Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bagi Bianpoen, setiap pembangunan harus mampu menjawab pertanyaan untuk apa dan untuk siapa.
Gagasan penataan kotanya beraliran modern, tapi Bianpoen memihak warga kurang berdaya atau tertindas.
Bianpoen meninjau gejala dari akar.
SAYA cukup beruntung pernah menimba ilmu dari Dr Ir Bianpoen. Bukan hanya ilmunya yang berharga. Di sepanjang hidupnya, beliau selalu menunjukkan sikap teguh pada pendirian dan tanpa kompromi terhadap kejahatan. Bagi beliau, jawaban hanya ada ya atau tidak, betul atau salah, dan boleh atau tidak. Tak ada yang berada di antara dua kutub itu. Sikap beliau membekas di sanubari murid-muridnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas perintah (almarhum) Dipl Ing Suwondo B. Sutedjo, yang pada 1970 pindah dari Institut Teknologi Bandung atas permohonan Universitas Indonesia dan mengampu mata ajaran Merencana IV serta memimpin Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, saya membonceng rekan kuliah bertemu dengan Pak Bianpoen di rumah tetapnya di Jalan Danau Bekuan, kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat. Kami diterima di ruang tamu mungil. Pak Bianpoen berkemeja dan bercelana pendek saat menerima kami. Beliau segera menyatakan kesanggupannya memenuhi permohonan kami untuk mengampu mata ajar Merencana Kota di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Kesan saat itu adalah kesederhanaan dan ketulusan pribadi calon dosen kami tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Apa yang dilihat, apa yang didapat” adalah gambaran sosok Pak Bianpoen. Badan mungil padat, garis muka jelas, bibir senantiasa tertutup rapat, beliau memberi kesan tegas, keras, dan kuat. Beliau selalu menyampaikan pendapat dengan ringkas, tepat, dan jelas. Tulisan tangannya besar dan jelas. Kami menerima pesan-pesan pelajaran tentang apa yang boleh dan apa yang tidak, dalam sorotan epidiascope. Beliau jarang menggunakan slide, tapi overhead projector dengan lembar tembus pandang dalam gaya penyampaian bagai perintah militer.
Gagasan penataan kotanya beraliran modern, yang saat itu ramai dengan peremajaan kota. Namun beliau memihak warga yang kurang berdaya atau tertindas. Pertanyaan mendasar beliau, “untuk apa dan untuk siapa pembangunan itu?”, telah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Universitas Pelita Harapan, tempat beliau singgah setelah purnabakti dari Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Kecintaannya terhadap lingkungan hidup melekatkannya dengan Sekolah Lingkungan Universitas Indonesia.
Pak Bianpoen adalah pendidik legendaris. Banyak kisah menyelimuti kehidupannya. Ada kisah tentang keberaniannya menyalahkan atasan, bahkan gubernur. Kisah-kisah heroik ini membuat sosoknya menjadi panutan dan model idealis pemberani yang membanggakan dan pantas ditiru. Bangga sekali kami diajar oleh dosen yang berkarakter kuat yang jalan hidupnya dipenuhi kisah.
Perkenalan saya dengan beliau tak berhenti pada hubungan dosen dengan mahasiswa. Setelah tamat sebagai insinyur, saya sempat membantunya menyelenggarakan seminar tingkat antar-kebangsaan. Pada 1976, jika saya tak salah ingat, beliau adalah Ketua Working Group Habitat Ikatan Arsitek Indonesia, anggota Union Internationale des Architectes (UIA), yang dipercayakan menyelenggarakan Seminar Habitat UIA di Indonesia. Acara itu memungkinkan saya bertemu dengan berbagai tokoh dan mendorong saya untuk studi lanjut.
Universitas Indonesia dianugerahi tiga tokoh: Pak Bianpoen, Pak Han Awal, dan Pak Wondo. Mereka sahabat karib yang belajar ke Negeri Belanda, kemudian pindah ke Jerman. Ketiganya legenda pendidikan arsitektur Indonesia yang merintis pemikiran modern dalam perancangan arsitektur dan lingkungan. Pak Bianpoen adalah “pelita pura”, Pak Han Awal “nyala nirmana”, dan Pak Wondo “laras lantera”. Membangun negeri ini membutuhkan nyala, lentera, dan pelita agar bersemangat menuju manusia utuh dan luhur menerangi bumi melalui merancang. Api yang dibawa trio perintis generasi Pak Bianpoen disebarluaskan di kampus Universitas Indonesia oleh para penerusnya.
Memelihara semangat sungguh tak mudah, apalagi menyebarluaskan. Patokan mutu yang ditetapkan Pak Bianpoen sangat tinggi. Beliau telah menjadikan dirinya bukan hanya sebagai ilmuwan, tapi juga idealis yang tak tunduk pada tekanan keadaan. Integritas tinggi ini kini amat langka di Indonesia. Berdiam diri menahan arus deras yang cenderung korup itu sulit, apalagi melawannya. Dalam keadaan demikian, seseorang perlu tabah dan teguh mempertahankan keberadaannya menghadapi hambatan bertubi-tubi agar bertahan hidup. Beruntunglah pelanjut yang berani dan mau meneruskan warisan beliau, menunjukkan masih ada asa di masa depan Indonesia.
Pak Bianpoen meninjau gejala dari akar. Gejala sering terbungkus sehingga sulit bagi pengamat mengetahui apa yang dikandungnya. Dalam kajian selama 20 tahun terus-menerus di suatu kawasan miskin Jakarta, beliau menemukan bahwa rumah hanyalah prioritas kelima bagi penduduk yang bermukim di situ. Pekerjaan prioritas pertama, lalu air bersih, kesehatan dan pendidikan menyusul, kemudian barulah rumah. Temuan ini tentu sulit diterima pembuat kebijakan yang harus menyerap anggaran yang hingga kini menjadi patokan keberhasilan seorang pejabat. Ironis, kenyataannya tak demikian.
Beliau yakin, dari kajiannya, penyebab banjir Jakarta itu dari hulu sungai. Suaranya tak mendapat perhatian yang pantas. Beliau juga yakin pengangkat seorang koruptor itu salah karena kecerobohannyalah korupsi terjadi. Mencari akar masalah itu tampaknya sulit dimengerti pendamping beliau. Dengan sikap itu, beliau bagai penyendiri. Prinsip itu akar berpijak seseorang bertindak. Berpegang teguh prinsip hidup menentukan harkat seseorang. Ini seakan-akan berada atau tak berada, bertindak atau tidak. Tak ada pilihan lain. Dengan sikap demikian, mungkin saja keberadaan seorang Bianpoen mengancam orang sekitarnya. Sulit bagi mutiara berada di lumpur sekitarnya.
Di balik tampilan yang tegas dan keras, tersimpan nurani manusiawi seorang Bianpoen. Saya pernah ikut dalam mobil yang dikendarainya karena satu tujuan. Gaya kebutannya sangat menegangkan. Saat kami melewati Pasar Minggu yang padat lalu lintas, seorang pengendara sepeda motor dari arah berlawanan menabrak mobilnya yang sedang melambat. Kaca spion kanan copot. Pak Bianpoen dengan tenang turun dari mobil dan melihat penabrak yang terluka di muka, lalu masuk ke dalam mobil dengan spion, kemudian meneruskan perjalanan. Saya tanya, “Tak dituntut, Pak?” Beliau jawab: “Lihat saja mukanya, mana mungkin dia bayar.” Praktis dan humanis sekaligus jawabannya. Mobil itu kendaraan dinas yang badannya tak pernah dirawat. Mudah mengenal mobil Pak Bianpoen, cari saja yang sosoknya penuh selotip, itulah mobilnya. Tentu itu merupakan lelucon para mahasiswa di kampus.
Jujur itu dimulai dari dalam diri. Memahami diri itu kemudian lakukan hal yang selaras hati nurani membangun integritas seorang manusia. Pak Bianpoen tahu kemampuan diri. Pria yang lahir di Mojokerto, 21 Februari 1930 itu tak segan mengisi kedudukan ketua untuk memimpin sektor organisasi di bidangnya. Habitat atau permukiman merupakan bidang kaji Ikatan Arsitek Indonesia yang beliau ketuai dan meletakkan dasar pengembangan. Beliau hanya bergerak jika yang dihadapi itu jelas. Berpikir tajam dan jernih mendinginkan pikiran sehingga keputusan tak diambil dengan gegabah. Kita perlu menunggu isi air mengendap, baru dapat dengan jelas memilah apa yang terkandung. Penyusunan kebijakan juga demikian. Dalam keadaan gegabah, suara kiri-kanan yang mendengung terus mudah mengeruhkan keadaan sehingga keputusan turut keruh.
Pak Bianpoen telah meninggalkan kita pada Senin, 1 September lalu. Warisan beliau berat dan banyak, tapi masih dilapisi penutup yang menunggu kita buka dan kembangkan. Contoh manusia utuh dan luhur telah diteladaninya bagi generasi penerus. Ratapan bukanlah yang dirasakannya. Karena itu, jangan tenggelam dalam kenangan terhadap beliau saja, tapi kobarkan pelita yang telah dinyalakannya. Generasi baru, bangun! Berjuanglah demi kebenaran!
Selamat berlayar, guruku!
GUNAWAN TJAHJONO, MURID BIANPOEN, GURU BESAR ARSITEKTUR UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo