Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA berjalan mendekati meja-kursi, lalu menaiki meja itu. Ia mengingat sebuah peristiwa yang sungguh menyakitkan. Bukan hanya untuk tubuhnya, tapi juga batinnya. Peristiwa ketika ia harus mendekam di sebuah kamp di Cina. Ia tak tahu ke mana harus mencari tempat yang tertutup untuk memerah susunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sakitnya bukan main ketika payudaraku bengkak dan aku harus membuang susuku. Susu yang seharusnya diminum anakku yang belum enam bulan terbuang sia-sia,” ujar Francisca Casparina Fanggidaej, yang diperankan Marsha Timothy. Suaranya serak, intonasinya meninggi, mengaduk emosi penonton yang larut oleh kisah liris perempuan itu. Membayangkan penderitaan seorang ibu yang meninggalkan bayinya, terpisah jauh tanpa tahu nasib selanjutnya dan air susu yang tumpah sia-sia. Harapannya perlahan sirna. Dari bangku penonton, terdengar isak atau tarikan hidung yang basah menahan tangis dalam pentas berjudul Kembali ke Pelukan Orang-orang Tercinta itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan yang memilin perasaan para penonton merupakan puncak penampilan Marsha yang menceritakan kisah Francisca, seorang intelek yang ikut dalam pergerakan pemuda di masa perjuangan bersama Sukarno dan Mohammad Hatta. Ia juga penerjemah dan wartawan perempuan yang menjadi pelobi hubungan diplomatik dan kegiatan internasional hingga terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada 1957. Ia pun menjadi penasihat Presiden Sukarno pada 1964.
Saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, ia berada di Cile mewakili Indonesia dalam Kongres Organisasi Wartawan Indonesia. Saat itulah ia tak bisa pulang, paspornya dicabut, hilang dari sejarah bangsa ini. Ia terpaksa menyembunyikan identitasnya, bermukim di Cina selama 20 tahun, kemudian pindah ke Belanda, menjadi eksil.
Dalam pertunjukan yang disutradarai Shinta Febriany dengan naskah ditulis Felix K. Nesi ini, Francisca menceritakan kebahagiaan sekaligus kesedihan dan kegelisahannya ketika hendak terbang pulang, menemui anak-anak yang tak dijumpainya puluhan tahun. Ia merasa sangat bersalah karena meninggalkan anak-anaknya lantaran menjalankan tugas negara dan terbuang akibat gejolak politik saat itu.
Di panggung lain, Raden Ayu Soekirah, istri Oto Iskandar Dinata, perempuan tegar yang harus menghidupi ke-11 anaknya dengan berjualan batik, diperankan Maudy Koesnaedi. Sebagai Soekirah, Maudy bercerita, cinta suaminya kepada negara ini sangat besar sejak ia muda. Ia memilih tinggal di Jakarta untuk mengikuti rapat-rapat di masa revolusi sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat Indonesia baru lahir. Oto sering berkabar melalui telepon tentang kesibukannya. Saat pulang ke Bandung, ia menumpahkan cinta untuk keluarganya, bercengkerama dengan putrinya yang selalu menjadi kurator naskah pidatonya.
Hingga suatu ketika dering telepon berbunyi, ia harus kembali ke Jakarta. Padahal ia belum lama menginjakkan kaki di rumah. Tapi, sejak saat itu, Oto tak kembali lagi. Ia diculik orang tak dikenal, jasadnya tak ditemukan. Pasir dari Pantai Mauk, Tangerang, Banten, mewakili tubuhnya di peti mati yang dikuburkan. Suara Soekirah bergetar ketika Sukarno datang mengucapkan belasungkawa dalam pentas berjudul Suamiku Oto dan Bel Pintu yang disutradarai Nia Dinata. “Saya menggali cerita dari sudut pandang nenek buyut saya, dari keluarga, bagaimana gestur beliau dan beberapa buku. Nenek selalu bercerita betapa besar cinta Kakek untuk negeri ini,” ujar Nia, yang merupakan keturunan Oto Dinata.
Selain Marsha dan Maudy, Widi Mulia tampil memerankan Ruhana Kuddus dalam lakon Seroean Kemadjoean yang disutradarai Tya Setiawati. Sejak kecil ia terobsesi ingin bersekolah seperti kakak laki-lakinya. Di usia kanak-kanak, ia berkesempatan belajar menulis serta membaca banyak buku dari keluarga Belanda. “Cari, bekalilah dirimu dengan segala ilmu pengetahuan, Ruhana,” begitu ia menirukan gurunya. Berbekal kemampuan membaca, ia mengajari anak-anak sebayanya.
Saat berusia remaja, Ruhana pun mendirikan sekolah perempuan. Tak hanya belajar membaca dan menulis, ia juga membuat kerajinan tangan. Ia pun menulis di surat kabar Soenting Melaju. Di sana ia menumpahkan kerisauan, pergulatan batinnya, karena kondisi para perempuan. Dia banyak dicibir bahkan oleh para perempuan, ketika ia mengajak kaumnya belajar dan lebih maju. Yang membuat prihatin adalah ketika Ruhana mendapat beasiswa sekolah di Belanda tapi terpaksa membatalkannya meski suaminya mengizinkannya pergi. “Namun tiada restu dari mertua,” ucapnya. Di Soenting Melaju-lah ia berkeluh kesah.
Sementara itu, Bagus Ade memerankan Tan Tjeng Bok dengan cukup cemerlang dalam lakon Sudut Terlipat di Panggung Tan Tjeng Bok. Tan adalah seniman yang memulai perjalanan di panggung dari dunia tarik suara sebagai penyanyi keroncong. Kekaguman Tan terhadap lagu keroncong di usia remaja membuat ayahnya murka. Ia minggat dan menemukan jalan kehidupannya sendiri menjadi aktor panggung di kelompok Dardanella. Lewat aksi panggung, ia membantu para pejuang kemerdekaan. ”Aku menyemangati, menghibur mereka setelah lelah berjuang,” katanya. Ia membantu lewat lakon-lakon kritis yang menyuarakan perjuangan, kemerdekaan, dan antipenindasan hingga pernah dipenjara Belanda.
Berbekal suara emasnya, ia menggenggam dunia. “Apa saja bisa aku beli, emas, jam tangan mewah, sampai mobil Rolls-Royce. Perempuan-perempuan mengelilingiku,” ujarnya. Berganti kostum tapi tetap di panggung, ia menjadi seorang tua renta berpenyakitan dan siap menjemput maut. Sempat tersirat penyesalan, masa senja berkesusahan. Padahal ia dulu berjaya, bahkan dikenal Presiden Sukarno. “Pokoknya kalau ada apa-apa sama Bapak jangan sampai dibawa ke rumah sakit,” ucapnya. Ada nuansa getir dan satire dalam pentas metateater arahan sutradara Sahlan Mujtaba dalam lakon ini.
Ari Sumitro sebagai Tirto Adhi Soerjo dalam pentas Tirto: Tiga Pengasingan di Teater Salihara, Jakarta, 20 Desember 2023. Titimangsa-Yose Riandi
Pertunjukan terakhir menampilkan kisah Tirto Adhi Soerjo, seorang penulis dan jurnalis. Dalam lakon berjudul Tirto: Tiga Pengasingan, yang disutradarai Putu Fajar Arcana, Tirto digambarkan dalam sebuah ode, perjuangan Tirto melalui media massa, pembelaan rakyat, hingga pengadilan. Ia mendirikan Medan Prijaji (1907), Soenda Berita, dan Poetri Hindia. Dalam pentas ini, Ari Sumitro berperan sebagai Tirto yang terasing di dunianya, saat ia membela rakyat yang terjajah di Jawa.
“Aku adalah lidah bangsa yang terperintah,” tuturnya. Ia menghidupi surat kabar yang kritis dalam situasi kembang-kempis hingga diadili dan dibuang dua kali ke Lampung dan Pulau Bacan di Maluku. Ia makin terasing ketika kembali ke Batavia, sendiri dalam kesakitan, memanggil-manggil nama jurnalis Mas Marco Kartodikromo menjelang ajalnya di usia muda. Seorang pemuda dengan pribadi yang kompleks, menikmati masa muda dengan gairah dan semangat perjuangan antipenindasan.
Festival monolog Di Tepi Sejarah menghadirkan lima pementasan dengan lima tokoh dan perspektif masing-masing terhadap peristiwa sejarah yang mereka alami, 12-20 Desember 2023. “Penonton bisa melihat tokoh yang diangkat melalui sudut pandang orang-orang terdekatnya,” ujar Happy Salma, produser dari Titimangsa Foundation. Pentas monolog ini sudah memasuki musim ketiga, melibatkan berbagai teknologi. Pertunjukan ini juga akan ditayangkan di kanal Indonesiana TV milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Memonologkan Ruhana Kuddus sampai Tan Tjeng Bok"