Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Narasi Kematian di Bawah Langit

Koreografer Jefri Andi Usman kembali mempertontonkan opera tari lawasnya: Akan Jadi Malam. Membuka ruang alternatif di Taman Ismail Marzuki.

28 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jakarta baru saja selesai diguyur hujan. Sisa-sisa genangannya masih membekas di lantai ruang terbuka Plaza Grand Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 22 April malam lalu. Namun ratusan penonton tetap setia duduk berkerumun dengan alas seadanya.

Malam itu koreografer Jefri Andi Usman kembali mementaskan karya lamanya, Akan Jadi Malam, yang pernah dipentaskan di Graha Bhakti Budaya pada 2008. Tapi kali ini Jefri memilih panggung terbuka sebagai tempat pementasan.

Harus diakui suasananya kolosal. Pilar ko­koh setinggi 30 meter yang menopang Grand Teater digunakan sebagai pokok per­tunjukan. Sebuah panggung berbentuk setengah lingkaran dibangun di depan pilar. Bilah-bilah bambu dipasang di sekelilingnya. Untuk pertama kalinya, sejak gedung itu diresmikan tiga tahun lalu, sebuah panggung dibuat di plaza menggunakan backdrop gedung tersebut sendiri. Jefri dan penata artistik Aidil Usman mampu membuka kemungkinan baru di Taman Ismail Marzuki.

Dari pojok kanan, mulanya penari asal Surakarta, Fajar Satriadi, dengan rambut terurai panjang turun dari tangga kayu setinggi enam meter. Ini simbol kepergian seorang laki-laki dari rumah untuk merantau. Inti pentas adalah perasaan-perasaan menjelang kematian. Jefri memecah pementas­an satu setengah jam itu dalam tiga babak: Survive, Sendiri, dan Dalam Peristirahatan. Cara dia membagi dramaturgi, memainkankan selang-seling adegan gerak kolektif belasan penari dan duet, sayangnya, polanya masih lama. Masih belum muncul penonjol­an-penonjolan dan kejutan-kejutan adegan yang kekuatannya menyentak.

Bagian yang paling menarik adalah ade­gan menunggu datangnya kematian. Di panggung, peran itu kembali diserahkan kepada Laksmi Notokusumo. Mengenakan gaun merah dan selendang hitam, perempuan yang rambut pendeknya sudah memutih itu duduk mematung di kursi lipat ditemani enam penari. Laksmi memainkan kursi, menyeret, dan memutarinya. Dia tersenyum sendiri, membungkuk, dan menggerakkan jari. Ia seperti seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya yang telah dewasa.

Sementara dulu Laksmi berbagi panggung dengan Danarto, yang berperan sebagai lelaki tua, pada pementasan kali ini peran sang kakek dihilangkan dan diganti oleh penari senior Elly Luthan. Duet Laksmi-Elly adalah jantung pertunjukan.

Tak ada lagi aksi seperti Danarto menggoreskan cat aneka warna di kanvas kaca seperti pertunjukan di Graha Bhakti. Sebagai gantinya, empat proyektor berkekuatan masing-masing 16 ribu lumens setiap pergantian babak menyemprot pilar dan fasad gedung dengan video mapping bergambar taburan bunga krisan, daun-daun kering berjatuhan, atau guyuran air hujan.

"Adegan kain jatuh sebagai penanda pergantian adegan di Graha Bhakti dulu diganti oleh mapping," ujar Aidil. Jefri menginginkan video yang ditembakkan ke pilar yang bentuknya seperti capit raksasa itu bisa menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu. "Saat pilar disemprot warna merah darah, saya ingin terbentuk asosiasi kaki yang mengangkang dan vagina yang keluar darah," kata Jefri, meski toh semprotan mapping tersebut kenyataannya tak bisa membawa penonton ke asosiasi itu.

Kekuatan pentas ini juga lantaran ada unsur paduan suara yang melibatkan Binu D. Sukarman, Rainier Revireino, dan Yuyun. Kor ini mampu membentuk suasana yang diinginkan Jefri lebih dari pembacaan sajak-sajak Derai Cemara karya Chairul Anwar, Siang dan Malam Tak Memisah Hujan karya Leon Agusta, 30 Tahun Kemudian milik Goenawan Mohamad, serta Dan Kematian Makin Akrab karya Subagio Sastrowardoyo, yang dibawakan bergantian oleh Ine Febriyanti, Rifnu T. Wikana, dan Cornelia Agatha. "Ada sisi tragis yang diungkapkan lewat puisi," ujar Laksmi.

Akan Jadi Malam diakhiri oleh sebuah adegan bahwa, menjelang kematian, pikiran seseorang akan menggelayut jauh ke memori masa anak-anak. Di panggung, itu disimbolkan dengan kehadiran anak-anak, yang ikut berjalan berbaris memu­tari panggung.

Rombongan penari dan anggota paduan suara berjalan perlahan, dengan masing-masing menyenandungkan suara pedih. Seolah-olah itu rombongan peziarah dari berbagai bahasa yang menangis, menyenandungkan kematian dengan cara masing-masing. Campuran jeritan ala Flores, Ave Maria, rekuiem Kalimantan, raungan keluar dari iringan-iringan. Dan satu per satu berjalan, memanjat tangga. Sebuah klimaks yang langsung membuat penonton memberikan aplaus.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus