Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI atas pentas, Irwan Ahmett dan Tita Salina dengan tenang melaburkan odol ke pipi mereka. Berikutnya, berturut-turut mereka memasang masker putih di atas mulut dan hidung, kacamata renang menutupi mata, lalu sarung lateks di tangan. Dengan hati-hati, Irwan kemudian menaruh sebuah bungkusan kain di tengah panggung. Di dalamnya terdapat beberapa selongsong gas air mata. "Ini belum meledak," kata Irwan. Dia menginstruksikan semua pintu ruangan dikunci, lalu mempersilakan penonton mengambil pasta gigi ke panggung jika membutuhkan. Jelas, dia hendak melakukan sesuatu pada kaleng-kaleng itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tawa terdengar dari bangku penonton. Rasanya tak mungkin Irwan benar-benar akan meledakkan gas air mata di ruang pertunjukan. Tapi keheningan merebak juga ketika Irwan tiba-tiba memukul salah satu kaleng dengan batu. Duarrr.... Kaleng itu terpelanting. Tita memungutnya, mendekatkannya ke kamera yang terhubung dengan layar. "Please, try again," Tita membaca tulisan pada selongsong pecah itu. Barulah kita benar-benar bisa tertawa lega.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang terjadi memang aksi panggung belaka. Namun, dalam beberapa detik antara instruksi agar pintu dikunci dan adegan selongsong gas air mata, barangkali sebuah sensasi terjadi. Sensasi intimidasi yang disebut Irwan dan Tita sejak awal pertunjukan, ketika Irwan berkisah tentang pengalamannya disudutkan seorang pengemudi ojek di tengah malam buta. Saat dia melihat kilatan cahaya dari sebilah pisau yang ditodongkan, "Sel otak saya langsung mengirimkan sinyal darurat," tuturnya.
Yang dilakukan Irwan dan Tita pada Jumat malam, 20 Desember lalu, itu di auditorium Goethe-Institut Jakarta antara ceramah, monolog, dan performance berjudul The Archive of Violence . Irwan bertutur dalam bahasa Indonesia, lalu Tita menerjemahkannya ke bahasa Inggris. Keduanya menampilkan potongan gambar dan video di layar yang sebagian mereka rekam sendiri sebagian potongan dari arsip atau Internet. Selain itu, mereka menghadirkan barang-barang temuan di atas panggung.
Dengan materi itu, di sana-sini "ceramah" Irwan menghadirkan sebuah adegan yang membuat bergidik. Misalnya ketika Irwan bercerita tentang manusia purba Sangiran. Dia tiba-tiba menunjukkan batu kapak perimbas dari Sangiran yang ujungnya masih runcing, lalu dengan sengaja menyayatkan batu itu berulang kali ke tangan, tengkuk, hingga lehernya seperti seorang pelakon debus. Atau ketika mereka bercerita tentang batu berukuran lebih kecil yang biasa digunakan manusia prasejarah di Sangiran untuk menguliti hewan. Segera mereka memamerkan serpihan cokelat di atas kertas yang diklaim Irwan sebagai kulitnya sendiri. Aksi-aksi itu mengirim sinyal bahaya ke otak kita.
Yang ditampilkan Irwan dan Tita malam itu adalah khazanah seni rupa kontemporer yang dikategorikan sebagai lecture performance—peleburan pertunjukan seni dan ceramah akademik. Tapi dua jebolan desain grafis Institut Kesenian Jakarta itu biasa menyebut kegiatan mereka sebagai storytelling. Format ini sering mereka pakai dalam proyek Ring of Fire, proyek kolaborasi Irwan dan Tita selama satu dekade yang dimulai pada 2014. Secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, mereka mengeksplorasi problem yang muncul di kawasan Cincin Api, termasuk di Indonesia, yang meliputi gejolak geopolitik akibat globalisasi, migrasi, kekerasan, dan bencana ekologi. Umumnya, bentuk karya mereka adalah intervensi sosial.
Kali ini, pasangan suami-istri itu menuturkan kisah pencarian mereka terhadap akar kekerasan dalam peradaban manusia di wilayah Cincin Api yang membawa mereka mengunjungi situs purbakala Sangiran di Sragen, Jawa Tengah, lalu berziarah 3.612 kilometer dari Jakarta ke Bangkok lewat Banten, Lampung, dan Palembang, lalu menyeberang ke Semenanjung Malaka hingga sampai di Thailand selatan. "(Rute ini) terinspirasi Pieter Erberveld," tutur Irwan.
Pieter Erberveld adalah pria keturunan Jerman-Siam (kini Thailand) yang pernah tinggal di Batavia era Verenigde Oost-Indische Compagnie. Pada 1721, Erberveld dituduh bersekongkol dengan warga Jawa dan Banten membunuhi orang Belanda. Dia dihukum dengan cara tak terperikan: masing-masing tangan dan kakinya diikatkan pada empat kuda yang kemudian dipacu bergerak ke empat penjuru hingga tubuhnya koyak. Kekerasan tiga abad lalu itu hingga kini masih terarsipkan dalam sebuah nama kampung di Jakarta Barat: Kampung Pecah Kulit.
Temuan hasil karya dipersembahkan oleh Irwan Ahmett dan Tita Salina dalam Bagaikan Jambret di Kapitalistiwa Jakarta, 20 Desember 2019. TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
Perjalanan Irwan dan Tita, yang dilakukan dengan kendaraan umum atau berjalan kaki, adalah upaya mencari arsip kekerasan serupa. Sebagian besar kekerasan sudah lama terjadi hingga arsipnya telah menyatu dengan tanah dan harus digali. Tapi mereka tak jarang menghubungkan peristiwa lampau itu dengan apa yang terjadi baru-baru ini. Misalnya, setelah menemukan batu-batu purba di Sangiran, keduanya mencari jejak arsip kekerasan pada batu-batu di depan gedung parlemen, Senayan, yang menyimpan ingatan akan aksi “Reformasi Dikorupsi”, September lalu.
Kemudian, ketika sampai di Talangsari, Lampung, mereka menemukan kepingan kaca, mata panah, dan selongsong asap yang menandai pembunuhan massal tiga dekade lalu. Berikutnya, mereka merekam sebuah masjid megah tak jauh dari sana yang belum lama ini dibangun Hendropriyono. "Sebuah lisensi moral untuk menutupi jejak kekerasan dengan kebajikan," ujar Irwan dan Tita. Kita tahu bahwa Hendropriyono kala menjabat Komandan Komando Resor Militer 043/Garuda Hitam ditengarai sebagai orang di balik kejahatan kemanusiaan di Talangsari.
Ada kalanya pengambilan kesimpulan Irwan dan Tita terkesan melompat terlalu jauh. Dari lukisan menjerit Edvard Munch (1893) yang menampilkan langit berwarna darah karena konon debu erupsi Krakatau pada 1883 sanggup memerahkan langit Norwegia, mereka bercerita tentang penusukan dua penjajah Belanda oleh warga lokal seusai letusan yang sama. Kemudian mereka mengingatkan kita bahwa penusukan Wiranto juga terjadi tak lama setelah tsunami dan letusan Krakatau pada awal 2018. Penonton terkikik karena penarikan benang merah yang agak dipaksa itu (atau mungkin karena mendengar nama Wiranto?).
Mengupas kekerasan dalam format bicara selama satu jam tentu tak mungkin. Karena itu, pertunjukan Irwan dan Tita terasa terlalu luas dan tak mendalam. Mereka melompat dari satu topik kekerasan ke topik berikutnya dengan cepat. Metode mereka tak runut. Irwan dan Tita mengaku tak begitu mengacuhkan perihal estetika dalam karya mereka dan tak ragu menyebut karya itu "buruk".
Betapapun demikian, beberapa imaji yang dihadirkan cukup bermakna. Pada bagian terakhir, penonton diundang ke panggung untuk mengintip sebuah lensa yang memancarkan kilatan cahaya yang membutakan mata. Setelah kilatan cahaya itu hilang, pola heksagon dari peta kawasan Cincin Api yang menyerupai ladam kuda muncul dalam jarak pandang kita selama sepersekian detik. Seluruh proses itu mesti dijalankan dengan sebelah mata. Irwan-Tita kemudian berkata, "Karya yang hanya bisa dilihat dengan sebelah mata ini kami peruntukkan bagi dia yang kehilangan sebelah mata...."
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo