Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Made Djirna.
Retrospeksi perjalanan karya sejak 1992 hingga 2022.
PERUPA Made Djirna, 66 tahun, merayakan pengujung 2023 dengan pameran tunggal, menghadirkan karya-karyanya selama 1992-2022. Walau mengusung tajuk "Retrospective", perhelatan di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Bali, ini tidak sepenuhnya mencerminkan pergulatan kreatif dan capaian seniman lintas masa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran retrospektif adalah unjuk karya terpilih, diharapkan menggambarkan perjalanan cipta seorang seniman atau kelompok seni dalam kurun waktu tertentu. Namun Made Djirna, dalam ekshibisi yang berlangsung selama 18 Desember 2023-7 Januari 2024 ini, boleh dikatakan hanya menampilkan 40 karya lukisan dua dimensi dan dua di antaranya ragam mixed-media wall installation (1996) dengan rupa bentuk yang mengingatkan pada karya art brut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Yogyakarta 1985 yang lahir di Kedewatan, Bali, ini dikenal akan kreativitasnya yang lintas batas dengan beragam medium/media. Djirna tidak hanya merunut pencarian dirinya pada karya lukis, tapi juga mengelaborasi kemungkinan cipta patung, instalasi, atau karya tiga dimensi lain berikut aneka medium pilihannya: batu, kayu, dan benda-benda alami di lingkungan yang menggoda kegelisahan eksistensialnya.
Kreativitas Djirna yang lintas batas ini menonjol dalam sejumlah karyanya, antara lain instalasi bertajuk Akah dalam pameran ArtJog 2023 di Jogja National Museum dan Melampaui Batas di Singapore Biennale 2016, Singapore Art Museum, Singapura.
Bunga 2002 karya Made Djirna. Dok. Agung Rai Museum of Art (ARMA)
Karya-karya instalasi Made Djirna ini mengukuhkan dirinya sebagai perupa yang memiliki kecenderungan eksplorasi yang berbeda dengan perupa Bali modern lain. Dia bisa disanding-bandingkan dengan pendahulu eksponen Sanggar Dewata Indonesia, seperti Gunarsa, Made Wianta, dan Pande Supada, ataupun generasi di bawahnya, antara lain Erawan, Made Budiana, dan Putu Sutawijaya.
Sebagaimana pergulatan cipta perupa Bali lintas generasi itu, Made Djirna mengalami hadirnya kemodernan/kekontemporeran, termasuk keniscayaan historis dengan Bali menjadi bagian dari dinamika ke-Indonesia-an. Dapat dirunut adanya tahapan lintas budaya (transculture) atau silang budaya (cross culture) berupa benturan sekaligus tautan antara nilai-nilai warisan budaya leluhur (tradisi) dan nilai-nilai budaya lain—dialami Bali bahkan jauh sebelum masa kolonial.
Tecermin pada sebagian karya perupa ini nilai-nilai baru yang akulturatif, yang unsur-unsur pembentuknya masih dapat dilacak asal-muasalnya. Atau suatu capaian yang bersifat asimilatif, mengandaikan pertemuan antarkultur—menghasilkan sesuatu yang baru dengan unsur dasar yang telah dianggap luluh sepenuhnya.
Karya instalasi Made Djirna terbilang unik dan autentik justru karena menggambarkan tahapan lintas budaya dan silang budaya itu bisa dijalani dan dilampauinya secara natural, yang sebagian tahapannya juga terefleksikan pada karya dua dimensi dalam pameran retrospektif ini.
Walau demikian, harus segera dikemukakan di sini bahwa karya instalasi ataupun dua dimensi Djirna yang beragam bentuk unik-autentik tertentu itu tak bisa dianggap sepenuhnya sebagai karya art brut, sebagaimana diungkapkan para pengamat seni, juga tersurat pada pengantar pameran ini.
Art brut dicetuskan Jean Dubuffet, yang mengumpulkan karya pasien rumah sakit jiwa, termasuk Adolf Wölfli (1864-1930). Dengan kata lain, ia mengedepankan karya seniman dengan skizofrenia, pribadi obsessive compulsive disorder yang meluapkan naluri purba di bawah rundungan delirium. Sedangkan Made Djirna boleh disebut sebaliknya, mencipta atau berkarya dengan satu kesadaran tinggi akan keberadaan kawitan (leluhur) yang menjadi keyakinan masyarakat Bali.
Lebih dari lima dasawarsa mencipta, sedini melukis pada masa sekolah menengah pertama (1972) hingga 2023, sebagaimana diungkapkan Djirna sendiri, proses berkeseniannya adalah upaya menyadari muasal dirinya (sangkan paran). Pameran retrospektif Djirna ini dikuratori oleh Alexander Goetz, orang Jerman yang telah lebih dari 50 tahun bermukim di Indonesia, sebagian besar di Bali. Seturut kecintaannya pada karya seni, ia melakukan penelitian mendalam tentang dinamika seni modern dan kontemporer di Bali. Karya yang dipamerkan di ARMA ini sepenuhnya pilihan Goetz, dipersiapkan selama satu tahun melalui pengamatan langsung di studio sekaligus di kediaman Djirna.
Bagi Djirna, otoritas pemilihan karya yang sepenuhnya dipegang kurator memberikan perspektif tersendiri dalam melihat keberadaan karyanya. Hal itu menguatkan keyakinannya bahwa cipta seni adalah laku persembahan dan sang kreator atau pencipta hanyalah salah satu unsur dinamika kreativitas.
Perupa Made Djirna, di Agung Rai Museum of Art (ARMA), Ubud, Bali. Dok. Agung Rai Museum of Art (ARMA)
Menurut Djirna, pada tahap capaian cipta tertentu, kreator memang sepatutnya undur dari egonya, membiarkan semesta dirinya meng-ada guna melahirkan dinamika tak terduga. Dengan begitu, naluri purba yang juga menaungi kehidupan sang seniman secara leluasa dan alami mewarnai daya cipta memungkinkan lahirnya karya-karya yang unik dan autentik secara estetik-stilistik. Ia mengandaikan tahapan cipta itu sebagaimana tajuk karya instalasinya di ruang terbuka ARMA, yang diciptakan pada 2020-2021, di masa pandemi, yakni Nyelang Margi atau berarti “memohon perkenan jalan”, gambaran keikhlasan dan kerendah-hatian menjalani panggilan kehidupan.
Karya-karya dua dimensi yang dipamerkan kali ini menggambarkan tahapan pergulatan tersebut. Kita dapat menyaksikan bagaimana periode simbolik dengan kecenderungan tematik tertentu, di mana sosok-sosok berikut warna pilihan dan komposisi tersendiri—sebagai temuan khas Djirna—berkisar antara yang purba dan yang mengesankan kekinian. Hadir pula ragam puitik sosok ibu dan anak yang banyak dikoleksi pencinta seni. Juga bentuk ikonik modern tertentu, seperti cangkir, respons Djirna atas perubahan sosial-kultural masyarakat dari tradisi yang guyub hangat komunal menuju kecenderungan modern yang serba individual.
Pendiri ARMA, Anak Agung Gde Rai, mengungkapkan pandangannya bahwa dinamika karya-karya Djirna dan proses ciptanya, seperti juga dialami para perupa Bali lain, dapat dirujuk pada sejarah seni rupa Bali lintas masa. Bukan hanya sampai masa keemasan Waturenggong (1470-1550), asal-muasalnya dapat dirunut hingga zaman prasejarah, jauh sebelum pengaruh Syiwa-Buddha mewarnai kehidupan sosial masyarakat pulau ini, dibuktikan dengan keberadaan pahatan-pahatan primitif atau purba pada sarkofagus yang banyak ditemukan di Pulau Bali.
Figur ukiran primitif, sosok dengan mata melotot dan telinga lebar serta lidah terjulur sebagai peninggalan lampau tersebut, terbukti telah mempengaruhi patung-patung karya maestro Cokot, yang wujud kepurbaannya diekspresikan secara autentik-individual; mewarnai pula karya-karya dua dimensi dan instalasi Made Djirna. Karya-karya Djirna yang secara stilistik-estetik digenangi naluri purba ini, menurut Agung Rai, menunjukkan tahapan sang seniman yang sudah dwijati atau mediksa—satu inisiasi spiritual yang dicapai seseorang dalam kelahiran barunya sebagai pendeta.
Pada titik ini, menurut saya, terlepas dari pandangan pengamat seni nasional ataupun internasional terhadap karya-karya Djirna ataupun perupa Bali lain, terbukti bahwa seni rupa Bali pada hakikatnya memiliki determinasi sejarah sendiri, telah “meng-ada” jauh sebelum dibaca sebagai bagian dari sejarah seni rupa Indonesia yang keberadaannya ditahbiskan belakangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sangkan Paran Made Djirna"