Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyair Sitor Situmorang menjadi wacana diskusi dan pameran tentang sosok sastrawan yang hidup berpindah-pindah itu. Pameran arsip 100 tahun Sitor, itu dirayakan di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indra Logo Sutan Haborsahan Situmorang—anak keenam Sitor, menjelaskan bahwa pameran ini dikurasi oleh sejarawan JJ Rizal. "Karena dia orang yang paling kenal Bapak," kata pria yang akrab disapa Logo itu kepada Tempo, seusai diskusi, Rabu, 2 Oktober 2024.
JJ Rizal Anak Ideologis Sitor Situmorang
Logo bercerita, konsep pameran dirancang Rizal lantaran hampir 30 tahun akrab dengan Sitor. "Kalau wartawan atau orang tanya, saya terus bilang, saya anak Sitor secara biologis. Tapi Rizal anak ideologis Sitor Situmorang," ucap dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran ini menampilkan banyak kenangan mengenai sosok penyair yang lahir di Harianboho, Sumatera Utara, pada 2 Oktober 1924. Harianboho adalah satu desa di kaki Gunung Pusuk Buhit—suatu tempat yang dianggap keramat oleh orang Batak. Dia meninggal di Apeldoorn, Belanda, 21 Desember 2014.
Logo bercerita, kerap ditanya perihal sosok Sitor sebagai seorang ayah. Ia selalu menjawab bahwa ia bangga dengan Sitor yang dikenal luas sebagai penyair. Namun ia mengaku kehilangan Sitor sebagai sosok seorang ayah. Alasannya pada 1961 ia lahir, lima tahun berikutnya, Sitor menjadi buronan ketika pecah peristiwa 1965-1966.
Putra bungsu penyair Sitor Situmorang, Indra Logo Sutan Haborsahan Situmorang, 63 tahun, saat memberikan pesan dari istri kedua Sitor, Barbara Brouwer di Belanda, dalam pameran arsip 100 tahun Sitor di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 2 Oktober 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun
Penangkapan Sitor Situmorang Sebagai Tahanan Politik Orde Baru
Sitor ditangkap pada 1967 dan disiksa di Central Polisi Militer (CPM) Guntur. Ia ditahan di Penjara Salemba tanpa proses pengadilan. Sebagai tahanan politik ia dilarang menulis. Hanya boleh membaca kitab suci. "Bapak dipenjara sekitar 8 sampai 9 tahun. Setelah bebas ia banyak ke sana-sini sampai saya enggak ketemu-ketemu. Saya merasa kehilangan Sitor sebagai sosok ayah," kata dia.
Menurut Logo, situasi politik sempat mengubah perspektifnya tentang siapa Sitor. Dia baru sadar ketika duduk di bangku sekolah menengah atas. "Saya sempat punya persepsi salah pada zaman itu. Semua satu suara, salah satunya negatif semua. Saya masih di umur itu ikut terbawa suasana. Dari SMA hingga mau kuliah baru saya sadar, oh ada situasi yang harus kita cari tahu kebenarannya," tutur pria yang tinggal di Citayam, Bogor, Jawa Barat, itu.
Dalam pameran itu, tertulis Sitor dibebaskan dari Penjara Salemba 1975—dan menjalani wajib lapor seminggu sekali selama setahun. Istri dan keluarga dibebani mengawasinya selayaknya intel. Mereka dipaksa melaporkan kepada aparat jika ada kawan-kawan tahanan politik atau pengikut Sukarno datang menemui Sitor.
Pameran berjudul "Wajah Tak Bernama" itu menampilkan berbagai karya Sitor. Mulai dari buku yang pertama kali ia karang, hingga artikel esai tentang sastra, film, maupun teater, yang terbit di berbagai media massa. Lalu cerita perjalanannya sebagai pengembara di negara asing dan menutup usianya di Belanda.
Pameran juga Digelar di Prancis
"'Wajah Tak Bernama' yang menjadi judul pameran arsip ini menyarankan untuk melihat Sitor Situmorang di luar semua penamaan terhadap kepengarangannya selama ini," kata Rizal dalam tulisan pengantar pameran yang dipajang di dinding sebelum memasuki ruang diskusi. Judul pameran itu diambil dari buku kumpulan sajak ketiga milik Sitor, Wajah Tak Bernama terbitan 1956.
Pameran periode kepenyairan Sitor juga digelar di Prancis, yang dimulai kemarin, dipandu JJ Rizal. Di Prancis, acara pameran diisi dengan pemutaran film, diskusi, dan pembacaan puisi-puisi Sitor yang diterjemahkan dalam bahasa Prancis. Prancis menjadi kampung kedua bagi Sitor. Pada 1950, Sitor mendapat beasiswa dari Stichting Samenwerking (Sticusa) atau badan kerja sama kebudayaan Belanda.
Sastrawan sekaligus jurnalis itu menghabiskan dua tahun di Belanda dan satu tahun di Prancis, dan kembali ke Indonesia pada 1953. Setelah kepulangannya dari Eropa, namanya semakin berkibar di dunia perpuisian Indonesia, dan karya-karyanya semakin dikenal luas.
Adapun pameran di Indonesia akan berlangsung hingga 2 November 2024. Pameran ini dibuka pada Senin-Kamis, pukul 09.00-17.00 WIB; Jumat-Ahad dibuka pukul 09.00-20.00 WIB.