Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mohamad Sunjaya memilih teater sebagai dunia sekaligus jalan hidupnya.
Sunjaya menjejak akting panggung sejak SMA di Bandung.
Pak Yon--panggilan akrab Sunjaya--mendirikan perkumpulan teater Actors Unlimited pada 1999 bersama beberapa kawan.
AKTOR Mohamad Sunjaya Bratasuganda (lahir dan wafat di Bandung, 28 Agustus 1937-13 Februari 2020) telah memilih dunia akting panggung (teater) sebagai dunia sekaligus jalan hidupnya. Dunia yang terjal dan tidak mudah, penuh tantangan serta harapan kontra-keputusasaan, dan jauh dari materi duniawi. Konsistensi dan totalitas adalah pembuktian sejati sekaligus legacy utama Pak Yon—demikian saya memanggil Sunjaya—untuk dunia teater, dan itulah nilai sesungguhnya dari eksistensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aku keluar, menjemput badai, kau ke dalam kamar, mencari damai. Itulah larik puisi Pak Yon yang paling mewakili eksistensinya. Sementara kebanyakan orang mencari ketenteraman dan kebahagiaan dalam gelimang materi dan pelukan hangat anak-istri, Pak Yon menghambur keluar menantang segala badai lantaran menolak kehidupan yang mudah dan serba terberi. Makin jauh aku, dari membuang sauh. Begitulah larik puisinya yang lain dalam kumpulan puisinya, Sketsa-sketsa yang Tersisa (1966-2008). “Teater itu jihad, lakoni sepenuh hati sampai mati, atau tidak sama sekali!” Dia adalah amor fati sejati (cinta terhadap takdir—istilah Nietzsche) yang setiap saat sanggup berkata “ya” pada sengkarut kehidupan yang terjal, dramatis, dan tak mudah ditaklukkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia jenis orang yang merelakan barang apa pun yang dipunyai demi dunianya. Lebih baik tidak makan kalau anak-anak teater di kelompoknya tidak makan. “Pergilah ke warung, ini uangnya, makan yang kenyang, baru ikut latihan!” dia membentak seorang kawan yang ikut berlatih tapi tampak lemas dan tidak berfokus. Pak Yon memang figur yang mudah murung dan marah, terutama saat menyaksikan beragam kesenjangan dan ketimpangan. Sebuah gaya kemarahan yang serupa dengan makna semiotis larik “air yang marah” dalam sajak “A Poison Tree” milik William Blake, kemarahan yang bersifat merawat dan menumbuhkan, seperti marahnya air kepada tanaman, bukan kemarahan yang malah membakar hangus.
Suatu kali, botol bir hancur dibantingnya lantaran menurut dia latihan tidak terfokus, tidak total, dan membuang waktu. Lalu seorang perempuan meneleponnya. Berubahlah wajah Pak Yon menjadi ceria dan malu. Langsung dia menelepon restoran langganannya, dan datanglah makanan-makanan enak dalam jumlah banyak, lengkap dengan satu krat bir. Amarah yang pongah berubah menjadi pesta-pora dan gelak tawa.
Kendati pernah “menghilang”, aktor eksentrik ini “tak pernah pindah ke lain hati”. Hanya dunia akting panggung yang menjadi fokus kesejatian hidupnya. Ketika membaktikan diri sebagai penyiar musik klasik di radio, Pak Yon, dengan gayanya yang khas dan penguasaan materi musik klasik yang mumpuni, sesungguhnya sedang menerapkan prinsip akting yang sangat dikuasainya. Siarannya bisa dinikmati menyerupai diksi “drama” monolog radio. Unik dan tak tergantikan.
“Real life acting” Pak Yon juga menggetarkan hati. Kala itu, di sela-sela pembukaan pameran instalasi Sunaryo, Pak Yon, yang baru saja mendeklamasikan puisi, tiba-tiba rebah, kejang-kejang dengan napas mega-megap. Tentu saja Sunaryo panik berat dan meminta orang memanggil ambulans. Di tengah kepanikan yang memuncak, dengan santai Pak Yon bangkit dan tertawa. “Selamat berpameran, Mas Naryo. Tertipu, ya?” katanya. Suasana meledak dalam tawa. Sunaryo pun tampak lemas.
Di tengah produksi Syekh Siti Jenar (2005) yang terancam gagal lantaran ketiadaan dana, “Kita harus menemui Mas Goen. Saya mau menyampaikan sesuatu,” ujar Pak Yon. Saat di Utan Kayu, Pak Yon bilang, “Mas Goen, garapan Jenar kita terancam mati, publikasi sudah berjalan, padahal diri saya ini sudah setengahnya menjadi si Jenar itu.” Goenawan Mohamad, yang notabene salah satu anggota dewan patron kelompok teater kami, langsung terkesiap dan meminta seseorang mengambilkan “sesuatu” di dinding kantornya yang harus dibungkus rapi. Lalu sebuah bungkusan persegi berukuran sedang diserahkan dengan tulus oleh Mas Goen kepada Pak Yon. “Kang Yon, mohon maaf, saya belum memberi apa-apa. Bawalah ini.”
Ketika dibuka di Bandung, ternyata isi bungkusan itu lukisan Djoko Pekik. Alhamdulillah, produksi Jenar naik pentas dan Pak Yon menyelam ke kedalaman yang tak terduga sebagai Syekh Siti Jenar yang membuat semua orang merasa merinding. Bahkan Gus Dur mencantumkan namanya sebagai penasihat. Salahkah embun kalau mengaku diri Samudera? Salahkah rebung kalau mengaku diri Bambu? Salahkah Jenar kalau mengaku diri Tuhan? Begitulah cuplikan dialog Syekh Siti Jenar karya Saini K.M.
Pak Yon menjejak akting panggung sejak duduk di Sekolah Menengah Atas A Bandung (kini SMA Negeri 1). Drama pertama yang dimainkannya adalah Di Langit Ada Bintang karya Utuy Tatang Sontani pada 1956 dengan sutradara Noor Asmara. Saat berdiri Studiklub Teater Bandung (STB) pada 1958, Pak Yon hanya sempat bergabung pada dekade-dekade awal. Lebih dari satu dekade berikutnya, Pak Yon berada dalam rentang “pencarian dan pengukuhan jati diri” dan harus berhasil keluar dari krisis psikologisnya sebagai anak muda.
Dia jenis orang yang merelakan barang apa pun yang dipunyai demi dunianya. Lebih baik tidak makan kalau anak-anak teater di kelompoknya tidak makan. “Pergilah ke warung, ini uangnya, makan yang kenyang, baru ikut latihan!” dia membentak seorang kawan yang ikut berlatih tapi tampak lemas dan tidak berfokus
Pak Yon kembali ke STB dan dunia akting panggung melalui pertunjukan Karina Adinda (1993), Julius Caesar (1997), dan Perang Troya Tidak Akan Meletus (2000). Ketiganya disutradarai Suyatna Anirun (almarhum). Dalam Karina Adinda, Pak Yon berperan sebagai Van Elten, seorang administrateur kebun tebu Belanda. Dalam Julius Caesar, dia tampil dengan gaya “staccato”-nya yang memukau sebagai Julius Caesar, sementara dalam Perang Troya Tidak Akan Meletus ia berperan sebagai Priamos, raja Troya. Pada 1996, ia tampil sebagai Ephraim Cabot dalam Nafsu di Bawah Pohon Elm dengan lawan main Jajang C. Noer, produksi Teater Alibi dengan sutradara Irwan Guntari.
Perkumpulan teater lain yang identik dengan keaktoran Pak Yon adalah Actors Unlimited, yang ia dirikan pada 1999 bersama beberapa kawan, termasuk Sonny Soeng. Dari sekitar 20 judul pertunjukan yang ditampilkan kelompok ini pada 1999-2011, Pak Yon hampir selalu tampil menjadi pemeran utama. Yang paling membanggakan Pak Yon antara lain Senja dengan Dua Kematian (2000), sebagai Kardiman; Pangeran Sunten Jaya (2000), sebagai Prabu Siliwangi; Musuh Masyarakat (2003), sebagai Wali Kota Peter Stockmann; Syekh Siti Jenar (2005), sebagai Syekh Siti Jenar; Pembunuhan di Katedral (2006), sebagai Uskup Agung Thomas Beckett; atau Yang Berdiam dalam Marahnya Sunyi (2010), sebagai ayah tua yang buta tapi melihat segala. Pada 2004, ia tampil untuk Teater Populer dengan sutradara Slamet Rahardjo dalam Pakaian dan Kepalsuan. Ia tampil satu panggung dengan Niniek L. Karim.
Pada usia 77 tahun, Pak Yon sanggup tampil dalam dua pementasan NEO Theatre. Ia menjadi Brahma dalam dramatic reading Kali (2013), libreto karya Goenawan Mohamad. Lalu ia berperan sebagai Teiresias, manusia agung penghubung langit dan bumi, kendati harus berkursi roda, dalam Oedipus (2014) karya Andre Gide produksi Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, bekerja sama dengan NEO Theatre. Itulah peran pamungkas yang dalam keterbatasan kondisi fisik masih bisa dimainkan Pak Yon dengan brilian. Menakjubkan, pada usia sesepuh itu, Pak Yon masih cemerlang memainkan round character sekaliber Teiresias Agung.
Suatu senja, sekelompok seniman musikalisasi puisi dari sebuah kampung tampil di Bandung. Tatkala lagu Kematian dimainkan, Pak Yon terdiam dan gemetar. Ia meminta lagu itu diulang hingga tiga kali, terutama pada lirik biarlah sebatas musim, bersama hidupku, relakan kepergian, meski ada kepedihan/Aku tinggal batu nisan.
Saya ingat kata-kata terakhir Pak Yon saat terbaring lemah—empat hari menjelang kepergiannya. Kata-kata itu harus diulang tiga kali agar bisa sampai ke telinga saya: “Saya ingin tinggal di rumah dengan tiang-tiang yang besar dan tinggi.” Sungguh aktor teater sejati, menjelang nyawa meninggalkan badan masih sempat membayangkan alam kematian sebagai dunia teater. Selamat jalan, Penjemput Badai! Yang datang pasti berpulang. Seperti dialogmu dalam Jenar: "Berbahagialah orang yang mati… Ibarat buih yang kembali ke Samudera."
Fathul A. Husein, Sutradara Teater, Dosen Jurusan Teater Institut Seni Budaya Indonesia Bandung dan Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo