Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Mantra Suprapto untuk Sangiran

Tokoh meditasi gerak Suprapto Suryodarmo berusaha menghidupkan Taman Purbakala Sangiran dengan sebuah srawung seni.

28 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA-suara aneh itu datang dari mulut penari Bambang Besur. Perpaduan antara mengaum dan menggeram. Terkesan absurd. Namun pikiran bisa langsung melayang ke suara makhluk sejenis dinosaurus, yang hingga saat ini tidak jelas seperti apa suaranya.

Bambang Besur bersama Suprapto Sur­yodarmo dan seniman Italia, Thea Crudi, menyuguhkan kolaborasi Sound of Soloensis. Mereka mencoba mengajak penonton menaiki lorong waktu kembali ke masa lampau. Pementasan tiga seniman itu menjadi pembuka pesta seni di lereng bukit bentukan lava pijar Gunung Lawu Purba.

Gerimis turun di Museum Sangiran, Sragen. Hujan deras bisa membuat bukit-bukit longsor. Tapi justru itu yang sering ditunggu-tunggu. Tulang-tulang makhluk hidup purba, seperti Pithecanthropus, yang hidup 1,8 juta tahun di situ saat bukit longsor bisa muncul dari dalam tanah.

Di zaman dulu, pelukis Raden Saleh Sjarief Boestaman dikenal gemar mengoleksi tulang-belulang tua asal Sangiran itu. Tulang-tulang yang disebut warga setempat sebagai balung buto (tulang raksasa) itu dia pamerkan kepada orang-orang Eropa kenalannya. Alhasil, Sangiran kemudian dibanjiri peneliti dunia hingga saat ini.

Selepas era Raden Saleh, rupanya tidak banyak seniman yang melirik Sangiran. Inilah yang kemudian membuat Suprapto Suryodarmo mengajak para seniman memaknai kembali Sangiran. Prapto, pendiri Padepokan Lemah Putih Soli, dikenal sejak 1970-an mengembangkan apa yang disebut gerak ritual—gerak bebas. Banyak yang tak begitu memahami apa sebenarnya yang disebut Prapto sebagai gerak spiritual itu. Sebab, ia sesungguhnya bukan sejenis bentuk koreografi.

Bagi yang sering melihat Prapto bergerak akan menyaksikan dia kerap bergerak sembari menggumamkan mantra. Gerakannya kerap dimulai dengan gerak mirip ukelan—gerak tari memutar tangan, baru kemudian perlahan mengalir. Prapto, yang Buddhis, pernah belajar meditasi Vipassana, silat, dan kebatinan Sumarah. Dia mengolah semua pengalaman tersebut. Ia agaknya mencari bagaimana tubuh bisa bergerak dengan pengamatan yang hening.

Tapi Prapto tidak memaksakan mereka yang bergerak bersamanya meniru gaya bergeraknya. Dia membebaskan para seniman mencari gerak yang mengalir dari dalam dirinya sendiri. Prapto konsisten sedari 1970-an mengajak berkelana murid-muridnya dari candi ke candi, pantai ke pantai, dan situs ke situs untuk merasakan seluruh inci tubuh merespons suasana.

Kegiatannya ini sampai memiliki "pengikut" internasional. Murid-muridnya menyebar dari Eropa, Amerika, sampai Australia. Latar belakang disiplin murid Eropanya beragam, dari praktisi yoga, teater, tari, dan martial art; arsitek; terapis; sampai dukun. Prapto kerap diundang ke Eropa atau Amerika untuk memimpin melakukan gerak bebas bersama-sama di kastil-kastil, taman-taman, sejumlah pelataran gereja, dan situs-situs purba. Dia bahkan pernah memimpin—sebuah acara "himne"—gerak spiritual di area bekas menara kembar gedung World Trade Center, New York, beberapa saat setelah tragedi 11 September 2001.

Beberapa murid Eropanya mengaku bahwa Prapto mampu memberikan energi feminin ke dalam ruang-ruang Eropa, yang kini cenderung dikuasai atmosfer maskulin. Prapto dianggap bagian dari gelombang "healing art" new age, yang marak di Eropa pada 1980-an. Seorang murid Ero­panya yang berlatar arsitek, misalnya, setelah belajar dari Prapto, mengaku kepekaan ruangnya bertambah. Seorang murid lain yang berprofesi sebagai terapis akupunktur mengaku sensibilitasnya terhadap titik-titik darah meningkat.

Prapto sendiri seolah-olah tak kehabisan stamina. Kegiatannya—betapapun sederhana—dan ya begitu-begitu saja (tapi kini sering diselingi diskusi ilmiah dari berbagai pakar) selalu memiliki penggemar. Kegiatannya bahkan sering dianggap sebagai gerakan kesenian alternatif, yang melawan formalisme atau elitisme seni. Beberapa tahun terakhir, dalam acara-acaranya, Prapto makin banyak memberi tempat pada seni pedesaan.

Di Sangiran, misalnya, kelompok Budaya Padunungan Solo pimpinan Cempe Wisesa Lawu mencoba menghadirkan sebuah atraksi wayang yang dibuat dari sampah kertas dan plastik. Sampah itu dikumpulkan dari tepi sungai di sekitar rumah Cempe di Jagalan, Solo. Sampah tersebut dirangkai dan diikat dengan rangka yang terbuat dari ranting bambu yang centang-perenang.

Cempe, yang pernah bergabung dengan Bengkel Teater serta dikenal sebagai guru dan sahabat penyair Wiji Thukul, yang hilang, berpentas di atas panggung dengan badan terlilit kain putih seperti seorang pendeta. Pementasan wayangnya menjadi semacam ruwatan. Dia menyajikan mantra-mantra dalam suluk yang dinyanyikan sepanjang pementasan. Sekelompok seniman dari Saka Galeri mengiringinya dengan tarian yang mengambil fragmen dari cerita Mahabharata. Tarian itu bercerita tentang Drupadi yang ditelanjangi oleh Dursasana setelah Pandawa kalah dalam perjudian.

Sajian tayub dipersembahkan pada hari kedua di Taman Srawung Seni Segara Gunung. Dua ledhek menarikan tarian sejenis gambyong di atas panggung. Selanjutnya mereka turun ke arah penonton sembari membawa nampan berisi selendang atau sampur.

Sinden berdarah campuran Taiwan dan Timor Leste, Jen Shyu; komunitas seni Makassar La Here; Teater Ruang; Agus Bimo; Slamet Gundono; Mugiyono; penari alusan Sulistyo Tirtokusumo; seniman Venezuela, Estefania Piffano; dan sebagainya juga ambil bagian. Mereka bergerak bebas—tanpa koreografi—bahkan ada yang menari bersama Prapto selama 24 jam. Mereka seolah-olah mengiyakan bahwa ada daya kekuatan arkaik dari masa lampau yang mengalir sampai kini. Dan gerak bebas serta ruwatan akan mampu menangkap dan menghadirkan sejumput energi itu.

"Fosil manusia purba sudah banyak yang tergali. Namun budaya desa manusia purba yang menghasilkan energi evolusi itu belum pernah terekonstruksi," kata Prapto.

Ahmad Rafiq, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus