Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AIR mata psikolog olahraga Dian Wisnuwardhani menitik saat dia menuturkan kondisi traumatis para pemain Arema FC yang ia dampingi selepas tragedi Kanjuruhan, 1 Oktober 2022. Rasa waswas terus mengusik benak mereka seusai tragedi sepak bola yang menewaskan 135 orang dan mencederai lebih dari 600 orang itu. “Kondisi mental mereka saat itu sangat menyedihkan,” kata Dian ketika berbincang dengan Tempo di rumahnya di Jakasetia, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu, 12 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gangguan psikis itu menghinggapi para pemain Arema. Tragedi penembakan gas air mata ke tribun penonton di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, seusai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya itu menyebabkan performa pemain klub berjulukan Singo Edan tersebut menurun drastis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi itu membuat para petinggi klub Arema prihatin. Mereka kemudian meminta bantuan psikolog sebagai upaya pemulihan. Ada lima psikolog dalam tim pendampingan psikologis. Di antaranya Dian sebagai koordinator lapangan serta Diana dan Edward Andriyanto Soetardhio. Ketiganya berasal dari Universitas Indonesia.
Psikolog Olahraga, Dian Wisnuwardhani, saat melakukan kegiatan pendampingan kepada para pemain Arema FC. Dok. Pribadi
Menurut Dian, pendampingan psikologis itu diperlukan sebagai upaya menumbuhkan kembali gairah para pemain Arema untuk berlatih dan bertanding, juga beraktivitas sehari-hari secara normal. Pendampingan itu dimulai dengan pemberian konseling kepada pemain baik secara berkelompok maupun personal. “Dimulai pada 19 Oktober 2022 dan berjalan hampir dua pekan,” ujarnya.
Dian kemudian menuturkan cerita traumatis para pemain Arema yang ia dampingi. Selepas tragedi itu, ada pemain yang mengaku bersalah karena kekalahan mereka melawan Persebaya Surabaya membuat para fan Arema bereaksi.
“Karena kami kalah, penonton marah, akhirnya terinjak-injak di lapangan. Lalu banyak yang tewas terkena tembakan gas air mata. Seharusnya itu tidak terjadi,” ucap Dian, mengenang cerita seorang pemain Arema ketika ia memberikan konseling selama Oktober-November 2022.
Ada juga pemain yang mengaku kerap mendengar suara teriakan perempuan meminta tolong. Selain itu, ada bayangan penonton yang tewas terkapar yang terlintas ketika pemain itu sedang menyetir mobil. Semua itu terus menelusup dalam memori para pemain. Akibatnya, rasa cemas pun kerap kambuh dan mereka tak bisa tidur.
Bertolak dari pengalaman traumatis itu, Dian dan rekan-rekannya bekerja memberikan konseling. Mulanya Dian menanyakan siapa orang yang biasa dijadikan tempat berbagi keluh-kesah para pemain. “Ada yang menjawab istri,” tuturnya. Ia kemudian menyarankan pemain berkomunikasi dengan orang tersebut setiap kali rasa cemas muncul.
Dalam pendampingan, Dian menerapkan metode butterfly hug. Dian mengungkapkan, metode stabilisasi emosi yang dia sebut teknik pelukan diri sendiri itu ia adopsi dari Amerika Latin. Caranya, dua tangan disilangkan sambil memeluk lengan dengan memejamkan mata. Selanjutnya, Dian meminta mereka menepuk dua lengan secara bersamaan, lalu membayangkan bertemu dengan orang yang disayangi.
Setelah itu, mereka menuturkan isi hati dan orang tersebut membalas dengan mengeluarkan kalimat positif untuk membuat mereka kembali bersemangat. “Boleh pejamkan mata, melek juga boleh. Bayangkan,” kata Dian.
Metode butterfly hug bisa dilakukan sendiri. “Kalau tidak ada orang lain hadir memberikan pelukan kepada kita, kita bisa memberikan pelukan kepada diri sendiri,” ujar Dian. Dari situ, terjadi perubahan pada kondisi psikis pemain. Mereka merasa seperti sedang bercakap dengan istri atau orang tersayang.
Cara berikutnya, Dian membawa para pemain ke tengah lapangan Tirtomoyo di Kabupaten Malang. Mereka kemudian membentuk lingkaran dan Dian berdiri di tengah. Dian meminta para pemain yang berusia 17-30 tahun itu mengikuti perintahnya. Durasinya 10 menit.
Pertama-tama, Dian meminta mereka membuang isi pikiran mengerikan yang muncul ketika melihat lapangan sepak bola, yang mendatangkan rasa takut dan cemas serta membuat mereka tidak bergairah dan tak bersemangat mengikuti latihan. Lalu mereka diminta menulis atau menggambar isi pikiran di kertas tanpa berbicara. Kemudian para pemain melempar kertas itu ke dalam tong sampah di dekat mereka sembari berteriak kencang. “Teriak itu kayak kita yel-yel saja. Huaaa.... Itu kan bikin bersemangat,” kata Dian.
Syahdan, pada hari kedelapan pendampingan, semangat para pemain Arema mulai bangkit. Mereka juga mulai bercanda satu sama lain. “Saya terharu sampai berpelukan sama tim psikologis karena kami merasa berhasil membuat mereka bersemangat latihan di lapangan,” ucap Dian dengan mata basah.
Selain para pemain, tim pelatih mengikuti program pemulihan mental. Hanya, metodenya berbeda, yakni teknik point of view dengan kartu bergambar.
Dian menjelaskan, para pelatih dan tiga psikolog duduk meriung mengelilingi sebuah meja. Kartu bergambar kemudian disebar di atas meja. Setiap pelatih lantas memilih satu kartu. Salah satu pelatih saat itu mendapat gambar sepatu balet yang tampak kotor. “Ketika dibuka, gambar itu bisa menampilkan emosi,” kata Dian.
Dari gambar itu, seorang pelatih bercerita bahwa sepatu kotor tersebut menggambarkan klub Arema. Dian ingat, saat itu seorang pelatih mengatakan Arema yang tangguh setelah mengorbankan banyak waktu dan tenaga di lapangan hijau tiba-tiba lumpuh dan terpuruk karena tragedi Kanjuruhan. “Jadi tinggal bagaimana kita memotivasi mereka agar bangkit dari kondisi setelah tragedi Kanjuruhan,” tuturnya.
Hingga saat ini, hubungan Dian dengan tim Arema, yang saat itu diasuh pelatih asal Cile, Javier Leopoldo Roca Sepúlveda, terus berlanjut. “Waktu itu saya bilang, ‘Kalian orang tangguh. Bukan orang main-main. Dari kecil kalian sudah latihan, bangkit!’,” ucapnya.
Bagi Dian, mengembalikan semangat para pemain Arema menjadi tugas terberat dalam perjalanannya sebagai psikolog olahraga. “Itu tantangan paling besar buat saya,” kata alumnus psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, ini.
•••
LAHIR di Malang, 15 Mei 1977, Dian Wisnuwardhani telah menempuh perjalanan cukup panjang dalam menggeluti profesi psikolog. Bungsu dua bersaudara putri Sonny Wibisono Widjanarko dan Joyce Setyawati ini telah banyak berkiprah dalam penyuluhan tentang kondisi mental dan pemulihan psikologis.
Selain mendampingi narapidana dewasa, Dian pernah menangani pemulihan psikis keluarga korban tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, dan keluarga korban banjir Manokwari, Papua.
Pada 2010, Dian mendapat tugas dari kampusnya menemani satu tim penari mahasiswa psikologi Universitas Indonesia mengikuti festival budaya di Eropa. Tim itu tampil di Spanyol, Portugal, dan Kepulauan Canaria. Mereka mementaskan berbagai tarian khas daerah Nusantara, antara lain tari Saman dari Aceh.
Selain memberikan pengarahan, mengawasi, dan memotivasi para penari, Dian harus giat mendampingi mereka supaya tetap berfokus meraih kemenangan dan mengenal orang asing selama festival berlangsung. “Karena saya bertanggung jawab kepada mereka. Kalau ada apa-apa, saya yang kena,” tuturnya.
Upaya Dian berbuah manis. Tim penari itu menjadi pemenang kategori The Best Dance dengan membawakan tari Saman. “Itulah pengalaman saya mendampingi para remaja ke luar negeri,” ucapnya.
Kegiatan pendampingan untuk atlet marinir oleh Dian Wisnuwardhani di Kesatrian Marinir Hartono Cilandak, Jakarta Selatan, 6 September 2023. Dok. Yonif 6 Marinir
Sebagai psikolog, Dian menggunakan pendekatan ilmiah dalam menekuni profesinya. Teori yang ia pakai adalah resiliensi dan pengenalan dasar emosi. Dian menjelaskan, resiliensi adalah kesanggupan individu yang terpuruk secara psikis tapi berusaha bangkit dan tumbuh kembali.
Adapun teori pengenalan dasar emosi berupa teknik stabilisasi emosi yang bertujuan mengembalikan emosi individu menjadi pulih dan stabil. Dalam kasus para pemain Arema, misalnya, teori itu bertujuan memulihkan emosi mereka agar kembali bergairah berlatih. “Itu saya lakukan di Arema,” ujar lulusan program magister psikologi Universitas Indonesia ini.
Selain menerapkan teori resiliensi dan pengenalan dasar emosi, praktik konseling yang Dian lakukan sejak 2005 memakai teori humanistik. Seperti dijelaskan ilmu konseling, manusia harus menerima keadaan saat ini, percaya bahwa setiap manusia punya kelebihan dan kekuatan.
“Jadi kami mengintegrasikan semua ilmu yang kami dapatkan, lalu kami praktikkan di lapangan,” ujar penerima sertifikat appreciative inquiry dari Case Western Reserve University, Cleveland, Ohio, Amerika Serikat, pada 2007 tersebut.
Pencetus teori humanistik itu adalah Viktor Emil Frankl, yang pernah ditahan di kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Polandia; dan Dachau, Jerman, selama 1942-1945. Frankl mengisahkan bagaimana dia bertahan hidup di kamp-kamp mematikan itu dalam bukunya, Man's Search for Meaning.
Dian mengungkapkan, peran dan kehidupannya banyak dipengaruhi pemikiran Frankl. “Viktor menyatakan bahwa setiap manusia memiliki hidup yang bermakna,” tutur ibu satu anak ini. Dengan memegang pemikiran tersebut, Dian menjalani kariernya sebagai psikolog.
•••
SELAMA berkiprah sebagai psikolog, Dian Wisnuwardhani banyak mendampingi atlet di beberapa cabang olahraga. Pada 2022, Dian mendapat tugas mendampingi para atlet selam sirip atau fin swimming yang mengikuti SEA Games Vietnam. Bersama lima rekannya di Ikatan Psikolog Olahraga, ia memberikan pendampingan selama Januari-Juni 2022.
Sebelum bertolak ke Vietnam, Dian memberikan konseling penguatan mental yang dibutuhkan para atlet sesuai dengan petunjuk pelatih mereka. Ia memulai konseling dengan mewawancarai setiap atlet selam yang mengikuti seleksi nasional. Dari hasil tanya-jawab, ternyata banyak atlet itu yang merasakan dampak tekanan psikologis, seperti susah tidur, cemas, takut, tidak berfokus, dan keder melihat lawan yang lebih kekar.
Gangguan semacam itu menyebabkan para atlet sulit berkonsentrasi dalam latihan. Perasaan deg-degan dan cemas membuat atlet tidak berfokus memperagakan gerakan menyelam dengan maksimal. Kecepatan mereka pun menurun.
Penyebab gangguan psikis itu bermacam-macam. Ada yang terganggu karena masalah pribadi dengan pacar. Selain itu, gangguan muncul karena ucapan motivasi pelatih yang direspons sebagai beban. “Mungkin atletnya capek, terus diberi semangat dengan kalimat, ‘Ayo, harus menang, dong’. Ada atlet yang mendengar itu langsung strong pas latihan,” kata Dian. “Ada yang enggak kuat digituin, malah stres enggak bisa tidur.”
Dari observasi itu, Dian melakukan pendampingan psikologis dengan teknik relaksasi. “Relaksasi ini menggunakan metode butterfly hug dan kalimat positif, latihan pernapasan, dan hipnoterapi,” ujar Dian, yang pada Juli lalu mendampingi atlet seluncur es.
Teknik relaksasi membantu emosi atlet menjadi lebih stabil, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan konsentrasi. Sedangkan metode hipnoterapi dipakai untuk membuat klien merasa lebih tenang, berpikir positif, dan bersemangat ketika bertanding. “Selain itu, meringankan rasa takut sebelum dan sesudah bertanding," tuturnya.
Dalam relaksasi, Dian mengajarkan para atlet berkomunikasi dengan diri sendiri menggunakan kalimat positif atau positive affirmation. Komunikasi itu bisa dilakukan sambil duduk ataupun berbaring, terutama jika mereka membutuhkan relaksasi untuk beristirahat.
Caranya, Dian meminta atlet berbaring dengan tubuh rileks dari ujung kaki hingga kepala. Ketika atlet tampak santai, Dian merapalkan kalimat positif: “Sekarang kamu akan tertidur lelap. Kamu merasa rileks dengan tubuh kamu dari ujung kaki, naik ke lutut, ke paha, ke pinggang. Rileks punggung kamu, ke tangan. Naik ke leher, kepala, pejamkan mata."
Dian meminta atlet itu mengikuti ucapannya: “Kamu merasa nyaman, merasa tenang. Tidur yang nyenyak, merasa nyaman, merasa tenang. Rileks....” Setelah itu, jeda sepuluh menit. Lalu ia melanjutkan: “Kamu mendengar suara saya, kamu merasa nyaman, setelah ini kamu akan tertidur. Nanti, setelah bangun, kamu akan merasakan kesegaran luar biasa dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kamu akan merasakan energi yang sangat kuat sehingga kamu bisa fokus dalam pertandingan."
Mendengar kalimat hipnoterapi tersebut, atlet itu pun tertidur. “Saya tidak boleh kasih kalimat menegangkan, tapi menenangkan. Nadanya harus monoton,” ujar Dian. “Pertama ‘tidur ayam’, lama-kelamaan tidur beneran dua jam.”
Kalimat positif kembali diucapkan ketika atlet itu akan bangkit dari tidur. “Sudah waktunya kamu bangun. Ketika kamu bangun, kamu merasa sangat nyaman dan energimu makin kuat,” ucap Dian. Setelah bangun, atlet itu ia minta menarik napas delapan kali dan kemudian mengembuskannya. Perlahan atlet itu diminta membuka mata, lalu meminum air sambil mengatakan: “Saya merasa lebih kuat.”
“Setelah proses relaksasi dan bangkit dari tidur, mereka menceritakan energi yang masuk ke tubuh membuat mereka merasa segar,” tutur Dian.
Meski tak ada paksaan bagi atlet untuk mengikuti pendampingan psikologis, Dian tetap rutin menjalankan tugasnya mendatangi kamar atlet yang membutuhkan uluran tangannya untuk mengatasi tekanan mental. Hal itu pula yang ia lakukan dalam pendampingan ketika mereka berlaga di Vietnam. Dian kerap mengunjungi kamar atlet untuk membantu mereka lebih rileks.
Dian menuturkan, ada tim atlet selam estafet yang rutin mengikuti sesi itu. “Atlet yang saya hipnoterapi itu enggak ditargetkan meraih emas. Tapi akhirnya mereka dapat emas di selam estafet,” ucapnya.
Ada kisah lain yang ia temukan ketika memberikan pendampingan psikologis di Vietnam. Misalnya, ada atlet yang terlihat baik-baik saja saat masih berada di Indonesia. Namun ketika tiba waktu pertandingan, pemuda itu menjadi lebih diam dan tampak cemas. Dian kemudian mendekatinya dan menawarkan relaksasi. “Sudah, Mbak. Aku enggak apa-apa,” ucap Dian, menirukan jawaban atlet itu.
Mendengar itu, Dian merasa cukup memberikan kalimat positif. Metode ini berupa penuturan kalimat yang membuat atlet itu percaya diri untuk bisa tampil dengan performa terbaik. "Kamu akan baik-baik saja,” kata Dian waktu itu sambil menepuk punggung atlet tersebut. “Aku seperti kirim energi positif kepada dia," tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pendamping Atlet Menghadapi Tekanan Mental "