Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Kritik atas Keserakahan dalam Karya Arahmaiani

Pameran tunggal seniman asal Bandung, Arahmaiani, mengajak berefleksi tentang aktivitas manusia yang serakah dan menghancurkan.

8 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI luar galeri yang berdinding dan berpintu kaca, kita akan melihat sebuah sudut yang penuh tanda cinta, yakni gambar waru merah atau hati. Di sudut ruangan galeri, terdapat sebuah ranjang ukuran single berseprai putih bercorak gambar hati dengan sebuah Al-Quran di atas bantal. Ada meja kecil dan sebuah lampu tidur. Di bidang dinding samping sebuah foto jendela kaca dengan pemandangan luar tanaman pakis dan dua manusia di seberangnya, selembar bendera Amerika Serikat juga terpasang. Yang menarik, di sudut ruangan, terdapat lemari pendingin minuman botol bersoda dari Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bidang dinding di bagian atas bantal dihiasi empat foto dan kopian lembar buku harian bertulis tangan. Isinya catatan perjalanan seniman Arahmaiani pertama kali ke Kanada atas undangan Victoria University dengan didanai Ford Foundation. Ia sempat ditahan semalam oleh seorang petugas imigrasi setiba di Bandar Udara Los Angeles, Amerika. Ia dijaga seorang pria agak tambun bertampang mengantuk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia pun mengalami perlakuan diskriminatif. Pria itu bahkan menunggui di samping kamar hotelnya. Arahmaiani dijaga agar tidak melarikan diri. Ia menduga karena statusnya sebagai muslimah yang membuatnya diperlakukan seperti itu. Saat itu Amerika Serikat belum lama mendapat serangan terorisme dalam peristiwa 9/11. Ruangan ini seperti ruang unek-unek seniman yang lahir di Bandung tersebut. Prasangka buruk menjadi alasan melahirkan ketidaknyamanan hingga kebencian. Dokumentasi ini memperlihatkan perlakuan otoritas negara dan kritik terhadap pengawasan tindakan keamanan dan dampaknya terhadap kebebasan individu. Karya instalasi berjudul 11 Juni 2002 itu adalah karya lama Arahmaiani (2003) yang diperbarui.

Karya lama Arahmaiani, 11 Juni 2002, di ISA Art Gallery, Jakarta, September 2024. Tempo/Dian Yuliastuti

Karya ini mengisi ruang pameran bertajuk “The Wrath of Earth” (Keangkaramurkaan Bumi) di ISA Art Gallery, Jakarta Pusat. Pameran ini dihelat dari 3 Agustus hingga 20 September 2024. Ada pula beberapa karya lawas Arahmaiani yang bertema lingkungan, peperangan, dan kekerasan seperti pada karya Drawing 1998. Terdapat empat gambar dari arang di kertas, juga karya baru sesosok monster berpenis tengah berusaha menelan bumi dalam akrilik pada kertas berjudul Devour the Earth (2023).

Yang cukup unik pada pameran kali ini, Arahmaiani juga menghadirkan tiga karya lukisan pop untuk menyentil isu kapitalisme yang mengarah pada situasi dunia kacau-balau dengan dorongan keserakahan. Lihatlah tokoh tikus Mickey Mouse yang terjun bebas dari gedung pencakar langit Wall Street demi menyelamatkan sebuah kotak kado mungil berlambang dolar. Sementara itu, di kejauhan, sosok lain terjun dengan parasut.

Terdapat juga lukisan Mickey Mouse dengan baju bergambar bintang-bintang dan Minnie Mouse yang berbaju hitam dan bercadar tipis tengah berkencan di tengah padang pasir dengan sinar matahari yang terik. Di kejauhan, tampak menara penambang minyak. Karya berjudul Hot Date ini adalah karya lawas buatan 2008 yang mengingatkan hubungan Amerika Serikat dengan Arab Saudi pada masa itu. Hubungan hangat kedua negara ini kelak diwarnai kekerasan, terorisme, dan urusan senjata.

Ihwal hal ini, ada sebuah buku yang cukup kontroversial pada 2006, Thicker Than Oil: America’s Uneasy Partnership with Saudi Arabia, karya Rachel Bronson. Ia adalah peneliti senior dan direktur studi Timur Tengah di Council on Foreign Relations. Pemegang gelar PhD ilmu politik dari Columbia University itu mengungkapkan kemitraan Amerika Serikat dengan Arab Saudi yang begitu erat dan bagaimana kepentingan dua negara ini akhirnya menabur bibit radikalisme Islam. Kemitraan yang erat selama 55 tahun itu menjadi ujian setelah munculnya serangan terorisme 9/11 pada 2001.

Kejadian ini memicu peperangan yang membawa dampak luas di dunia, termasuk Indonesia. Lukisan pop art Arahmaiani juga terlihat pada karya Free Market yang sekilas terlihat lucu. Karya ini memperlihatkan beberapa tokoh pop atau kartun yang berkostum warna-warna bendera negara Barat. Mereka berjalan berombongan menuju sebuah arah: Pasar Bebas. Tak jauh dari rombongan ini, tokoh bebek berjas hitam dan berpeci membawa bendera merah-putih. Ia ikut menyusul di belakang. Tampak pula menara pendingin nuklir yang mengepulkan asap dan dua rudal tengah meluncur di atas mereka. Mereka seperti tak peduli terhadap apa yang akan terjadi. Puluhan ribu nyawa melayang dan banyak menimbulkan korban luka serta kelaparan dan kemiskinan.

Free Market.

Di tengah-tengah ruangan ada instalasi kedua yang juga menggunakan sebotol minuman bersoda. Bagian tutup hingga leher botolnya dibungkus kondom. Di atas sebuah meja marmer, terdapat lingkaran beras merah dan di tengah-tengahnya diletakkan tepung dan tanah. Karya ini berjudul Holly Toxic Cola. Sebuah karya yang sarat makna dan kritik terhadap neokapitalisme serta imperialisme Amerika di Indonesia dan negara-negara dunia ketiga. Sebotol soda, sebagai ikon produk kapitalisme dan konsumerisme, disimbolkan sebagai yoni. Botol ini berada di tengah lingkaran mandala dari tepung, tanah, dan beras merah. Pengunjung dibuat merenungkan persimpangan budaya konsumerisme dan spiritualisme.

Instalasi ini dikelilingi 15 karya lukisan monokrom berjudul Suara Alam Series yang bertema alam dengan bunga dan tetumbuhan. Dalam melukis, seniman yang peduli lingkungan ini juga mencipratkan tinta putih di sekujur lukisan guna menciptakan nuansa yang sendu. Lukisan pepohonan dan lukisan tanaman monokrom berikutnya juga menghiasi bidang dinding pamer. Karya monokrom Arahmaiani tak hanya ditampilkan dalam lukisan bertema tumbuhan, tapi juga pada lukisan yang memperlihatkan beberapa candi di kejauhan yang hening dan damai. Karya ini seperti menyuguhkan harapan hadirnya kedamaian, cinta, dan penghormatan.

Meski cukup banyak menampilkan karya baru dan lama dalam format monokrom, Arahmaiani juga menghadirkan beberapa lukisan yang penuh warna-warna cerah. Simbol lingga-yoni dengan beragam variasi warna selalu ia hadirkan dalam setiap pamerannya. Ini adalah simbol kesuburan dari sebuah tempat dalam narasi Hindu. Simbol ini biasanya terwujud di dekat candi-candi pemujaan. Lukisan berwarna cerah juga dihadirkan dalam karya dengan huruf-huruf pegon di kanvas. Simbol huruf ini menghadirkan keberagaman dan akulturasi budaya lokal dalam ekspresi yang kuat melalui karya berjudul Song of the Rainbow in Blue.

Dalam pameran ini, Arahmaiani kembali menyuarakan pesan untuk publik bahwa keserakahan manusia menimbulkan dampak yang besar terhadap alam. Arahmaiani dengan simbol-simbol dalam karyanya mengajak kita merenungkan serta merefleksikan peristiwa-peristiwa dan kesaling-silangan.

Dalam pengantar pameran, disampaikan bahwa keangkaraan ini melambangkan kemarahan alam semesta terhadap manusia karena telah menghancurkan hutan di seluruh dunia. Industrialisasi yang telah menyebabkan perubahan iklim dan kerusakan alam memunculkan berbagai penyakit menular. Tingkah polah manusia yang lahir dari benih keserakahan menciptakan kerusakan. Angkara murka pun merajalela.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kritik-kritik Arahmaiani"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus