Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Antropolog Ismail Fajrie Alatas membahas soal otoritas ulama dalam buku terbarunya, What Is Religious Authority?.
Tempo mewawancarai Ismail seusai diskusi bukunya di Yogyakarta dan menanyakan alasan dia membahas Islam dengan perspektif marxisme.
Ismail menyatakan kerja para ulama membangun komunitasnya serupa konsep Marx soal labor.
Bagi Ismail Fajrie Alatas, Indonesia adalah pasar besar untuk produk keagamaan. "Menyatukan umat Islam adalah hal yang mustahil," kata dia. Sebab, dia melanjutkan, ada banyak ulama yang mengaku punya otoritas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lektor Kepala Studi Islam, Timur Tengah, dan Sejarah di New York University, Amerika Serikat, itu menolak penyebutan kiai atau ulama karismatik. Sebab, kata Ismail, ulama menjadi berpengaruh karena kerja terus-menerus membangun jemaahnya secara konsisten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ismail, 40 tahun, menulis soal kerja-kerja otoritas keagamaan yang tidak terpisah dari realitas sosial dalam buku terbarunya, What Is Religious Authority? Menyemai Sunnah, Merangkai Jamaah. Buku keempatnya itu dicetak Mizan setelah Princeton University Press, New Jersey, AS, sebagai pemegang hak cipta, menerbitkan pada 2021.
Tempo mewawancarai antropolog kelahiran Semarang itu seusai diskusi buku What Is Religious Authority? di studio seni milik perupa Nasirun di Perumahan Bayeman Permai, Yogyakarta, pada Selasa malam, 30 Januari 2024. Berikut kutipannya.
Ismail Fajrie Alatas (kanan) menandatangani buku terbarunya, What Is Religious Authority di Studio Nasirun di Yogyakarta, 30 Januari 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Bagaimana Anda memandang keragaman ulama-ulama di Indonesia?
Indonesia pasar yang besar untuk produk keagamaan. Peran kiai atau figur yang mendaku punya otoritas banyak sekali. Masalahnya, ada sebagian yang bermasalah dan ada yang tidak. Ada kompetisi. Itu konsekuensi dari pasar bebas.
Mana yang otoritatif, mana yang tidak?
Otoritas itu bicara masa lalu dan masa kini tanpa pemaksaan. Kiai yang otoritatif adalah mereka yang mampu membangun komunitasnya atau jemaah. Ulama-ulama itu mengerjakan hal-hal yang dekat dengan keseharian jemaah. Mereka bekerja keras menemui tamu, melerai konflik, membangun masjid, membuat fundraising.
Anda menggunakan pendekatan marxisme dalam menulis buku?
Ya.
Mengapa marxisme?
Saya mencoba menulis sejarah yang tidak historis. Sejarah yang terdiri atas kontestasi moda-moda produksi keislaman. Itu poin penting dari Karl Marx. Marx bicara bagaimana mengimajinasikan sejarah sebagai sesuatu yang tidak linier tapi penuh kontradiksi. Banyak sekali moda produksi ekonomi yang berbeda. Kalau Marx bicara itu, saya bicara moda-moda produksi keagamaan. Contohnya adalah moda-moda produksi dalam sunah yang berbeda dan saling bersaing.
Apa perlunya kontradiksi antarmoda itu?
Bila kita tidak menggunakan pendekatan Marxisme, maka melihat Islam hanya sebatas Islam seperti dulu dan sekarang, yang lebih modern. Padahal tidak serapi itu. Masih banyak sejarah dan moda produksi yang membuka kemungkinan atau cara-cara keislaman yang berbeda.
Anda menyebutkan ulama membangun jemaah sebagai sesuatu yang otoritatif. Apakah itu bagian dari mengartikulasikan gagasan Marx?
Ya. Karl Marx itu berfokus pada labor atau kerja, sesuatu yang konkret yang menjadi bagian dari sejarah Islam. Membangun jemaah merupakan kerja keseharian atau sesuatu yang konkret. Islam itu bicara realitas sosial yang hidup, menarik, dan tidak homogen.
Apakah Islam tidak homogen?
Islam itu kompetisi pasar bebas dan menjadi agama dunia tanpa struktur imperium. Peradaban Islam itu kompleks dan heterogen. Jadi, tidak bisa seragam. Umat Islam, ya, memang tidak bisa bersatu. Islam melahirkan perbedaan atau kemajemukan dalam membangun jemaah. Penyeragaman dalam Islam itu hal yang mustahil secara sosiologis.
Biodata Ismail Fajrie Alatas.
SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo