Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arifin Panigoro ikut membesarkan program Indonesia Mengajar sejak 2009.
Saat mahasiswa Arifin membuat perusahaan instalasi listrik nyaris tanpa memiliki modal.
Arifin wafat saat menjalani pengobatan kanker paru-paru di Mayo Clinic, Amerika Serikat.
MENULIS obituari Arifin Panigoro sungguh (bukan) pekerjaan mudah. Kang Pipin—begitu panggilan akrabnya—adalah sosok multitalenta yang telah mengubah sejarah orang banyak, termasuk yang tak mengenalnya secara pribadi. Kalangan diplomat menyebutnya sebagai the movers and shakers alias tokoh yang kerap menyebabkan perubahan di masyarakat. Itu sebabnya menulis obituari almarhum yang pas dalam keterbatasan dua halaman majalah boleh dikata sebuah mission: impossible.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi frasa mission: impossible mungkin tak masuk dalam perbendaharaan diksi Kang Pipin yang dijuluki teman-temannya Mr Optimis saat masih mahasiswa. Riwayat hidupnya menunjukkan yang ada adalah mission: possible. Bayangkan, ia membuat perusahaan instalasi listrik saat masih mahasiswa nyaris tanpa memiliki modal hingga jasa notaris terpaksa dibayar dengan dicicil tiga kali. Siapa sangka pebisnis yang memulai kiprahnya pada 1972 itu kemudian mendirikan perusahaan energi multinasional yang nilainya dalam tiga dekade melampaui US$ 1 miliar dan kini asetnya bahkan sudah bernilai lebih dari US$ 6 miliar. Majalah Forbes pernah mencatat pendiri PT Medco Tbk ini pada peringkat kesembilan orang Indonesia terkaya 2006 dengan nilai bersih US$ 815 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Supertajir, kata anak muda saat ini.
Namun menjadi juara tajir bukanlah tujuan hidup pengusaha yang wafat di Mayo Clinic, Amerika Serikat, Senin, 27 Februari lalu, ini. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini lebih dikenal sebagai aktivis dan motor penggerak berbagai perubahan besar di Indonesia. Peran ini tak hanya memerlukan sumber daya finansial, tapi juga visi, kepercayaan masyarakat, dan—yang paling penting—nyali.
Perihal ini, Erros Djarot punya kisah menarik. Awal 1998, seniman yang dekat dengan Megawati ini bertamu ke kediaman Arifin di Jeruk Purut, Jakarta, untuk meminta bantuan menggalang perjuangan melawan rezim Orde Baru. Arifin menyatakan ingin terlibat. Ini jelas kegiatan yang amat berisiko saat itu hingga Erros menanyakan apakah Arifin sudah mempertimbangkan konsekuensi pilihan politiknya itu, yang tak hanya dapat menghilangkan harta, tapi juga nyawa.
Arifin, yang sempat menjadi penerjun payung Aves saat muda, menjawab pertanyaan ini dengan memanggil istri dan kedua anaknya. Ketika mereka muncul, ia mengatakan, “Silakan Mas Erros tanyakan langsung kepada mereka, apa mereka sudah siap dan rela melepas saya untuk ikut berjuang melawan rezim Orde Baru?”
Perjamuan ini berlanjut dengan pertemuan Arifin dan Megawati yang saat itu menjadi sosok utama penantang rezim Soeharto dan menjadi penanda masuknya pengusaha yang dibesarkan di era Orde Baru ini ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ini menjadi kiprahnya yang kedua dalam aksi menjatuhkan pemerintahan karena sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung ia pun terlibat melawan Orde Lama, yang dipimpin Presiden Sukarno, yang juga ayah Megawati.
Ini pun ternyata bukan kiprahnya yang terakhir.
Pada suatu Senin subuh 2001, Ketua Fraksi PDIP di Dewan Perwakilan Rakyat ini bersama rekan-rekannya memasuki gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengadakan sidang istimewa yang berujung pada pemakzulan Presiden Abdurrahman Wahid, yang sempat menjadi teman seperjuangannya mendukung Forum Demokrasi, lembaga yang didirikan Gus Dur dan teman-teman intelektualnya sebagai wahana mengkritik rezim Orde Baru yang dianggap sektarian dan melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Ia aktif menggulingkan Gus Dur yang ia nilai melanggar prinsip demokrasi ketika mengeluarkan dekret yang, antara lain, membekukan DPR dan MPR. Ia terlibat dalam aksi menjatuhkan Sukarno karena percaya Orde Lama telah melanggar demokrasi Pancasila. Ia mendukung penuh gerakan reformasi karena berkeyakinan Soeharto mengkhianati semangat kelahiran Orde Baru dengan mengedepankan politik primordialisme dan mewabahnya virus korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Itu sebabnya di masa awal reformasi Arifin banyak mendukung berbagai organisasi masyarakat sipil dalam upaya memberantas korupsi. Andi Sahrandi, salah satu sahabatnya, menjadi ujung tombak kegiatan ini dan menjadikan salah satu rumahnya sebagai markas dengan julukan Posko Jenggala, mengambil nama jalan lokasi gedung di Jakarta Selatan itu. Rumah ini juga jadi tempat berkumpulnya politikus pendukung reformasi dari berbagai partai yang umumnya masih muda.
Generasi muda memang selalu mendapatkan perhatian khusus Arifin. Wartawan senior Andy F. Noya merasakannya saat menawari Arifin ikut membantu melahirkan program Eagle Award untuk memicu anak muda di seluruh Nusantara mendokumentasikan sejarah bangsa yang sedang berlangsung di lingkungannya. Arifin langsung setuju bahkan bersedia mendanai sepenuhnya kendati biayanya cukup besar. Program inovatif dan bermutu yang lahir pada 2005 ini masih bertahan hingga sekarang dan telah melahirkan ribuan produser dokumenter muda berbakat.
Hal yang sama dialami Anies Baswedan yang sebagai rektor Universitas Paramadina sedang mencari gedung untuk program pascasarjana dan ingin mengembangkan gagasan almarhum Profesor Koesnadi Hardjasoemantri, rektornya saat kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, untuk mengirimkan sarjana lulusan terbaik menjadi pengajar sekolah dasar di seluruh pelosok Indonesia. Ia bertemu Arifin di Bogor, Jawa Barat, saat sama-sama menjadi panelis di ASEAN Statesmen’s Forum, 2008. Anies menanyakan kemungkinan Arifin membantu meminjam-pakaikan satu lantai Gedung Energi miliknya di Jalan Sudirman, Jakarta, menjadi tempat kuliah.
Arifin bukan hanya setuju dengan permintaan Anies, bahkan ikut membesarkan program Indonesia Mengajar. Program yang dimulai pada 2009 ini telah menghasilkan lebih dari seribu alumnus dan menyentuh ribuan murid SD di 33 kabupaten.
Ribuan anak lain, menurut Yon Moeis, mendapat kesempatan mengembangkan kemampuan bermain sepak bolanya berkat sentuhan Arifin. Wartawan senior olahraga ini memantau kegiatan Arifin saat merayu pemain bola nasional Ronny Pattinasarany untuk mengadakan Liga Medco bagi pemain berusia maksimum 15 tahun. Liga yang sempat bergulir selama empat tahun sejak 2006 ini diperkirakan memerlukan dana sekitar Rp 2 miliar setiap putaran dan menghasilkan 3.000-an “pemain jadi” yang sebagian di antaranya menjadi pemain tingkat nasional, bahkan internasional.
Kecintaan pria asal Gorontalo ini pada dunia sepak bola nasional ini juga yang membuatnya merasa perlu cawe-cawe membenahi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia yang di mata banyak pengamat telah menjadi ajang KKN dan rawan pengaturan skor bandar judi. Pada 2010, ia menggalang dukungan untuk mereformasi PSSI yang saat itu banyak menyedot dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dari 40 daerah saja diperkirakan Rp 2-3 triliun dana APBD dibelanjakan atas nama sepak bola setiap tahun, tapi dicurigai sebagian besar masuk kantong oknum pengurusnya.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng mendukung upaya reformasi PSSI. Arifin diminta memajukan Jenderal George Toisutta—Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat saat itu—menjadi calon Ketua Umum PSSI. Pengacara kondang Todung Mulya Lubis ditahbiskan menjadi Ketua Komisi Etik untuk membangun ekosistem sepak bola yang bersih dan sehat. Gerakan Reformasi Sepak Bola Nasional Seluruh Indonesia (GRSNI) pun digulirkan setelah penyelenggaraan Kongres Sepak Bola Nasional di Malang pada akhir Maret 2010 dan menghasilkan tujuh kesepakatan “Rekomendasi Malang”, tapi gagal membuat perubahan karena perlawanan kelompok status quo di PSSI.
Belajar dari pengalaman Australia yang berhasil mereformasi organisasi sepak bolanya pada 2005, GRSNI membuat Liga Primer Indonesia yang sempat beranggotakan 19 klub dan melakoni pertandingan perdana pada 8 Januari 2011 di Solo, Jawa Tengah. Namun kegiatan ini terhenti karena dukungan pemerintah anjlok menjelang pemilihan umum 2014 dan GRSNI gagal meraih dukungan Federasi Sepak Bola Internasional atau FIFA.
Arifin—yang dipanggil Mr Flexible oleh teman teman bisnisnya—diperkirakan telah mengeluarkan hampir Rp 3 triliun untuk membiayai upaya reformasi sepak bola nasional. Kendati kecewa, ia tak merasa gagal. Setidaknya gerakan reformasi berhasil memberhentikan pemakaian dana APBD. Arifin pun kembali berkonsentrasi pada bibit-bibit muda. Ia mendirikan Maleber Olympic Center di Desa Maleber (MOC), Ciherang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut. MOC diresmikan pada akhir 2014.
Mereka hanya segelintir dari benih-benih unggul bangsa Indonesia yang tersentuh perhatian dan perawatan Arifin, yang seharusnya berulang tahun ke-77 pada 14 Maret 2022. Jauh lebih banyak lagi bakat-bakat bangsa ini, di berbagai sektor kehidupan, yang dapat tumbuh dan berkembang antara lain berkat sentuhannya.
Bahkan majalah Tempo pun pernah merasakan bantuannya saat kantor pusatnya di Jalan Proklamasi diserbu massa pendukung Tomy Winata pada awal 2003. Ia berperan banyak dalam memastikan pihak Kepolisian RI memproses pemimpin massa secara hukum dan menggerakkan jaringan politiknya di DPR untuk mengawal kasus ini, kendati ia sebetulnya kerap juga menjadi sasaran pemberitaan kritis Tempo.
Selamat jalan, Kang Pipin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo