Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Calon Arang di Kebun Bekas Rumah Gubernur VOC

Membawa rombongan besar seniman Bali, Happy Salma dan Nicholas Saputra menyajikan kisah Calon Arang berjudul Sudamala di gedung Arsip Nasional Jakarta.

18 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertunjukan Calon Arang di halaman belakang gedung Arsip Nasional, Jakarta.

  • Melibatkan rombongan besar seniman Bali yang diproduseri Happy Salma dan Nicholas Saputra.

  • Sebuah pertunjukan klasik yang tidak tergoda tafsir-tafsir baru Calon Arang.

TAK ada Sadewa yang bertempur di pekuburan melawan Ra Nini (Durga). Tak ada Batari Kalika yang masuk ke raga Kunti. Juga tak ada Batara Guru yang merasuk ke tubuh Sadewa. Ini ternyata bukan kisah Sadewa yang dijuluki Sudamala, bungsu Pandawa yang di Setra Gandamayu membebaskan Durga dari kutukan dan mengembalikan wujud menyeramkan Durga ke sosok aslinya yang anggun: Dewi Umayi.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melihat judul besar pertunjukan, Sudamala, semula saya mengira yang akan disajikan rombongan seniman Ubud, Bali, dengan produser Happy Salma, Nicholas Saputra, dan Cokorda Gde Bayu Putra ini adalah kisah Sadewa dan Durga. Sudamala secara umum dalam studi arkeologi dan filologi merujuk ke telaah atas relief-relief dan manuskrip kakawin yang menampilkan kisah Dewi Umayi yang dikutuk Syiwa/Batara Guru. Sang dewi berubah menjadi raksasa Durga dan hanya bisa kembali ke wujud aslinya bila diruwat oleh Sadewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sadewa dijuluki Sudamala karena ia mampu membebaskan dari penyakit. Kisah ini dalam relief terpatri pada dinding Candi Tegowangi, Kediri, Jawa Timur; dan Candi Sukuh, Karanganyar, Jawa Tengah. (Almarhum) Romo Zoetmulder yang pernah mengulas Kakawin Sudamala memperkirakan kisah Sudamala populer pada zaman Majapahit.

Pentas Sudamala: Dari Epilog Calonarang pada media preview di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 9 September 2022. ANTARA/Rivan Awal Lingga

Membayangkan kisah peruwatan Durga oleh Sadewa diangkat ke panggung oleh Happy Salma tentu menarik karena cerita itu jarang sekali ditampilkan dalam pertunjukan kontemporer. Apalagi bila kisah itu disajikan dengan pendekatan koreografi baru yang utuh.

Yang dipentaskan Happy ternyata seratus persen Calon Arang klasik, bukan Sudamala tersebut. Sudamala dipilih sebagai judul di sini untuk menekankan bahwa Calon Arang sesungguhnya adalah cerita yang berkaitan dengan penghilangan mala (kekotoran). Ia adalah kisah penyucian, bagian dari panyuamalan jagat pembersihan alam semesta.

Calon Arang sudah sangat sering ditampilkan dalam dunia pertunjukan di Bali. Pertunjukan Calon Arang di Bali beragam, dari yang betul-betul keramat, magis, melibatkan adegan seseorang dikubur hidup-hidup selama beberapa jam, sampai yang banyak diselingi unsur lawakan. Namun menonton Calon Arang di Jakarta, di area bangunan bekas kediaman Gubernur Jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Reinier de Klerk yang dibangun pada abad ke-18 dengan iringan komunitas gamelan Yuganada, Ubud, tentu terasa suasana lain.

Halaman belakang rumah sang Gubernur yang kini menjadi gedung Arsip Nasional Republik Indonesia di Jalan Gajah Mada itu ditata layaknya bagian dalam sebuah pura. Tempat duduk penonton dibuat dalam formasi letter U menghadap sebuah set berupa gapura. Model teater arena demikian memang intim untuk sebuah pertunjukan tradisi. Dinding belakang gedung Arsip menjadi backdrop. Menarik memilih tontonan ini dipentaskan di gedung Arsip, bukan di Ciputra Artpreneur atau Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki sebagaimana biasanya. Bangunan kolonial ini sangat jarang digunakan untuk pertunjukan teater, lebih sering menjadi tempat resepsi atau pameran seni rupa. Suasana yang membaurkan heritage era kolonial dengan kisah mitologis tak terelakkan menghadirkan sensasi tersendiri.

