Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA tiba agak terlambat di Kedai Tempo, Utan Kayu, Jakarta Timur, siang itu. Air muka di balik berewok pirangnya yang cukup lebat tampak kecut. Semua ini di luar adatnya yang hampir selalu datang lebih awal, menunggu saya sambil ngopi dan mengisap cangklong kayu pangkal akar melati. Wajahnya pun biasanya semringah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seminggu sekali, dari tengah hari hingga petang, kami bertemu di sana, bekerja sambil ngopi. Sudah sejak sekitar akhir 1997 (saya baru hijrah dari penerbit Pustaka Utama Grafiti yang tumbang karena krisis ekonomi ke jurnal Kalam, Teater Utan Kayu, di area kompleks yang sama), ia mengajak saya bersamanya mengedit naskah terjemahan buku dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia untuk diterbitkan. Kebanyakan berupa karya ilmiah yang penting, terutama buat generasi muda agar melek sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Maaf, sedikit terlambat. Tadi saya mampir dulu ke Arsip Nasional,” katanya. Terasa sekali kegusaran dia dari nada bicaranya. Sebelum kami mulai bekerja, cepat ia menuturkan pengalamannya yang baru saja, masih dengan perasaan amat masygul.
Tapi orang waras mana yang tidak akan terusik oleh vandalisme seperti berikut ini?
Beberapa waktu sebelumnya, ia menyerahkan kertas berisi goresan tangan Bung Karno yang dibuat dari balik jeruji penjara Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Saya tidak sempat menanyakan apa isi tulisan itu—barangkali semacam pesan untuk pemerintah kolonial Belanda atau buat rakyat Indonesia—dan kepada petugas siapa ia menyerahkannya. Untuk suatu keperluan, dia hendak "meminjam" manuskrip yang ia titipkan tadi. Tapi apa mau dikata, benda bernilai sejarah itu ternyata sudah raib tak tentu rimbanya!
Setelah tidak lagi bekerja bersama beberapa tahun kemudian, kami menempuh jalan berbeda. Maka tak saya ketahui lagi perkembangan kabar peristiwa itu sampai sang penitip manuskrip tadi, Jaap Erkelens, berpulang pada Sabtu, 30 September lalu, di Hilversum, Belanda, di usia 84 tahun. Yang masih saya ingat adalah kecintaan dia yang luar biasa kepada sejarah. Dan kecintaannya ini "kebetulan" sejalan dengan misi lembaga tempat ia bekerja: KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, lembaga Kerajaan Belanda di bidang sejarah, bahasa, dan budaya).
Didirikan pada 1851 dan berkantor pusat di Leiden, Belanda, institut ini bertujuan memajukan studi ilmu bahasa, budaya, dan sejarah di wilayah Asia Tenggara, kawasan Pasifik, Karibia, dan sekitarnya.
Perwakilan KITLV di Jakarta dibentuk pada 1969 sebagai wadah kerja sama dalam bidang keilmuan antara Republik Indonesia dan negeri Belanda. Jaap Erkelens bisa dibilang sosok yang paling lama mengepalai institut itu. Ia berkiprah di sana sejak 1977 hingga pensiun pada 2003.
Di bawah sosok pria yang lahir di Waikabubak, Sumba, Nusa Tenggara Timur, 1 Desember 1939, itulah KITLV-Jakarta menyuguhkan kepada kita penerbitan banyak karya ilmiah sarjana Belanda dalam bahasa Indonesia. Publisitas itu digarap melalui kerja sama dengan lembaga lain, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau Lembaga Javanologi. Dan buku-buku itu kemudian ditangani oleh sejumlah penerbit swasta.
Kita ingat, misalnya, seri Javanologi kajian H.J. de Graaf (dan T.H. Pigeaud) terbitan Pustaka Utama Grafiti (tempat saya bekerja sebagai editor masa itu) yang merekonstruksi sejarah Jawa sejak periode awal kerajaan Islam di Jawa hingga awal, puncak, dan runtuhnya kekuasaan Mataram. Kerja menyunting bareng paling berkesan bagi saya adalah ketika Erkelens meminta saya mendampingi dia (tentu saja ia, sekalipun fasih berbahasa Indonesia, berasumsi saya lebih menguasai bahasa Indonesia dan dia sendiri menguasai bahasa Belanda) merombak total naskah buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI, baik dari segi bahasa terjemahan yang rupanya ngawur maupun penyajian (terbit sebagai cetakan keempat, 2001). Naskah buku ini sampai dua kali kami corat-coret.
Atau ini, Raja dan Kerajaan yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, Enam Tulisan Terpilih (Djambatan, 1987). A.B. Lapian merefleksikan kajian G.J. Resink yang jernih itu dengan bagus, begini: "...agak sukar ditelan adanya suatu Hindia Belanda yang meliputi seluruh wilayah kepulauan Indonesia yang dikuasai selama tiga setengah abad oleh sekelompok orang Belanda yang mewakili suatu bangsa yang tergolong di antara yang terkecil di Eropa."
Di tengah simpang-siur perbantahan yang belakangan mengemuka kembali mengenai "Belanda menjajah Indonesia sampai selama 350 tahun", kajian Resink yang dihadirkan KITLV-Jakarta sudah berpuluh tahun silam itu tidak bisa tidak menjadi penting. Apalagi tampaknya perbantahan tersebut cenderung membuat orang makin bingung.
Pada hari-hari gelombang protes makin gencar mengguncang Soeharto, Jaap Erkelens rajin berkeliling kota ditemani sopir kantornya, terkadang menenteng kamera. Ia mengumpulkan aneka macam barang atau atribut yang menandai sebuah pergerakan, berupa buku, pamflet, selebaran, bahkan spanduk, poster, ataupun kaus. Barang-barang itu tidak sedikit yang ia peroleh secara cuma-cuma, karena dianggap sebentar lagi menjelma menjadi sampah belaka. Tapi ada juga yang ia dapatkan lewat transaksi jual-beli. Semua barang yang ia himpun itu—sesuatu yang kelak menjadi saksi sebuah ikhtiar menggulingkan rezim otoriter Orde Baru—kemudian ia kirim ke kantor pusatnya di Belanda.
Aksi Erkelens itu boleh jadi mengingatkan kita akan benda-benda (yang kini dipandang) bernilai sejarah yang diboyong pemerintah kolonial ke Belanda. Betapa banyak pernak-pernik, termasuk perhiasan serta alat musik, belum lagi ratusan manuskrip kuno, dari sekian kerajaan dan daerah di sekujur Nusantara terpajang di beberapa tempat di Belanda, seperti di Universiteit Leiden atau Tropenmuseum di Amsterdam.
Saya pikir penyandingan di atas tidak tepat benar. Setidaknya bagi saya, Jaap Erkelens mewariskan bukan hanya benda-benda (buku atau atribut aksi demo 1998). Lebih penting dari semua itu adalah sebuah teladan mengenai kesungguhan dan sikap ikhlas dalam merawat masa silam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berpulangnya Sang Perawat Sejarah"