluarga Birney. Kisah delapan keluarga itu adalah sajian utama pameran.
Pameran hasil kerja sama Indisch Herinneringscentrum dan Moluks Historisch Museum, yang didanai Kementerian Kesehatan, Kesejahteraan, dan Olahraga Belanda, ini menampilkan barang-barang pribadi milik tokoh generasi pertama yang datang ke Belanda, tapi dikisahkan oleh keturunannya. “Kami bercerita tentang orang yang datang ke Belanda dan memulai hidup mereka di sini. Seperti apa rasanya meninggalkan tanah air,” tutur Margaret Leidelmeijer, kurator pameran Ons Land.
Margaret menuturkan ide awal pameran ini adalah kelanjutan dari pameran yang dilaksanakan sebelumnya oleh Indisch Herinneringscentrum di Arnhem berjudul “Stories of Nederland-Indische” beberapa waktu lalu. Berbeda dengan sebelumnya, Margaret sendiri yang mengusulkan dan memperjuangkan agar pameran ini diisi oleh kisah-kisah pribadi keluarga masing-masing.
Suasana pameran Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda, awal Maret 2022. Tito Sianipar
Awalnya tim persiapan menyeleksi lebih dari 60 keluarga dan mendapatkan enam keluarga. Untuk memenuhi unsur keterwakilan setiap kelompok etnis ataupun ras, peserta pameran ditambah hingga menjadi delapan keluarga. “Kami membebaskan mereka bercerita tentang apa saja yang menurut mereka penting,” ujar perempuan 63 tahun itu.
Pameran ini juga sengaja diselenggarakan di antara beberapa peristiwa lain yang mengulas revolusi kemerdekaan Indonesia demi menjaga momentum. Perisitiwa tersebut adalah diadakannya pameran “Revolusi! Indonesie Onafhankelijk” (Revolusi! Indonesia Merdeka) di Rijksmuseum Amsterdam dan dirilisnya hasil riset tentang revolusi kemerdekaan oleh tiga lembaga Belanda, yaitu Institut Belanda untuk Studi Perang, Holokaus, dan Genosida; Institut Kerajaan Belanda untuk Kajian Asia Tenggara dan Karibia; dan Institut Belanda untuk Sejarah Militer.
Salah satu pengunjung yang ditemui Tempo, Ivonne, mengakui selama ini Belanda menutupi apa yang terjadi pada masa kolonialismenya di Indonesia. Bahkan, ia menilai permintaan maaf Raja Willem Alexander pada 2020 tergolong terlambat. “Tidak ada yang bisa dibanggakan atas apa yang terjadi pada masa penjajahan di Indonesia,” ucap perempuan 62 tahun yang datang bersama suaminya itu.
Dia mengapresiasi apa yang disuguhkan Museum Sophiahof dan mengaku mendapatkan gambaran baru mengenai apa yang terjadi pada periode itu. Meski tak punya keterikatan dengan Indonesia, Ivonne mengaku mulai tertarik ihwal penjajahan Belanda sejak membaca buku karangan David van Reybrouck yang berjudul Revolusi Indonesia and the Birth of the Modern World.
Kisah-kisah yang ditampilkan Ons Land tidak melulu tentang rasa sakit dan kepedihan menjadi korban era yang penuh dengan kekerasan tersebut. Pameran ini lebih menonjolkan romantisisme yang memang terjadi di masa-masa revolusioner perjuangan kemerdekaan bangsa, meski mereka yang bermigrasi sebagian besar adalah yang berada di kubu seberang Republik.
Salah satu yang menarik adalah kisah keluarga Keasberry yang merupakan keturunan Inggris dan mirip dengan lirik lagu “Sunset Tanah Anarki” karya Superman Is Dead. Ya, di tanah anarki romansa terjadi. “Mereka menjadi tahanan pejuang kemerdekaan. Tapi dia kemudian jatuh cinta kepada orang Indonesia yang menjaganya di kamp penahanan,” ujar Margaret.
Anggota tim peneliti pameran ini, Wim Manuhutu, mengatakan di Belanda dalam sepuluh tahun terakhir terdapat pegeseran cara pandang terhadap sejarah. “Ada kekuatan yang melihat sejarah kolonialisme dari pandangan yang lebih kritis,” tuturnya. Salah satu pemantiknya adalah keberhasilan gugatan Komite Utang Kehormatan Belanda di pengadilan Belanda atas pembantaian Rawagede.
Instalasi di pameran Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda. Museum Sophiahof
Berbagai karya berupa buku dan film yang menyajikan fakta-fakta kekejaman kolonialisme membuka mata publik Belanda bahwa ada yang ditutupi dari sejarah yang mereka ketahui selama ini. Hal itu justru menimbulkan rasa penasaran. Generasi muda keturunan para migran ini, menurut Wim, merasa perlu kembali membicarakan asal-usul mereka.
Meski menghadirkan kisah pilu dan getir para migran, pameran Ons Land tidak “menjual” periode Bersiap yang memantik perdebatan di Belanda akhir-akhir ini dan menyebabkan sejarawan Bonnie Triyana dilaporkan ke polisi. “Yang perlu disadarkan dari mereka adalah bahwa rangkaian kekerasan itu terjadi dalam konteks lebih besar, yaitu perjuangan melawan penjajahan yang menindas,” kata Wim.
•••
MEMASUKI ruangan pertama pameran Ons Land, pengunjung disuguhkan beberapa panel layar digital yang memutar cuplikan visual sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, perlawanan Republik Maluku Selatan, juga periode Presiden Soeharto menerima kunjungan Ratu Belanda. Bahkan juga ikut ditampilkan video permintaan maaf Raja Belanda Wilem Alexander di Istana Bogor yang didampingi Presiden Joko Widodo.
Di ruangan berikutnya, sebuah instalasi rumah setinggi 1,5 meter dengan jendela-jendela di semua sisinya berdiri di tengah ruangan. Di setiap jendela ditampilkan video wawancara setiap perwakilan keluarga. Di bawah jendela dipamerkan barang pribadi milik kakek atau orang tua mereka. Salah satunya adalah baret hitam dengan bintang keemasan di pucuknya.
“Ayah saya, Jan Manuhutu, menggunakan baret komando itu ketika terlibat di aksi Wassenar pada 1970,” ujar Xanterra Manuhutu, yang ditulis ulang dalam buku pameran. Aksi Wassenar yang dimaksud Xanterra adalah upaya penyerangan kelompok RMS ke kediaman duta besar Indonesia untuk Belanda pada 31 Agustus 1970. Wassenar adalah nama wilayah di Kota Den Haag, tempat kediaman duta besar Indonesia.
Instalasi di pameran Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda. Tito Sianipar
Penyerangan bersenjata kelompok RMS ketika itu terkait dengan rencana kedatangan Presiden Soeharto ke Belanda dalam rangka kunjungan kenegaraan pada 3 September 1970. Akibat insiden itu, seorang polisi Belanda, Hans Molenaar, tewas. Ini merupakan awal rangkaian aksi teror kelompok RMS di Belanda. Setelah aksi Wassenar, RMS dua kali membajak kereta pada 1975 dan 1977, juga melakukan pendudukan Konsulat Jenderal RI di Amsterdam pada 1975.
Tak cuma baret milik Manuhutu yang dipanjang, ada pula barang-barang pribadi lain: sajadah milik keluarga Umarella, mesin tik dan dokumen milik keluarga Birney, rantang dan alat panggangan milik keluarga Keasberry yang dulu pengusaha rumah makan, serta bendera Bintang Kejora milik keluarga Jouwe dari Papua. “Itu adalah bendera pertama Nugini Belanda yang dirancang ayah saya dan dibikin keponakannya,” kata Nico Jouwe.
Di ruangan berikutnya, suasana lebih sendu terasa. Beberapa bilik terbentuk dari kelambu terpasang membujur hingga ke lantai. Di setiap bilik, barang-barang pribadi milik para migran ini dipajang. Salah satunya adalah kalung lencana tanda keanggotaan militer kepunyaan Jacob Bernardus. Di pelat logam itu terukir nomor anggotanya, KM 26597, dan keterangan golongan darah O.
Jacob merupakan mantan tentara Belanda yang masih hidup dan hadir dalam acara pembukaan Ons Land. Ia bergabung dengan tim medis Angkatan Laut Kerajaan Belanda pada 1946 ketika usianya baru 18 tahun. “Ia (hanya) ingin bertualang dengan kapal besar yang kerap dilihatnya di pantai,” tutur Rebecca Tutuhatunewa-Louhanepessy, anggota keluarga Bernardus, tentang motivasi Jacob.
Koleksi pribadi para migran di pameran Ons Land: Dekolonisatie, Generaties, Verhalen di Museum Sophiahof, Den Haag, Belanda, awal Maret 2022. Tito Sianipar
Selepas dari ruangan berkelambu, pengunjung akan dibawa ke tempat yang lebih interaktif. Salah satunya adalah layar yang di depannya memampang beberapa imaji benda koleksi. Sebuah lampu sorot tersedia buat pengunjung untuk menyenterkan cahaya ke obyek yang tersedia. Lantas akan diikuti visualisasi siluet di layar tentang obyek tersebut. Salah satu yang dipajang adalah botol parfum milik orang tua The Pik Sin, Direktur Observatorium Bosscha.
Di ruangan berikutnya terdapat instalasi rumah yang isinya tidak ada yang terkait dengan kisah para migran, melainkan pelbagai permainan. Salah satu yang menarik adalah dinding berlubang 12 yang terdiri atas berbagai warna, dari terang ke gelap. Di papan itu tertulis “Pilih Warna Kulit Anda”. Ketika dibuka, ternyata warna-warna itu adalah warna badan seorang individu.
Menurut Margaret, permainan itu mengajak pengunjung menghindari prasangka berdasarkan warna kulit. Pasalnya, para migran dari Indonesia yang datang ke Belanda juga mengalami persoalan itu ketika tinggal di Belanda. “Jika tidak punya kulit putih dan mata biru, Anda akan mudah mengalami hal serupa,” ucap perempuan bertubuh mungil yang juga pernah mengalami diskriminasi karena warna kulit ini.
Ons Land memang tidak memotret utuh semua kisah pahit dan getir mereka yang menjadi korban pergolakan politik. Namun pameran Ons Land ini memberi perspektif baru mengenai bagaimana para migran, baik orang Eropa, Maluku, Papua, maupun Tionghoa, memiliki kisah perjuangan sendiri dalam memulai hidup baru di tanah orang asing dengan tetap membawa akar dan asal-usul mereka.
Kedatangan imigran asal Indonesia di Bandara Schipol, Belanda, November 1964. Nationaal Archief
Direktur Museum Sophiahof Yvonne van Genugten mengatakan pameran Ons Land juga hasil kerja sama dan pertukaran informasi dengan Rijksmuseum. “Kami menyimpulkan Ons Land dan Revolusi saling melengkapi,” katanya.
Yvonne menambahkan, Ons Land memang tidak netral. Kisah yang ditampilkan juga masih tidak lengkap dan terus berkembang, yang diharapkan bisa memantik diskusi untuk memperkaya khazanah sejarah. “Anggaplah pameran ini sebagai sebuah undangan untuk terlibat dalam perbincangan (tentang sejarah),” tuturnya.
Hal ini seperti lagu “Pulang ke Rumah” yang dibawakan Francesca pada pembukaan Ons Land yang mengajak pengunjung menjajaki jalan baru. “Lagu itu membawakan cerita yang diteruskan dari generasi ke generasi. Sekarang yang penting adalah bagaimana kita memproses rasa sakit itu dan menjalani hidup yang berbeda dengan yang silam,” ucap Francesca, perempuan Indo yang memiliki darah Maluku.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo