Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JADWAL penerbangan pesawat dari Berlin, Jerman, ke Venesia, Italia, dibatalkan. Petugas bandar udara memundurkan jadwal penerbangan ke akhir pekan. Wah, Sabtu, 3 September pukul 14 waktu setempat saya harus sudah berada di kota Italia yang sedang merayakan Fertival Film Venesia 2022 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 3 September itu hari penayangan perdana dunia film Autobiography karya Makbul Mubarak. Entah ini semacam nasionalisme “good news from Indonesia”, hasrat sinefil yang ingin ber-“ibadah film”, atau kehendak ingin mencatat momen itu secara langsung mumpung bisa. Semua maskapai penerbangan lain sedang overbooked, kata petugas. Eropa sedang sibuk saling melancong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim panas Eropa, September ini. Batasan protokol kesehatan sedang dilonggarkan. Ada euforia semangat pemulihan kegiatan dan acara-acara yang selama dua tahun terkunci oleh isolasi pandemi. Walau terik matahari di Eropa menyuratkan krisis iklim, sampai-sampai di Berlin sempat 38-39 derajat Celsius, musim panas ini menjadi ajang pernyataan perasaan bahwa Eropa telah mengalahkan pandemi (terlepas dari benar atau tidak pandemi telah teratasi). Begitu banyak acara kembali offline, tatap muka. Festival Film Venesia sebetulnya tak pernah menjadi online dalam dua tahun kemarin. Tapi lalu lintas pengunjungnya tentu saja terpengaruh.
Jadinya, saya naik bus. Hampir 18 jam perjalanan dari Berlin hingga ke Tronchetto, Venesia. Pukul 7.18 pagi saya tiba di stasiun sekaligus dermaga, terlambat dua menit dari jadwal. Saya masih bisa mengejar film pertama yang telah saya pesan tiketnya pagi itu, Master Gardener karya Paul Schrader, pada pukul 11. Festival telah dibuka tiga hari sebelumnya. Direktur festival, Alberto Barbera, mengutip Wim Wenders (sutradara Wings of Desire/Der Himmel über Berlin) dalam pidato pembukaannya.
“Traveling by definition is both coming closer and moving away. (…)
I wonder if the meaning of travel is not ultimately in returning, having taken one’s distance to see better, or simply to be able to see.” (Wim Wenders, The Act of Seeing)
Kutipan itu terasa pas untuk menelisik perjalanan menuju festival ini. Saya bertanya-tanya, kenapa ribuan orang seakan-akan berziarah setiap musim panas ke Pulau Lido di Kepulauan Venesia? Pada keterangan tertanggal 8 September 2022, penyelenggara menyebutkan ada 10 ribu akreditasi pengunjung untuk pers dan industri. Pun 29.742 tiket terjual hingga hari ketujuh festival.
Aktor dan kru saat pemutaran film Argentina 1985 di Festival Film Venesia ke-79 di Italia, 3 September 2022. REUTERS/Guglielmo Mangiapane
Ini adalah festival film di Eropa yang tertua. Diselenggarakan pertama kali pada Agustus 1932 oleh partai fasis yang berkuasa di Italia saat itu, ia merupakan bagian dari Venice Biennale, salah satu pameran seni tertua di Eropa—didirikan oleh Dewan Kota Venesia pada 19 April 1893. Ada ketegangan di situ hingga era Perang Dunia II antara kebebasan artistik dan kepentingan politik fasis.
Ribuan penonton datang setiap tahun ke Pulau Lido, menginap di Pulau San Marco atau pulau-pulau lain di situ dan setiap hari naik kapal motor (“bus air”) untuk menonton film di Lido. Atau menginap di Lido, sebuah pulau manis dan kalem yang besarnya paling sekelurahan di Jakarta. Datang ke Venesia lewat jalur udara dan mendarat di bandara Marco Polo, kita bisa langsung naik bus air bertiket 15 euro (atau taksi air, bisa 150-an euro) di dermaga yang menempel di bandara. Atau lewat darat.
Saya turun dari bus di stasiun sekaligus Dermaga Tronchetto. Cukup banyak penumpang dari Jerman ataupun Vienna turun di situ. Seperti kata Wim, kami “mendekat, sekaligus menjauh” agar dapat “melihat lebih baik”, atau bahkan sekadar agar bisa “melihat sesuatu”. Lakon “melihat” adalah saripati peristiwa sinema.
Dan di Venesia, apakah yang akan kita lihat?
•••
TATKALA mengutip Wim, Alberto lebih menekankan persoalan sinema di tengah pertumbuhan media-media baru. Gagasan tentang sinema selalu bergerak, berkelindan dengan perubahan-perubahan teknologi, ekonomi, dan sosial-budaya di dunia. Dalam pengertian itu, sinema selalu dalam perjalanan (journey).
“Cinema still wants to try to explore ways of thinking, big themes and big questions, the profound relationships that tie people to one another, the power of feelings and memory and the ability to push one’s gaze beyond the horizon of the present.”
Begitu tulis Gian Piero Brunetta dalam buku The Venice International Film Festival 1932-2022 setebal 1.200 halaman dan terbit tahun ini yang dikutip oleh Alberto. Pidato pembukaan itu berlanjut dengan semacam kredo sang direktur. “Festival Film Venesia juga demikian: sebuah undangan untuk melakukan perjalanan penuh kejutan; ketika festival ini berakhir, maka kita tak akan sama lagi dengan saat kita pertama kali melakukan perjalanan.”
Aktor dan kru film Don't Worry Darling di Festival Film Venesia ke-79 di Italia, 6 September 2022. La Biennale di Venezia
Rangkaian film dan program selama 11 hari festival memang menjanjikan sebuah perjalanan kultural yang mengesankan. Ada sebanyak 73 film panjang baru dengan 23 film masuk kompetisi utama. Ada pula 16 film pendek baru, antara lain karya sutradara kawakan Sally Potter yang mengadu akting Chris Rock dengan Javier Bardem dalam Look at Me. Ada dua seri televisi yang diperlakukan sebagai film panjang, yakni Riget Exodus karya Lars von Trier (durasi 295 menit) dan Copenhagen Cowboy karya Nicolas Winding Refn (292 menit).
Film panjang lain juga diputar. Bardo: False Chronicle of a Handful of Truths karya Alejandro G, Iñárritu, 174 menit, banyak dicerca kritikus sebagai hasrat meniru 8 ½ karya Fellini, tapi terjerembap hanya menjadi kemanjaan eksesif seorang sutradara egosentris. Di sisi lain, When the Waves are Gone karya Lav Diaz dari Filipina, berdurasi 187 menit (terhitung salah satu yang pendek dibanding film-filmnya yang lain), tak cukup dibicarakan.
Yang lebih sedikit lagi dibicarakan adalah Gli Ultimi Giorni Dell’Umanità (The Last Days of Humanity), berdurasi 196 menit, karya Enrico Ghezzi dan Alessandro Gagliardo. Padahal mungkin ini film yang paling mengejewantahkan gagasan Brunetta di atas bahwa “sinema masih mencoba menjelajahi berbagai cara berpikir, tema-tema besar, dan pertanyaan-pertanyaan besar.” Enrico merekam ratusan jam percakapannya dengan filsuf Emanuele Severino yang bermula dari pertanyaan tentang hakikat sinema sebagai alat bagi dunia untuk dapat memandang dirinya sendiri.
Penggemar film bersantai di dekat karpet merah Festival Film Venesia ke-79 di Italia, 31 Agustus 2022. REUTERS/Yara Nardi
Dalam festival ini diputar juga 19 film klasik hasil restorasi dari Italia, Jepang, Prancis, Amerika Serikat, Rusia, Taiwan, serta India, dan sembilan film dokumenter tentang sinema. Di samping film panjang (lazimnya berdurasi di atas 40 atau 60 menit), ada program film-film immersive—sinema yang sedang berjalan jauh dari segi teknologi, memanfaatkan penuh teknologi digital dalam produksi hingga penayangan. Ada 89 proyek film immersive ditayangkan.
Seluruhnya, ada 56 negara terwakili dalam festival ini. Tapi apakah festival ini telah mampu melampaui Erosetrisme dan Hollywoodisme?
•••
APAKAH sebuah kejutan jika Hollywood masih dielu-elukan di karpet merah Venesia? Makbul Mubarak, sutradara yang sebermula seorang kritikus film di Cinema Poetica, dalam sebuah obrolan informal di hari kesembilan festival, mengatakan bahwa Venice Film Festival memang kini lebih hendak menautkan diri pada Hollywood dan Oscar. Para pemenang di Venesia beberapa tahun belakangan menjadi proyeksi di Oscar.
Sejak 1932, upaya Venesia merayu Hollywood telah tampak, ketika pada 1932 festival ini tanpa kompetisi memilih Dr. Jekyll and Mr. Hyde sebagai film paling orisinal. Banyak jejak rayuan pada Hollywood itu. Di sebuah restoran di area terminal bus air Lido, Santa Elisabetta, saya melihat reproduksi foto Paul Newman di Festival Film Venesia pada 1963. Newman dan Festival Film Venesia 1963 memang digadang-gadang sebagian media sebagai pengubah Festival Film Venesia selamanya.
Aktor dan penyanyi Harry Styles tiba di lokasi Festival Film Venesia ke-79, pada 5 September 2022. REUTERS/Guglielmo Mangiapane
Kita lihat, tahun ini lampu menyorot ke mana. Julianne Moore menjadi presiden juri festival tahun ini. Ada Kazuo Ishiguro, pemenang Hadiah Nobel Sastra, di jajaran dewan juri. Ada pula Mariano Cohn (sutradara Argentina), Leonardo di Costanzo (sutradara Italia), Audrey Diwan (sutradara dan penulis Prancis), Leila Hatami (artis kelahiran Iran), Rodrigo Sorogoyen (sutradara Spanyol). Lampu sorot pers lebih banyak diarahkan pada Julianne ketimbang, misalnya, pada Kazuo atau Audrey yang pada tahun lalu memenangi Golden Lion dalam festival ini.
Semua pembuat film dan bintang mereka yang masuk ajang kusala dan penghargaan mendapat perlakuan karpet merah. Tapi yang mendominasi percakapan pers dan media sosial tetaplah para bintang Hollywood. Film pembuka, White Noise, adalah adaptasi Noah Baumbach terhadap novel kanon Amerika berjudul sama karya Don DeLillo. Bintangnya, Adam Driver dan Greta Gerwig—dua kesayangan sinema indie Amerika yang telah menembus ranah film blockbuster. Tapi tak banyak sorotan pada film dan para pemainnya.
Malah Timothée Chalamet melahap perhatian paling banyak dengan baju merah telanjang punggungnya. Film yang ia bintangi di festival ini, Bones and All, juga dipuja-puji media—kisah romantis sepasang remaja kanibal. Sutradaranya, Luca Guagdanino, mendapat penghargaan sutradara terbaik.
Terdapat juga kegaduhan lain: segala gosip seputar film Don’t Worry Darling karya Olivia Wilde, Florence Pugh yang tak datang ke jumpa pers, dan Harry Styles yang terlihat meludahi Chris Pine di acara jumpa pers. Pun Flo konon berantem dengan Olivia selama syuting. Harry konon berpacaran dengan Olivia. Harry ngelantur soal filmnya yang “terasa sebagai film” dan kamera menyorot tampang Chris yang aneh mendengar Harry. Lantas ini menjadi viral di jagat Twitter selama dua-tiga hari. Astaga, filmnya sendiri tak sepadan untuk diributkan demikian.
Suasana di Pulau Lido, tempat berlangsungnya Festival Film Venesia ke-79. Dyantini Adeline
Di tahun-tahun ketika kita menyaksikan Everything Everywhere All at Once atau seri Wanda/Vision dan Loki yang mampu bermain-main bentuk di samping bermain-main dengan konsep ruang, waktu, dan “realitas” secara ringan dan amat menghibur, Don’t Worry Darling jadi terasa tanggung.
Ini mirip yang saya rasakan setelah menonton Blonde dari sutradara Andrew Dominik. Film ini mengadaptasi novel Joyce Carol Oates yang mensubversi sejarah Marlyn Monroe dan para lelakinya (termasuk gambaran degil presiden John F. Kennedy). Dominik menerapkan begitu banyak akrobat visual: rasio aspek yang berubah-ubah, silih ganti wewarna dan hitam-putih yang begitu kerap, serta kamera yang sibuk bergerak.
Tapi ia juga membuat Anna de Armas yang mumpuni sebagai Marlyn terlalu banyak menangis dan topless—semacam obyektifikasi yang lajak terhadap sosok yang telah terlalu sering diobyektifikasi. Subversi ini tanggung dan membatalkan dirinya sendiri. Tentu saja Anna tetap patut dipuji atas totalitas aktingnya. Setidaknya ada tiga bintang Hollywood selain Armas yang dipuji di Venesia tahun ini.
Sutradara Makbul Mubarak (kiri) di Venesia, 2 September 2022. Dyantini Adeline
Cate Blanchett menonjol dalam Tár (Todd Field) sebagai perempuan pengaba orkestra yang ketanggor budaya pembatalan (cancel culture). Dia meraih penghargaan perempuan pemeran terbaik. Collin Farrell menjadi lelaki pemeran terbaik dalam The Banshees of Inisherin karya Martin McDonough (yang juga meraih penghargaan skenario terbaik untuk film ini). Branden Fraser mendapatkan tepuk tangan panjang dalam pemutaran perdana The Whale (Darren Aronofsky) di Venesia, tapi kini film dan karakternya menjadi kontroversi di media dan media sosial Barat karena dianggap memancing fobia pada kegemukan.
Cate dan Branden berperan dalam karakter yang bisa jadi tampak sebagai “umpan Oscar”: intens dalam olah tubuh, ekstrem dalam watak. Ada satu peran yang tampak sebagai umpan Oscar juga, tapi hadir dalam sebuah film berskala kecil dan bernada rendah: Tilda Swinson dalam Eternal Daughter karya Joanna Hogg. Dia berperan sebagai seorang seniman di usia paruh baya dan sebagai ibunya yang sedang berkutat pada senja usia. Sang anak membawa ibunya ke sebuah hotel yang dihantui masa silam keduanya.
Film-film dari tepian industri sinema seperti inilah yang selalu menarik dalam festival-festival sekaliber Festival Film Venesia ini. Inilah sudut-sudut sinema yang sering memberi kejutan menyenangkan dalam perjalanan sinematik penonton.
•••
APA yang saya sebut “sudut” sebetulnya adalah sebuah dunia sendiri yang kaya dan luas. Imaji “sudut” lebih terbentuk oleh kearusutamaan dalam industri film di dunia yang didominasi Hollywood dan, hingga titik tertentu, Erosentrisme. Persis seperti kata “menyempal”, yang mengimplikasikan sebuah pusat sebagai sudut pandang.
Masih terasa Erosentrisme itu, misalnya dalam The Bride karya Sérgio Tréfaut. Film ini berkisah tentang seorang remaja Eropa, Barbara, yang hijrah ke Suriah untuk menjadi warga kekhalifahan Daesh/ISIS bersama suaminya yang aslinya warga Prancis. Setelah Daesh takluk, ia hidup dalam penjara di Irak dalam status kewargaan menggantung. Eropa tak ingin menerimanya lagi. Timur Tengah pun tak pernah mengakui kewarganegaraannya. Topik serupa diangkat juga dalam film dokumenter The Matchmaker (Benedetta Argenteri) yang ditayangkan di festival kali ini.
Sutradara Makbul Mubarak (berkemeja biru) dan produser film Yulia Evina Bhara menerima penghargaan First Film Award dari FIPRESCI di Festival Film Venesia 2022. Sigit D. Pratama
Kontras dengan filmnya yang sunyi (minim dialog), sang sutradara cukup bawel di sesi tanya-jawab seusai film. Ia mengaku benci bagaimana pers Barat memberitakan isu para perempuan Eropa mantan ISIS yang terkatung-katung tanpa kewarganegaraan tanpa pengadilan saat ini. Tapi filmnya sendiri hanya berfokus pada para perempuan Eropa yang seakan-akan “terjatuh” pada paham iblis yang sukar dipahami. Para perempuan Timur Tengah yang punya posisi serupa diletakkan hanya sebagai latar. Posisi mereka sebagai pemercaya ISIS tampak given, alias dari sono-nya. Non-problem bagi mata Eropa sang sutradara.
Tatapan Erosentris itu dijungkirbalikkan oleh feminisme pascakolonial dari Alice Diop dalam film fiksi panjang pertamanya, Saint Omer. Seorang perempuan kulit hitam dengan profil sosial tipikal imigran Afrika kelas bawah diadili pengadilan Prancis karena membenamkan bayinya ke laut dan dilabeli sebagai penipu antara lain karena mengaku-ngaku sedang mengejar gelar PhD dengan mengkaji pemikiran Ludwig Wittgenstein. Dosennya, orang kulit putih, ngedumel: “kenapa dia tidak mengkaji pemikiran kaumnya?”
Saint Omer memenangi Grand Jury Prize Silver Lion. Pemenang Golden Lion tahun ini adalah All The Beauty and the Bloodshed karya Laura Poitras (pemenang Oscar untuk dokumenter Citizen Four). Ini adalah film dokumenter tentang perlawanan seniman-aktivis Nan Goldin terhadap keluarga Sackler, konglomerat farmasi yang dianggap bertanggung jawab atas kecanduan banyak orang akibat mengkonsumsi OxyContin.
Taylor Russell dan Timothee Chalamet (kanan)saat pemutaran film Bones And All di Festival Film Venesia ke-79 di Italia, 2 September 2022. La Biennale di Venezia
Kemenangan ini cukup tak terduga. Film ini tak terlalu banyak dibicarakan para kritikus yang datang ke Venesia. Persoalan yang diangkat juga isu yang relatif “terlalu Amerika”. Sementara itu, cukup banyak film yang tayang mengandung isu pascakolonial dan selatan global yang lebih kuat. Seperti yang tampak dalam film seperti Goliath (tentang gangster Islam di pelosok Kazakstan, karya Adilkhan Yerzhanov), Argentina, 1985 (tentang peradilan rezim militer Argentina, karya Santiago Mitre), When the Waves are Gone (tentang kekerasan negara di Filipina, karya Lav Diaz), atau film terbaru Jafar Panahi yang baru saja masuk penjara, No Bears. Panahi masih dilarang berkarya oleh pemerintah Iran dan baru saja dipenjara. Dia memberi semacam esai neorealisme khas Iran via film ini tentang makna perbatasan dan kamera.
Film Indonesia yang masuk ajang Horizons Festival Film Venesia, Autobiography, termasuk film yang membawa kepekaan isu sejarah politik dan kekerasan dari selatan global. Sudut-sudut sinema sedang mendesakkan diri pada pusat. Autobiography tayang perdana secara internasional (world premiere) di Sala Darsena, dengan kapasitas 1.400-an penonton (dan penuh) serta mendapatkan empat kali pemutaran selama festival. Seorang perempuan sepuh di sebelah saya salah satu yang tak henti bertepuk tangan dan menyeru, “Bravo! Bravo!”
Saya berpikir perjalanan sinematik ini meyakinkan saya, betapapun, platform bagi aneka suara dalam dunia sinema tetaplah penting. Walaupun demikian, bisa jadi platform masih terbatas bagi tampilnya suara-suara yang lebih beragam. Ini bisa dibandingkan, misalnya, dengan festival film di Toronto, Busan, atau Yogyakarta (JAFF, salah satu festival internasional terpenting di Asia Tenggara).
Perjalanan ke Festival Film Venesia ini menjadi lengkap dengan harapan tatapan kolonial dan kemasabodohan utara global masih bisa diupayakan untuk dibongkar di dunia film. Bravo, Venesia!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo