Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Lukisan Garam di Tambak Lasem

Petani garam di Desa Dasun berkolaborasi dengan seniman Bekasi, Jawa Barat, membuat karya seni dari garam.

8 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para petani garam Desa Dasun bersama seniman Bekasi menggarap karya seni bermodalkan garam dari tambak mereka.

  • Kolaborasi ini menghasilkan tiga karya yang telah dinikmati publik, dari lukisan di tambak hingga lukisan di galeri dan museum.

  • Lukisan mereka digali dari persoalan kehidupan petani tambak dan budaya maritim.

TIGA petani garam tengah sibuk dengan puluhan karung berisi garam di pinggir tambak garam di tanah bengkok (tanah aset pemerintah untuk perangkat desa) Desa Dasun, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Suparlin, salah satu dari tiga petani tersebut, diberi tanggung jawab mengelola tambak garam seluas 1,4 hektare jatah Kepala Desa Dasun, Sujarwo Wirengsudro. Ahad siang, 1 September 2024, mereka selesai memanen garam dan akan segera mengangkut hasilnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa seluas 127 hektare ini berada di timur Kabupaten Rembang, berjarak hampir 15 kilometer dari ibu kota kabupaten. Lokasinya hanya 1,5 kilometer dari pinggir laut. Suparlin satu dari warga Dasun. Mata penghidupan desa dengan 1.050 penduduk itu umumnya pekerja di bidang pertanian, nelayan, serta petani garam sekaligus petambak ikan (bandeng dan udang).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tatkala kemarau seperti saat ini Suparlin dan petambak lain masih mengelola lahan tambak garam. Tapi, jika sudah masuk musim hujan, lahan garam difungsikan untuk memelihara ikan. Pemrosesan tanah bekas tambak ikan menjadi tambak garam butuh waktu satu setengah bulan. Biaya produksi yang dibutuhkan Rp 20-30 juta per hektare. Biasanya hal itu dilakukan dengan model kerja sama bagi hasil 50 : 50 antara pemilik lahan dan pemulia garam (sebutan bagi petani garam). Istilahnya adalah belah semangka atau biaya produksi ditanggung pemilik tambak dan pengerjaannya dilaksanakan pemulia garam.

Petani garam saat di tambak garam Desa Dasun di Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ach. Sholeh Syarifuddin

Setelah panen garam, hasilnya dibagi antara pemilik lahan dan pemulia garam. Biasanya, jika kemarau terik, proses terbentuknya garam lebih cepat, empat-lima hari sudah bisa dipanen. Satu hektare lahan biasanya menghasilkan 8-8,5 ton. “Biasanya garam cepat panen jika suhu panas tinggi. Butiran garam cepat terbentuk,” ujar Suparlin kepada Tempo, Senin, 1 September 2024.

Mulyono, 55 tahun, salah seorang petani, menyebutkan harga garam saat ini Rp 600-700 per kilogram. Harga ini hanya cukup untuk mengembalikan modal. Ia menggarap lahan milik keluarganya yang seluas 1 hektare bersama anaknya sendiri. Hal ini dilakukan untuk menekan ongkos produksi. Normalnya harga garam minimal Rp 1.000 per kilogram. “Harga itu baru bisa kita bagi dengan penggarapnya,” dia mengimbuhkan. Suparlin, Mulyono, dan para petani garam acap dibuat pusing dengan fluktuasi harga garam. Harga pernah sampai anjlok hingga Rp 200 per kilogram. Tentu saja hal ini membuat mereka rugi.

•••

DI lahan yang dikelola Suparlin itu pada November tahun lalu pernah diadakan “pameran seni rupa”. Tambak itu menjadi “kanvas” bagi lukisan garam. Adalah seniman dan aktivis sosial Eggy Yunaedi, 57 tahun, yang menginisiasi acara itu. Eggy—seniman asal Rembang yang bermukim di Bekasi, Jawa Barat—mengajak sepuluh petani garam melukis di tambak berukuran 33 x 21 meter, lebih-kurang seluas lapangan bola. Mereka memberinya judul Bancaan Rupa. Mereka berkegiatan dengan dukungan penuh pemerintah Desa Dasun.

Sekretaris Desa Dasun yang juga ikut melukis, Exsan Ali Setyonugrogo, 31 tahun, mengatakan lukisan Bancaan Rupa dipengaruhi tiga unsur kebudayaan, yaitu Jawa, Islam, dan Cina. Dalam lukisan ini, misalnya, terdapat gambar gunungan sebagai visualisasi simbol budaya Islam. Kemudian ada gambar burung hong dan naga sebagai cermin kultur Cina.

Seniman Eggy Yunaedi. Dok.Pribadi

Exsan menyebutkan banyak pesan dan cerita yang disampaikan pada lukisan di lahan tambak garam ini. Di antaranya tentang pencemaran limbah dari industri batik di Sungai Lasem yang bermuara di Desa Dasun. Ada pula soal para pemulia garam yang gelisah karena harga garam naik-turun tak menentu. Sebelum melukis, Eggy dan kesepuluh pemulia garam itu berdiskusi untuk membahas konsep karya mereka.

Mereka menyelesaikan proses melukis dari pembuatan sketsa hingga penaburan garam dalam enam hari. Pembuatan sketsa berlangsung selama tiga hari, sisanya penaburan garam. Dibutuhkan sekitar 4 ton garam untuk melukis di lahan tersebut. Mereka menggunakan kuas, cetok, sapu lidi, dan alat lukis lain. “Saat acara, kami sempat waswas takut hujan, mengingat sudah masuk November,” ucap Mulyono, pemulia garam yang ikut melukis. 

Bagaimana Eggy mendapatkan ide untuk secara kolektif membuat “seni rupa garam” ini? Eggy mengaku sudah lama tertarik mengeksplorasi material garam. Awalnya ia ingin melukis sendiri dengan garam. Tapi kemudian ia memahami ada pihak lain yang hidup dan mempraktikkan budaya seputar garam. Ia ingin membuat narasi dengan garam dan berkolaborasi. Mula-mula beberapa kali ia bertemu dengan para petambak atau pengusaha garam di luar Desa Dasun, tapi diskusi selalu mentok. “Belum-belum sudah ngomong soal hitung-hitungan. Itu bikin tidak nyaman,” tutur Eggy kepada Tempo.

Kemudian Eggy bertemu dengan warga Dasun. Ia berusaha membaur dengan warga Dasun, ikut nongkrong serta ngopi dan merokok bareng. Dari obrolan ngalor-ngidul, mereka lalu mulai membincangkan sejarah Desa Dasun, garam, dan persoalan mereka. Di Desa Dasun terdapat tradisi ambengan, semacam bancakan, saling berbagi nasi dan lauk. Ambengan atau bancakan inilah awal konsep kolaborasi berkarya Eggy. Eggy memanfaatkan kultur ambengan menjadi semacam momen membicarakan hal-hal penting dari masyarakat Dasun dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai petani garam.\

Para petani dan sejumlah seniman melukis dengan garam dalam kegiatan seni Bancaan Rupa di tambak Desa Dasun, Lasem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Rembang TV/Adi Prayetno

Dari diskusi ini muncullah ide menampilkan tujuh elemen, yakni air (pengairan yang baik), sinar (matahari yang cukup), angin, dan tanah. Ditambah unsur budaya yang berkembang di masyarakat yang dipengaruhi budaya Jawa, Cina, dan Islam. “Semua sepakat,” kata Eggy. Bergeraklah kemudian Eggy untuk membuat sketsa lukisan, lalu lukisan dirampungkan oleh sepuluh pemulia garam ini. Ia tak cawe-cawe melukis, hanya mengawasi dan mengarahkan segi bentuk dan proporsinya.

Sementara di tempat lain Eggy harus berpikir soal biaya, di Dasun ia mendapat dukungan warga dan kepala desa. “Kanvasnya” adalah tambak lahan bengkok kepala desa. Untuk bahan, masyarakat menyumbang hingga 4 ton garam. Padahal saat itu harga garam sedang bagus-bagusnya, Rp 1.750-2.000. Tapi warga dengan sukarela menyumbangkannya. “Mereka punya saham yang sangat besar dalam kolaborasi ini,” ujarnya.

Eggy menjelaskan, para petani garam itu melukis dengan gembira. Ada unsur bermain dengan asyik dalam diri mereka. Para petani itu seolah-olah menyuarakan persoalan-persoalan mereka dengan medium garam ini.

Saat lukisan garam ini dibawa Eggy untuk dipamerkan di Sangkring Art Project di Yogyakarta, selain memamerkan lukisan, mereka mengemas garam dan dijual dengan harga cukup mahal. Eggy memberi narasi sejarah dalam mempromosikan garam tersebut. Dia mengatakan garam yang mereka gunakan datang dari tambak tertua di Rembang, di pantai utara Jawa. Dari harga Rp 1.500 per kilogram, harga garam naik menjadi Rp 150 ribu untuk kemasan 300 gram. Ia berharap kolaborasi ini bisa memberikan efek ekonomi yang beruntun, meski kini belum terwujud.

Suasana pameran lukisan garam bertajuk Pranata Banyu di Sangkring Art Project, Yogyakarta, 8 Maret 2024. Tempo/Shinta Maharani

Eggy masih enggan menyebut aktivitasnya ini sebagai seni untuk penyadaran sosial. Bagi dia, aktivitas melukis dan berkolaborasi dengan para pemulia garam itu masih jauh dari terminologi penyadaran. “Saya belum secanggih itu,” ucapnya, merendah. Tapi ia melihat melalui seni garam ini kepercayaan diri para pemulia garam muncul. Mereka bangga menjadi petani garam. “Saya sampaikan ke mereka, seni garam membuat Dasun dikenal, membuat orang-orang datang,” tuturnya.

Tatkala mereka melukis di tambak sendiri, Desa Dasun mendapat penghargaan dari Museum Rekor Dunia-Indonesia atau Muri pada awal Februari 2024. Langkah awal membawa seni garam ini keluar dari desa dimulai saat lukisan garam dipamerkan di Sangkring Art Project, Yogyakarta. Tema yang disajikan saat itu adalah “Pranata Banyu”. Kini langkah mereka makin jauh dari Dasun, membawa garam desa mereka ke pameran yang lain, yakni di Museum Bahari, Jakarta, yang digelar sejak 24 Agustus hingga Oktober 2024. Kali ini mereka mengambil tema “Kolam Susu”. “Jadi kami, pemulia garam, pekerja seni, dan pemerintah Desa Dasun, berkeliling menyampaikan pesan dan cerita kampung kami,” kata Exsan Ali Setyonugrogo.

•••

TAMBAK garam di Dasun, menurut Yetty Rohwulaningsih, guru besar sejarah di Universitas Diponegoro, Semarang, merupakan bagian tambak tua di Jawa, khususnya pantai utara. Dia menjelaskan, sejarah garam di sana cukup panjang. Sejak era kerajaan di Jawa, wilayah pesisir merupakan wilayah pinggiran. Mereka diharuskan menyetorkan hasil bumi, termasuk garam, ke keraton. Produksi garam makin diintensifkan pada periode kolonial. Saat itu Belanda memanfaatkan pengusaha-pengusaha Cina untuk menguasai garam. Para petani garam tak pernah sejahtera karena adanya kesenjangan struktural. Yetty meneliti sejarah perlawanan petani garam di masa lalu.

Garam dari tambak di Dasun dinilai berkualitas lebih tinggi dibanding garam dari tambak-tambak daerah lain di Jawa Tengah, seperti Pati dan Demak. Topografi Desa Dasun sangat mendukung produksi garam berkualitas karena paling dekat dengan laut. Lasem sejak dulu telah berinteraksi dengan dunia luar, seperti dengan para pedagang dari Cina pada masa Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya. Ditemukannya galangan kapal kuno di desa itu menjadi salah satu bukti.

Yetty menduga garam ini ada sejak zaman Hindu di Nusantara. Garam adalah salah satu unsur untuk ritual agama. Dari beberapa penelitian di Bali dan Aceh, Yetty menemukan garam ada dalam material persembahan atau upacara.

Suasana tambak garam di Desa Dasun, Kecamatan Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Ach. Sholeh Syarifuddin

Beberapa literatur yang ditulis oleh arkeolog Titi Surti Nastiti dan sejarawan Dwi Cahyono menyebutkan garam juga disebut dalam prasasti. Prasasti Biluluk, misalnya, menyebutkan tentang garam. Prasasti Biluluk terdiri atas empat lempeng berangka tahun 1288 Saka (1366 Masehi) hingga 1317 Saka (1385 Masehi). Lempeng terakhir tidak berangka tahun. Prasasti ini menyebutkan tentang hak Desa Bluluk, Tanggulan, dan Papadang.

Prasasti Biluluk I menyebutkan keterangan adanya sumber air asin di Desa Bluluk, Lamongan, Jawa Timur, tempat orang membuat garam. Setiap pendatang boleh membuat garam dengan membayar sejumlah pajak tertentu. Prasasti lain yang menyinggung garam adalah Prasasti Sarwadhamma/Penampihan II bertarikh 1191 Saka (1269 Masehi) dan Prasasti Garaman bertarikh 975 Saka (1053 Masehi) yang dikeluarkan oleh Raja Jenggala Rakai Halu Mapanji Garasakan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Widiatmiko dari Rembang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lukisan-lukisan Garam dari Tambak Lasem"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus