Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kali memandangi langit Dresden ketika udara sedang cerah, saya membayangkan bagaimana dulu Raden Saleh seperti terhipnotis oleh lanskap langit kota ini, dan oleh semangat romantisisme yang kuat pada periode itu. Kami, saya, Uji Handoko (seniman) dan Gintani Swastika, kerap membayang-bayangkan bagaimana Raden Saleh hidup di tengah kelompok borjuis di Dresden, menjadi bagian dari gaya hidup flamboyan dan kosmopolitan, dalam balutan politik identitasnya sebagai orang Jawa di Eropa. Citra inilah yang terbayang ketika Uji Handoko memulai risetnya tentang relasi Dresden dan Raden Saleh untuk proyek “The Curious Deal” yang diorganisasi Pemerintah Kota Dresden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Upaya membaca kembali Raden Saleh dalam konteksnya yang lebih kontemporer memang sudah beberapa kali dilakukan. Bahkan Penangkapan Diponegoro barangkali menjadi salah satu lukisan yang paling banyak direka dan ditafsir ulang oleh seniman masa kini, dan sebagian dari proyek itu memang dipresentasikan dalam konteks seni Indonesia. Tidak banyak seniman Indonesia yang kemudian memamerkan hasil reka ulang itu untuk masyarakat Jerman, khususnya Dresden. Salah satu proyek awal yang mencoba membangun kembali jembatan antara Dresden masa kini dan Raden Saleh dikerjakan HeriDono, yang menggelar pameran di Heimat Museum di Maxen pada 2011.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 30 November-1 Desember 2019, seniman dari generasi yang lebih muda, Uji “Hahan” Handoko, membawa gagasan napak tilas Raden Saleh ini dalam konteks yang lebih membuka relasi antara Raden Saleh, Indonesia, dan Dresden. Hahan dipilih kurator Michael Schieldim sebagai bagian dari proyek kampanye The New Heimat untuk mempromosikan Dresden menjadi ibu kota budaya Eropa pada 2025. Dresden harus bersaing dengan delapan kota lain untuk bisa mendapatkan predikat tersebut.
Pilihan Schieldim membawa Hahan, seniman Indonesia, menjadi bagian dari salah satu proyek utama dalam kampanye ini tentu saja cukup mengejutkan. Bagi Schieldim, pilihan ini penting untuk menggarisbawahi kembali perihal keterbukaan masyarakat Dresden terhadap hal-hal baru yang asing, menimbang sang liyan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari mereka, seperti lebih dari dua abad lalu saat menerima Raden Saleh. Praktik artistik Hahan, yang dengan segera menunjuk semangat mewarisi budaya populer global tapi pada saat yang sama juga menabrak gagasan waktu, bagi Schieldim menarik dipresentasikan kepada masyarakat Dresden.
Pada Mei 2019, Hahan diundang tinggal di Dresden selama tiga pekan demi menggali kisah-kisah tentang Raden Saleh di sana dan mengalami sendiri bagaimana Dresden sebagai kota Jerman dengan sejarahnya yang cukup kompleks. Hahan tidak hanya mendatangi tempat-tempat yang pernah ditinggali dan disinggahi Raden Saleh atau bertemu dengan para peneliti yang juga mempelajari arsip Raden Saleh. Tentu saja ia juga tidak melewatkan kunjungan ke Masjid Biru dan tur khusus dari Jutta Chronicle, yang sekarang memiliki paviliun unik tersebut.
Raden Saleh tinggal di Jerman, tepatnya di Maxen, Dresden, pada 1839-1845. Sebelumnya, dia sepuluh tahun di Den Haag, Belanda. Karena ada masalah dengan pemerintah Belanda, dia akan dikirim pulang ke Jawa. Raden Saleh menolak dan memilih pergi ke Dusseldorf dan Berlin sebelum hinggap di Maxen, sebuah desa, sejam perjalanan dari Dresden.
Di Maxen, Raden Saleh tinggal di kastil milik Friedrich Anton Serre, pensiunan wali kota, tuan tanah, dan patron penting bagi kehidupan kesenian di Dresden para periode itu. Meski dia tinggal cukup lama dan bergaul dengan banyak orang penting, warisannya di Dresden tidak cukup banyak. Sejujurnya, ketika kami mulai melakukan riset di sana, sedikit sekali warga Dresden yang mengetahui sosok Raden Saleh.
Museum penting di Dresden, Albertinum, sebenarnya menyimpan koleksi beberapa gambar dan karya cetak Raden Saleh. Di museum itu juga kurator memberi kami tur spesial koleksi periode romantisisme yang sangat berpengaruh pada lukisan Raden Saleh, termasuk narasi tentang langit biru yang sempat kami bayangkan di awal.
Proyek “The Curious Deal” lebih dari sekadar menggambar kembali citra dan imaji tentang Raden Saleh. Ide dasar proyek ini adalah seri “Speculative Entertainment” yang sudah dilangsungkan Hahan di empat kota (Yogyakarta, Hong Kong, Sydney, dan London). Ia membuat satu lukisan berukuran besar, kemudian lukisan itu dibeli per bagian oleh pengunjung melalui sistem persaingan terbuka. Idenya adalah siapa saja bisa membeli karya seni sesuai dengan ketersediaan dananya, tanpa harus menjadi orang superkaya.
Ide ini kemudian dikembangkan menjadi bentuk lain yang tidak melibatkan uang secara langsung, tapi lebih berfokus pada upaya membangun narasi antara Dresden dan Indonesia, atau Raden Saleh dan Dresden, atau kesenian dan Dresden. Hahan mengajak warga Dresden datang membawa barang dari rumah yang bisa menjawab pertanyaan penting: benda-benda apa yang dibutuhkan seniman untuk bertahan? Barang-barang inilah yang nantinya mereka tukarkan dengan potongan lukisan Hahan.
Pada hari ketika pertunjukan digelar, warga antusias datang ke Deutches Hygiene Museum dan membawa obyek yang mereka pilih dan narasi tertentu untuk menjawab pertanyaan Hahan. Seorang warga pemilik toko roti legendaris membawa stollen, roti khas Dresden berukuran besar, lalu mengisahkan narasi tentang bagaimana seniman menghabiskan waktu pada musim dingin menjelang Natal dengan minum anggur dan roti stollen selalu menjadi kudapannya. Jutta Chronicle membawa sebuah patung kepala Raden Saleh yang terbuat dari gipsum. Di depan publik, Jutta menceritakan secara cukup detail bagaimana kehidupan Raden Saleh di Dresden dan sejarah Masjid Biru di Maxen.
Bagi masyarakat Dresden, pendekatan yang dipilih Hahan sangatlah menarik karena ada “kesan” Hahan merusak lukisan sendiri dengan memotong-motongnya menjadi bagian kecil untuk dibagikan kepada banyak teman. Pada akhirnya, lukisan berukuran 9 x 3 meter itu dibagi menjadi 83 pecahan dalam berbagai ukuran. Hampir semua lot ludes dipertukarkan dengan obyek dan cerita. Beberapa anak berusia 9-12 tahun memasang wajah gembira setelah berhasil memilih empat lot lukisan yang diinginkan, dengan modal gambar tangan sendiri. Tidak hanya memperoleh lukisan, para pengunjung selama dua hari juga bisa mendengarkan kisah tentang Indonesia dan mempelajari budaya-budaya lain yang lebih terbuka.
Lukisan Hahan sendiri memang menunjukkan perpaduan yang menarik atas pembacaannya terhadap narasi tentang Raden Saleh, sejarah Dresden, sedikit percikan tentang Jawa, dan silang sengkarut dalam seni kontemporer. Hahan menelisik beberapa lukisan Raden Saleh untuk kemudian ditimpa dan dikombinasikan dengan karakter-karakter khas dalam lukisannya—lebih mengarah pada gaya komik penuh warna—yang pada akhirnya menciptakan kontras yang tidak menuju keharmonisan, tapi perbedaan keduanya bisa tetap kuat.
Lukisan yang direka ulang antara lain dua yang paling dikenal publik, yaitu Merapi (day) dan Merapi (night). Keduanya, yang ditempatkan di posisi tepat di tengah, menjadi salah satu fokus utama yang tidak dilewatkan orang. Beberapa penanda kota yang populer, seperti gedung Hellerau dan patung koleksi Albertinum, dapat pula dikenali warga yang datang ke acara tersebut. Wajah Jutta, Warner Krauss (sejarawan seni Jerman yang merupakan ahli Raden Saleh), serta Marie Odette (sejarawan seni Prancis) juga bisa dijumpai di sana.
Michael Schieldim mengungkapkan bahwa penting baginya untuk memperkenalkan narasi-narasi tersembunyi dari Kota Dresden, bahkan narasi yang diolah dan ditulis oleh mereka yang tinggal jauh di belahan dunia yang lain. Proyek “The Curious Deal” juga menjadi refleksi yang relevan berkaitan dengan “proses memberi dan menerima”, “berkisah dan mendengar”, “berdiam dan bertandang”. Narasi Raden Saleh menjadi semacam jembatan yang menghubungkan kembali ingatan pada masyarakat Dresden yang terbuka dan multikultur sejak dua abad lalu.
Dresden sendiri mengalami perubahan situasi sosial-politik yang sangat kompleks, terutama seusai Perang Dunia II hingga masa kini, setelah gelombang pengungsi masuk secara masif ke wilayah Jerman. Selama masa pemerintahan Jerman Timur (German Democratic Republic), Dresden menjadi kota industri yang penting untuk kawasan Timur. Dan setelah runtuhnya tembok Berlin pada 1989, bersamaan dengan proses pembangunan kembali beberapa landmark kota yang runtuh pada masa perang, perlahan gerakan-gerakan Kanan dan Neo-Nazi tumbuh di kota tersebut. Bahkan pertumbuhannya adalah yang terpesat di Jerman.
Beberapa sumber bahkan menyebutkan Dresden juga menjadi salah satu kota yang menentang masuknya imigran muslim, kalau tidak dapat disebut sebagai lokasi tumbuhnya gerakan anti-Islam. Kecenderungan-kecenderungan fundamentalis inilah yang menggelisahkan Wali Kota Dresden, dan karena itu ia percaya bahwa jalan kesenian dan kebudayaan berperan penting untuk membawa masyarakat pada praktik hidup yang toleran. Mengenang kembali spirit kosmopolitanis medan keterbukaan menjadi penting dalam kampanye Dresden menjadi ibu kota budaya Eropa 2025, dan semangat berbagi bersama “yang liyan” inilah yang kemudian menjadi spirit penting yang hendak ditularkan melalui proyek “The Curious Deal” yang menghadirkan Hahan.
ALIA SWASTIKA, PENGAMAT SENI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo