Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH menempuh penerbangan selama sekitar 18 jam dari Jakarta, sempat singgah di Dubai, Uni Emirat Arab, Raphael Wregas Bhanuteja akhirnya tiba di Toronto, Kanada, Kamis, 7 September lalu. Saat itu Wregas akan menghadiri penayangan perdana film terbaru besutannya, Budi Pekerti, di Toronto International Film Festival (TIFF) 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Pekerti, film panjang kedua Wregas, masuk program Discovery TIFF. Program itu secara khusus memperkenalkan karya pertama dan kedua sutradara dari berbagai negara. Di festival tahun ini, program Discovery menampilkan 26 film dari 25 negara, termasuk Budi Pekerti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budi Pekerti tayang pertama kali di bioskop Scotiabank 10 dalam sesi World Premiere, Sabtu, 9 September lalu. Seusai pemutaran, Wregas memperkenalkan para pemain Budi Pekerti yang saat itu ikut hadir di Toronto, yakni Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, dan Prilly Latuconsina. “Yang cukup bikin surprise saya, selesai nonton, banyak yang datangin dan merasa terharu,” kata Wregas ketika berbincang dengan Tempo di Rekata Studio, Jakarta Selatan, Rabu, 4 Oktober lalu.
Wregas Bhanuteja (kedua kiri) bersama para pemain film Budi Pekerti, dari kiri, Sha Ine Febriyanti, Prilly Latuconsina, dan Dwi Sasono di Toronto, Kanada. Instagram @wregas_bhanuteja
Berlatar Kota Yogyakarta pada masa pandemi Covid-19, Budi Pekerti berkisah tentang Prani, guru bimbingan konseling yang mengalami perundungan habis-habisan oleh warganet setelah video perselisihannya dengan pengunjung pasar viral di media sosial. Bahkan warganet turut mencari-cari kesalahannya sehingga dia terancam kehilangan pekerjaannya.
Wregas mengungkapkan, film panjang keduanya itu terinspirasi guru bimbingan konselingnya semasa dia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Saat itu sang guru banyak memberikan pelajaran kepada Wregas agar berpikir obyektif. Wregas sangat menghormati gurunya tersebut.
Belakangan, Wregas mengamati banyak perundungan yang menyasar guru bimbingan konseling yang menjalankan tugasnya. Hal itu banyak ia jumpai di media sosial yang menampilkan berita protes orang tua murid. Contohnya guru yang memotong rambut siswa yang sudah panjang atau menindak pelanggaran aturan seragam sekolah. “Saya ingin mempertanyakan apakah fungsi pendidikan sekarang membuat lebih baik atau membiarkan manusia dengan pelanggarannya,” ucap Wregas.
Film Budi Pekerti digarap mulai Agustus 2022 dengan pembacaan naskah bersama para pemain. Sekitar tiga bulan kemudian, Wregas memulai tahap syuting. Semua lokasi syuting berada di Daerah Istimewa Yogyakarta, dari Prawirotaman, Kota Yogyakarta; Bantul; hingga Gunungkidul. Total prosesnya memakan waktu 22 hari.
Sejak Desember 2022 hingga Januari 2023, tim Budi Pekerti mengerjakan proses offline editing. Tahap pemotongan dan perangkaian gambar hasil syuting menjadi satu jalinan cerita yang utuh itu belum termasuk proses pewarnaan dan mixing. Tahap berikutnya mengkomposisikan computer-generated imagery selama Maret-Mei 2023. Sebab, Wregas menggunakan green screen dalam syuting. “Pada Juni sudah proses pewarnaan di Thailand,” kata Wregas.
Dia memilih Thailand lantaran ada satu tempat pewarnaan yang cukup baik di sana. Setelah file film Budi Pekerti siap, Wregas langsung mendaftarkannya ke Toronto International Film Festival 2023. “Sebab, saat itu festival film internasional tersebut adalah agenda yang paling dekat,” ujar Wregas.
•••
WREGAS Bhanuteja, 30 tahun, adalah salah satu sutradara muda Indonesia yang berbakat dan potensial. Di awal perjalanan kariernya, ia dikenal sebagai sutradara yang produktif membuat film pendek. Beberapa di antaranya meraih penghargaan di dalam dan luar negeri. Misalnya Lemantun (2014) yang mendapat penghargaan Film Cerita Pendek Terpilih Piala Maya. Adapun Lembusura (2015) masuk daftar nomine di Hong Kong International Film Festival dan Berlin International Film Festival kategori Best Short Film.
Selain itu, film Prenjak (2016) meraih penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik di Festival Film Indonesia. Film ini juga menyabet penghargaan bergengsi kategori film pendek terbaik di Cannes Film Festival, Prancis, yang kemudian melejitkan nama Wregas. Tak Ada yang Gila di Kota Ini karyanya diganjar sebagai film pendek terbaik di Festival Film Indonesia 2019.
Adapun film panjang perdananya, Penyalin Cahaya, yang berkisah tentang perempuan mahasiswa yang berusaha mencari keadilan atas peristiwa kekerasan seksual yang menimpanya, memenangi Piala Citra kategori Sutradara Terbaik dan Penulis Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia 2021. Penyalin Cahaya juga meraih penghargaan Piala Maya kategori Penyutradaraan Berbakat Karya Film Panjang Perdana Terpilih.
Wregas Bhanuteja saat pemotretan sebagai Sutradara Pilihan dan Skenario Pilihan dalam film "Penyalin Cahaya" di ajang Festival Film Tempo 2021 di kantor redaksi Tempo, Jakarta, 14 Desember 2021. Tempo/M. Taufan Rengganis
Lahir pada 20 Oktober 1992, Wregas kecil akrab dengan film bertema superhero seperti Spider-Man dan X-Men. Saat duduk di kelas VI sekolah dasar, ia menonton film Hero karya Zhang Yimou dari cakram DVD yang disewa ayahnya. Ia begitu terkesan melihat film tentang sejarah bangsa Cina yang mengisahkan seorang pahlawan yang berhasil mengalahkan lawan-lawan raja tersebut. “Film itu menyuguhkan cerita dari empat sudut pandang berbeda. Untuk pertama kalinya saya menonton film dengan eksplorasi yang begitu kompleks,” katanya.
Sejak saat itu, Wregas bercita-cita membuat film bertema perang dan kepahlawanan. Dalam benaknya sudah terlintas sosok Gajah Mada dan Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit sebagai tokoh utama.
Saat Wregas bersekolah di SMP Stella Duce 1, Yogyakarta, guru bimbingan konseling menyarankan dia mengikuti kompetisi film antarkelas dalam perayaan Hari Kemerdekaan RI. Dengan peralatan seadanya, ia dan teman-temannya kemudian menggarap film yang bercerita tentang bendahara kelas yang mengkorupsi uang kas.
Dalam film berdurasi 60 menit itu, Wregas menjadi pemeran utama. Selama penggarapan film, ia sering memprotes temannya yang menjadi sutradara. Ia tidak sepakat dengan penyusunan dialog dan sudut pandang yang dipilih rekannya tersebut. “Lama-lama bete juga sutradara itu,” ujar Wregas, lalu tertawa.
Ketertarikan Wregas pada dunia film berlanjut ketika ia masuk Sekolah Menengah Atas Kolese De Britto, Yogyakarta. Sekolah itu baru membuka kegiatan ekstrakurikuler film dua tahun sebelum dia masuk. Saat itu sutradara Yosep Anggi Noen sempat mengajar di sana. Namun, ketika Wregas mengikuti kegiatan ekstrakurikuler itu, Anggi Noen sudah keluar dan digantikan oleh Bayu Prihantoro Filemon, yang ikut terlibat dalam film Istirahatlah Kata-Kata. “Nah, dialah yang mengajarkan film kepada saya,” tuturnya.
Dari Bayu Prihantoro, Wregas banyak belajar mengenai seluk-beluk pembuatan film, dari membuat naskah, menggunakan kamera, hingga mengedit gambar. Sejak saat itu, Wregas rutin membawa handycam ke mana saja.
Menjelang lulus SMA, Wregas mengutarakan minatnya menempuh studi film di Institut Kesenian Jakarta kepada ibunya. Namun sang ibu tidak berkenan dan meminta Wregas membatalkan niatnya kuliah perfilman.
Wregas tak menyerah. Keinginannya mempelajari film di kampus terus menggebu. Ia kemudian memberikan bukti dengan membuat film sebanyak-banyaknya agar mendapat restu dari ibunya. Dia antara lain menggarap film berjudul Muffler. Film pendek tersebut meraih penghargaan di Festival Film Tawuran yang digelar Yayasan Konfiden di Jakarta pada 2009. “Lihat perjuangan aku ke Jakarta, akhirnya ibuku luluh juga,” ucapnya.
Pada 2010, Wregas masuk Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta dengan konsentrasi penyutradaraan. Semasa kuliah, ia sempat magang menjadi asisten sutradara Riri Riza yang saat itu sedang menggarap Sokola Rimba (2013). Film tersebut berkisah tentang sosok Butet Manurung, perintis sekolah bagi anak-anak suku pedalaman di Jambi. Riri Riza juga menjadi pembimbing Wregas ketika menggarap film pendek Lemantun yang menjadi tugas akhir kuliahnya.
•••
LULUS kuliah, Wregas Bhanuteja banyak menggarap film pendek. Menurut dia, penggarapan film pendek dan film panjang memiliki cara pandang yang berbeda. Film pendek mempunyai formula yang simpel. Film bisa dimulai dengan menghadirkan konflik tanpa perkenalan. “Setelah itu, para aktor akan membereskan konflik yang ada dalam cerita sampai menuju klimaks,” kata Wregas.
Adapun penggarapan film panjang harus dimulai dengan pengenalan dan berlanjut pada penceritaan di bagian tengah. Bagian terberat yang harus Wregas hadapi adalah menjaga penonton agar tidak bosan. “Jadi saya harus buat magic-nya, entah musik entah paduan dialognya. Jadi penonton tidak lepas. Nah, itu pekerjaan rumah yang sampai sekarang saya masih pelajari,” ujarnya.
Dalam penyutradaraan, Wregas banyak belajar kepada tiga sutradara yang menjadi rujukannya, yakni Yorgos Lanthimos asal Yunani, Asghar Farhadi (Iran), dan Xavier Dolan (Kanada). Dalam karya-karya Lanthimos, seperti Dogtooth (2009), The Lobster (2015), dan Poor Things (2023), Wregas begitu terkesan pada absurditas yang ditawarkan.
Ihwal karya Farhadi, Wregas mengaku menyukai penulisan skenarionya. Lewat film A Separation (2011), The Salesman (2016), Everybody Knows (2018), dan A Hero (2021), ia banyak belajar tentang menjaga keketatan naskah, yang tidak memberi jeda penonton untuk mengambil napas. “Asghar begitu ketat dan intens dalam menulis skenario,” tuturnya.
Dalam hal gaya dan sinematografi, Wregas begitu terkesan melihat karya-karya Dolan. Menurut dia, Laurence Anyways (2012), I Killed My Mother (2009), dan Mommy (2014) adalah beberapa film garapan Dolan yang tidak statis dan minim pada wilayah sinematografi. “Jadi tiga itu yang membentukku seperti sekarang. Yorgos, Asghar, dan Dolan,” ucap Wregas.
Tak hanya mempelajari karya tiga sutradara itu, Wregas juga menjadikan acara festival film internasional untuk meluaskan wawasan dan memupuk ilmunya di dunia perfilman. Melalui festival film internasional, ia banyak menemukan jejaring untuk menambah ilmu ataupun memasarkan filmnya di luar negeri.
Sutradara dan Penulis Skenario film, Wregas Bhanuteja, di Rekata Studio, Kebayoran Baru, Jakarta, 4 Oktober 2023. Tempo/Febri Angga Palguna
“Saya merasa festival harus menjadi tempat pertama karena membuka peluang film kita tidak hanya ditayangkan di Indonesia,” ujar Wregas. “Ketika film ditayangkan di luar negeri, kan pemasukan juga nambah.”
Festival film internasional juga mempertemukan Wregas dengan sineas lain dari berbagai negara. Misalnya ketika film Penyalin Cahaya tayang perdana di Busan International Film Festival 2021. Di sana ia berjumpa dengan sutradara Korea Selatan, Bong Hoon-jo, yang film besutannya, Parasite, memenangi Oscar. Lewat pertemuan seperti itu, Wregas banyak belajar dan mendapat wawasan dari para sineas mancanegara.
Dalam kiprahnya sebagai sutradara sekaligus penulis naskah saat ini, Wregas mempunyai target: satu produksi film dalam setahun. Dengan target itu, ia berharap bisa lebih berfokus menggarap sebuah film. Ia tak mau kehilangan konsentrasi lantaran harus membuat banyak film dalam rentang satu tahun. “Saya sudah mengukur load kerja-kerja saya, dan yang paling sesuai setahun satu film,” tuturnya.
Wregas melihat dalam ekosistem industri film di Tanah Air masih terdapat kekurangan sumber daya manusia di beberapa aspek. Ketika produksi film berlangsung, ia kerap mendapati masalah rangkap pekerjaan. “Masih ada monopoli untuk pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan awak film."
Karena itu, menurut Wregas, sistem regenerasi di dunia perfilman harus mulai diterapkan kepada semua kru film. “Tidak ada lagi monopoli kru film dengan men-double pekerjaan,” katanya.
Wregas juga menyoroti jam kerja yang masih berlebih dalam penggarapan film di Indonesia. Awak film bisa bekerja sampai 16 jam dengan waktu istirahat yang minim. Ia mengungkapkan, jam kerja di Hollywood saja hanya 10 jam.
“Apabila waktu kerja molor, para awak film akan mendapat tambahan bayaran,” ujarnya. “Solusi lain adalah pengerjaan film yang belum selesai harus dilanjutkan pada hari berikutnya.”
Selain itu, Wregas menambahkan, ekosistem industri film Indonesia harus mulai mengukur rasio tampil di festival internasional. “Intensitas film Indonesia yang tampil di festival berskala internasional perlu dijaga konsistensinya. Saya rasa kita perlu memikirkan strategi untuk hal itu,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Napas Panjang Penyalin Cahaya"