Mula-mula dari gapura muncul sebuah prosesi. Iring-iringan payung kebesaran serta para penari menyongsong kedatangan barong hitam. Terlihat barong adalah sosok penyelamat yang dinantikan. Sebuah adegan awal yang penuh simbol dan menyiratkan bahwa barong secara filosofis adalah kunci. Namun, sebagai pembuka, adegan ini digarap tanpa gereget. Kurang menyentak. Seusai prosesi, tampil di panggung bondres—gambaran rakyat jelata (dimainkan I Ketut Suanda)—sebagai penutur. Ia diposisikan sebagai narator yang mengungkapkan tindak-tanduk Calon Arang. Dalam tiap pergantian adegan, bondres muncul memberikan komentar berbalut celetukan-celetukan banyolan.

Poster

Lalu tampillah Walu Nateng Dirah atau Calon Arang. Ia diperankan sendiri oleh sutradara pertunjukan, Jro Mangku Serongga (I Made Mertanadi). Sang janda dari Dirah menyampaikan perasaan bahagia bahwa anaknya, Ratna Mangalih, telah menikah dengan Mpu Bahuela, putra pendeta sakti Mpu Bharadah dari Padepokan Lemah Tulis. Diceritakan Calon Arang kemudian pergi memuja Dhurga Sraya. Adegan kemudian beralih ke percintaan antara Ratna Mangalih dan Mpu Bahuela. Sebuah perkawinan semu karena maksud utama Mpu Bahuela menikahi putri Calon Arang sebenarnya adalah mencuri kitab kesaktian Calon Arang.

Kemurkaan Calon Arang tak terhindarkan saat ia mengetahui lontarnya dicuri. Koreografi berupa enam penari leak di Setra Gandamayu menjadikan tempo yang tadinya lambat sedikit naik. “Ini ada darah untuk cuci muka. Sebarkan wabah, sebarkan wabah. Keluarkan semua hitam kamu. Bunuh Mpu Bahuela dan Mpu Bharadah,” Condong, pembantu Calon Arang (diperankan Ni Made Astari), berseru. Adegan masyarakat terkena malapetaka muncul di panggung. Pementasan ini bermaksud mengembalikan bentuk paling klasik Calon Arang. Karakter dan plotnya sama sekali tidak keluar dari pakem. Calon Arang adalah sosok jahat. Dia pemilik magisme perleakan. Dia sang tertuduh pembunuh massa. Dia pemilik ilmu hitam yang harus ditahan oleh kesaktian putih Mpu Bharadah.   

Kita tahu bahwa dalam jagat seni tari ataupun sastra kontemporer telah banyak dihasilkan tafsir baru terhadap Calon Arang. Sardono W. Kusumo pernah menyajikan koreografi baru Dongeng dari Dirah yang mengambil sari pati tukang sihir dari Desa Dirah. Koreografi ini kemudian dilanjutkan Sardono dalam bentuk film berjudul sama. Bisa dikatakan film Sardono itu adalah dance film pertama di Indonesia. Film ini tidak naratif dan strukturnya nonlinear. Ada adegan yang syutingnya berlangsung di Candi Sukuh.

Adapun sastrawan Pramoedya Ananta Toer pernah menuliskan kisah Calon Arang dalam versi cerita anak dan Romo Mangun mempublikasikan novel Durga Umayi. Beberapa penulis perempuan bahkan memiliki perspektif yang radikal tentang sosok Calon Arang. Toety Heraty pernah mengeluarkan sebuah prosa lirik “Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki”. Sudut pandangnya feminis dan menantang hierarki gender. Yang terakhir adalah Cok Sawitri. Sosok Calon Arang dalam novel Cok, Trilogi Jirah, sama sekali keluar dari pakem. Karakternya luhur. Ia pendeta perempuan yang berasal dari kebikuan Buddha. Cok meletakkan kebikuan Calon Arang dalam konstelasi tekanan kekuasaan Airlangga.

Studi-studi tentang Calon Arang pun berkembang. Beberapa peneliti baru-baru ini menghasilkan tulisan mengenai situs Calon Arang yang terletak di Dukuh Butuh, Desa Sukorejo, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri. Situs ini sendiri masih diperdebatkan apakah betul bekas tempat Calon Arang. Bila kita mengunjungi situs ini, ada plang bertulisan “Dalam kajian ilmu arkeologi situs ini belum dapat disebutkan sebagai situs/petilasan dari Calon Arang atau Nyi Girah, karena belum ada data arkeologis yang merujuk pada tokoh Calon Arang di tempat ini”. Di Kediri juga terdapat Situs Mpu Bharadah. Lokasinya tak jauh dari Situs Pamuksaan (tempat moksa) Jayabaya di kawasan Pamenang. Persoalannya, secara arkeologis situs ini juga belum terbukti. Bahkan situs ini ditengarai adalah situs baru yang dibangun sekitar 1995. Betapapun belum terverifikasi secara arkeologis, kedua situs itu dikunjungi banyak warga Bali yang berziarah dan beribadah serta menganggapnya betul-betul lokasi pertapaan Calon Arang dan Mpu Bharadah di masa lalu.

Halaman Gedung Arsip Nasional yang menjadi pentas Sudamala: Dari Epilog Calonarang, 10 September 2022. TEMPO/Abdullah Syamil Iskandar

Pertunjukan tidak tergoda untuk mengolah versi-versi “dekonstruktif” atau memasukkan data penelitian terbaru mengenai Calon Arang. Kita menyaksikan sebuah pertunjukan utuh versi konvensional Bali, tapi kali ini tidak dipersembahkan di Denpasar, Singaraja, atau kawasan Bali mana pun, melainkan di Jakarta. Calon Arang yang disadari eksotis sebagai tontonan perkotaan, meliputi pertarungan Rangda melawan Barong dan pasukan keris yang menikam-nikam tubuh sendiri, meski adegannya jauh dari dramatis. Pertunjukan dilengkapi dengan video mapping yang disorotkan pada dinding belakang gedung yang sayangnya terasa kurang optimal. Saat adegan darah merah dibagikan, semestinya sorotan warna merah pada dinding mampu memberikan aura mencekam.

Pertunjukan outdoor selama tiga hari ini berisiko karena dilaksanakan saat Jakarta kadang diguyur hujan tak menentu. Di hari pertama, tatkala lokasi dipenuhi undangan gratis, hujan turun rintik-rintik di tengah pertunjukan. Beberapa penonton langsung mengenakan jas hujan plastik yang dibagikan panitia di pintu masuk. Titik klimaks pementasan adalah pertarungan Rangda dan Barong. Rangda adalah perwujudan Calon Arang. Sedangkan Barong adalah manifestasi syiwais Mpu Bharadah. Tak ada yang kalah dan menang. Pertempuran berlangsung siklis, menandakan rwabineda—yang baik dan yang jahat selalu terlibat dalam pertarungan abadi.

Konon di Bali ada anggapan bahwa menyaksikan pertunjukan Calon Arang harus sampai tuntas. Sebab, jika berani meninggalkan pertunjukan saat belum selesai, bisa timbul hal-hal yang tidak diinginkan. Para penonton di bekas rumah sang penguasa VOC terlihat bertahan bukan karena karcis yang mahal atau telah mengenakan jas hujan, tapi lantaran pengadegan pertunjukan cukup mengalir. Di akhir pementasan yang ditaja sutradara Jro Mangku Serongga, penata musik I Wayan Sudirana, dramaturg Wawan Sofwan, serta penata artistik Iskandar Loedi, terlontar kata-kata bahwa Calon Arang adalah kisah Sudamala—kisah pembersihan. Itulah kenapa pertunjukan ini diberi judul Sudamala.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus