Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
17 Karya I Nyoman Gunarsa dipamerkan
Pameran pertama setelah Gunarsa wafat pada 2017.
Karya-karya itu menggambarkan perjalanan kreatifnya
Joko Widodo sedang duduk santai di tengah keriuhan pasar. Sang Presiden tak tampak canggung meminum jamu gendong yang disajikan mbok pedagangnya. Nuansa tradisional dengan warna-warni semarak membuat lukisan itu gampang dinikmati.“Karya itu dibuat sebagai simbol harapan Bapak (almarhum I Nyoman Gunarsa) akan pemimpin yang merakyat,” kata Indrawati Gunarsa, istri sang maestro, akhir pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada kisah lain di baliknya. Gunarsa membuat lukisan itu saat ia sakit dan tak mampu lagi berdiri setelah beberapa kali terkena serangan stroke. Padahal lukisan itu berukuran "raksasa", 200 x 400 sentimeter. Maka kanvas pun diakali agar bisa diatur naik-turun. Selain itu, ada seorang asisten khusus yang bertugas melayani Gunarsa untuk mendorong kursi roda yang digerakkan sesuai dengan kebutuhan sang maestro.
Lukisan itu bersama 16 karya lainnya kini dipamerkan di Griya Santrian Gallery Sanur, Bali, hingga 31 Maret 2023. Ini pameran pertama karya Gunarsa sejak dia meninggal pada Ahad, 10 September 2017. Karya-karya lainnya menggambarkan perjalanan kreatif perupa kelahiran 1944 itu. Corak ekspresionisme menjadi dasar gaya lukisannya. Gunarsa menggunakan gaya itu untuk mengeksplorasi kekayaan budaya Bali dari seni tari, sesaji, dan wayang, sehingga menghasilkan corak sendiri yang disebut gaya Gunarsa.
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama pelukis I Nyoman Gunarsa (kedua dari kanan) di museum Griya Santrian Art Gallery, Bali. 2017. Biro Pers Setpres
Corak tersebut kemudian banyak dikembangkan oleh perupa Bali hingga saat ini. Hal ini tak lepas dari inisiatif Gunarsa saat menjadi dosen Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta untuk mendirikan komunitas Sanggar Dewata Indonesia pada 1970. Meski demikian, ciri khas Gunarsa dengan sapuan cepat dan paduan warna-warna cerah tetap tak tergantikan. Lukisan-lukisannya seperti menggambarkan kebudayaan Bali yang atraktif, lincah, dan menggoda.
Namun, pada saat-saat tertentu, pelukis dari Klungkung itu tampak menyajikan renungan budaya yang mendalam. Ia bahkan sempat membuat seri lukisan bertajuk "Moksa" pada 2000-an yang didominasi warna hitam sebagai simbol pelepasan diri dari berbagai ikatan keduniawian.
Di luar kegiatan sebagai perupa, menurut Indrawati, Gunarsa sangat peduli pada regenerasi seniman. “Gajinya sebagai dosen bahkan seluruhnya diberikan untuk membantu mahasiswa. Kami hidup dari penjualan lukisan,” katanya mengenang saat awal menikah dengan Gunarsa.
Karya berjudul Dancer with Violin, 2008. Tempo/Rofiqi Hasan
Selain itu, pelestarian budaya Bali menjadi komitmen Gunarsa. Alasan itulah yang membuatnya mendirikan Museum Seni Lukis Klasik Bali pada 1990, yang diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djoyonegoro pada 1994.
Saat itu Gunarsa melihat banyak sekali warisan seni dan budaya Bali pada masa silam dalam bentuk lukisan, patung, keris, dan berbagai artefak seni lainnya dibeli oleh orang asing dari Amerika dan Eropa. Ia khawatir generasi masa depan akan kehilangan akar dan jejak budaya karena tak sempat melihat karya nenek moyangnya.
Semangatnya yang begitu besar, kata Indrawati, membuat Gunarsa memiliki spirit untuk tetap produktif melukis meski sakit. Ia ingin mewariskan lebih banyak lukisan yang bisa dijual agar museum di Klungkung, Bali, yang tak mendapat sokongan pemerintah tetap bertahan saat ditinggalkannya.
Karya I Nyoman Gunarsa. Tempo/Rofiqi Hasan
Sayangnya, seiring dengan kemasyhuran, karya Gunarsa pun banyak dipalsukan. Pada 2008, ia bahkan sempat menyeret seorang pemilik galeri di Denpasar ke pengadilan dengan tuduhan penjualan karya palsu. “Setelah Bapak meninggal, malah makin banyak yang menjual lukisan palsu di toko online. Ini yang memprihatinkan,” kata Indrawati. Banyak pula yang setelah membeli kemudian mendatanginya untuk meminta sertifikat keaslian karya.
Pemilik Griya Santrian Gallery, Ida Bagus Shidarta Putra, berharap pameran ini, selain menjadi penghormatan bagi Gunarsa, menjadi ajang retrospeksi seniman Bali. “Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok sang maestro,” ujarnya.
Ia menyebut Gunarsa sebagai seniman yang tumbuh dan berakar dalam budaya Bali. Namun, dengan karya-karyanya, dia telah melanglang buana dan membuat Bali makin dikenal dengan seni serta keindahannya.
ROFIQI HASAN (DENPASAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo