Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prasasti Pucangan dan Sangguran diangkut oleh Sir Thomas Stamford Raffles ke India pada awal abad XIX.
Prasasti Sangguran menjadi hak milik keturunan Lord Minto di Skotlandia, sementara Prasasti Pucangan berada di Indian Museum di Kolkata.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan akan melanjutkan rencana repatriasi kedua prasasti tersebut.
SETELAH pemulangan lebih dari 700 benda bersejarah dari Belanda, Indonesia memiliki target repatriasi baru: Prasasti Pucangan di India dan Prasasti Sangguran di Skotlandia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelaksana tugas Kepala Badan Layanan Umum Museum dan Cagar Budaya Ahmad Mahendra mengatakan pemulangan kedua batu bertulis itu meliputi sejumlah tahap. Dari diplomasi antarnegara, penyusunan nota kesepahaman, komunikasi dengan pengelola museum penyimpan prasasti, hingga pembentukan tim repatriasi beserta pembiayaannya. "MoU (nota kesepahaman) menjadi dasar proses administrasi pemulangan koleksi," kata Mahendra kepada Tempo lewat sambungan telepon, Senin, 21 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, mendatangi Prasasti Pucangan di Indian Museum di Kolkata, India, pada 2022. Menurut dia, batu bertulis itu dalam kondisi terawat di gudang penyimpanan koleksi. Namun tulisannya aus karena termakan usia.
Hilmar menyampaikan rencana pemulangan prasasti tersebut. "Pengelola bilang, 'Wah, sudah ada rencana menggelar pameran'," ucap Hilmar kepada Tempo di Gedung E Kementerian Pendidikan—kini Kementerian Kebudayaan—di Senayan, Jakarta Pusat, pada Senin, 21 Oktober 2024.
Rencana repatriasi Prasasti Pucangan pernah dibahas bersama pemerintah India dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di New Delhi pada September 2023. "Tapi terhenti," ujar Hilmar.
Hilmar Farid berada di samping Prasasti Pucangan yang di Indian Museum, Benggala Barat, Kolkata. Instagram Hilmar Farid
Menurut dia, repatriasi Prasasti Pucangan memiliki tantangan. Statusnya berbeda dari ratusan benda bersejarah yang dipulangkan dari Belanda. Arca Singasari dan benda bersejarah lain dijarah pemerintah Hindia Belanda serta diboyong ke negeri mereka. Sedangkan Prasasti Pucangan berada di India karena dibawa Inggris pada masa kolonialisme mereka. "Jadi prasasti itu bukan tanggung jawab mereka," kata sejarawan dari Universitas Indonesia tersebut.
Karena itu, Hilmar melanjutkan, Indonesia perlu duduk bersama India untuk membicarakan latar belakang dan perjalanan Prasasti Pucangan. Diskusi tersebut harus menciptakan pemahaman yang sama dan sulit tercapai dalam satu-dua kali pertemuan. "Saya kira tantangan terbesarnya adalah waktu," ucapnya.
Pada edisi 4 Mei 2015, majalah Tempo menulis laporan tentang prasasti ini. Pucangan memuat cerita yang dipahat dalam dua bahasa: Jawa kuno pada sisi depan dan Sanskerta di bagian belakang. Terdiri atas 36 baris, prasasti ini memuat 34 kalimat. Isi keduanya hampir sama dan saling melengkapi, yaitu mengenai penyerangan Raja Airlangga terhadap raja-raja lain yang tidak tunduk kepadanya. Tulisan dalam bahasa Sanskerta menjelaskan silsilah keturunan dan masa pemerintahannya. Ia memerintah Medang Kahuripan, kerajaan di Jawa Timur, pada abad ke-11.
Prasasti Pucangan dikeluarkan Raja Dharmawangsa Airlangga pada 963 Saka atau November 1041. Prasasti ini diyakini dibuat untuk memperingati penetapan Desa Pucangan, Barahem, dan Bapuri sebagai daerah perdikan untuk pertapaan di daerah Gunung Pugawat.
Pada 1813, Letnan Gubernur Jenderal Jawa Sir Thomas Stamford Raffles mengangkut Prasasti Pucangan dan Sangguran—dari lokasi yang kini berjarak sekitar 5 kilometer dari Kota Batu, Jawa Timur—ke India. Batu bertulis ini dianggap penting untuk menjawab pertanyaan seputar perpindahan pusat Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Raffles hendak mempersembahkan kedua batu bertulis itu untuk atasannya, Gubernur Jenderal Lord Minto I.
Lord Minto sangat menyukai Prasasti Sangguran. Ia lalu mengirim prasasti itu pulang untuk dipajang di halaman rumahnya di puncak bukit Minto Craigs di sebelah utara Sungai Tevoit, Skotlandia. Hingga kini batu bertulis itu masih bertakhta di sana dan dikenal sebagai Minto Stone. Sementara itu, tanpa diketahui alasannya, Prasasti Pucangan ditinggal di India.
Pemerintah juga hendak memulangkan Prasasti Sangguran. Prosesnya, menurut Hilmar, akan berbeda dari rencana repatriasi Prasasti Pucangan. Sebab, Prasasti Sangguran menjadi milik keluarga Minto. Hilmar mengatakan belum ada negosiasi apa pun dengan pemegang hak Minto Stone. "Baru memberitahukan keinginan pemerintah membawanya kembali ke Indonesia," katanya.
Pj Wali Kota Batu Aries Agung Paewai saat mengunjungi Prasasti Sangguran di pekarangan keluarga Lord Minto di Roxburghshire, Skotlandia. Prokopim Kota Batu
Keluarga Minto pernah meminta kompensasi untuk melepas Prasasti Sangguran. Seperti ditulis majalah Tempo, harga awal yang mereka sampaikan sekitar 50 ribu pound sterling atau sekitar Rp 1 miliar. Namun, setelah mendapat bisikan bahwa nilainya bisa jauh lebih tinggi jika dilepas di pasar lelang di Amerika Serikat, mereka mengerek harga menjadi sekitar Rp 10 miliar. "Tinggal pertimbangan dari kita bersama. Seberapa jauh kita menilai pentingnya prasasti," ujar Hilmar.
Bonnie Triyana, sejarawan yang menjadi Sekretaris Komite Repatriasi Koleksi Asal Indonesia di Belanda, mengatakan pemulangan kembali obyek bersejarah dipengaruhi oleh banyak hal. Repatriasi dari Belanda, contohnya, pada awalnya berjalan alot.
Belakangan berkembang diskursus soal kekerasan Belanda saat menduduki Indonesia. Dampaknya adalah muncul perasaan bersalah karena menyimpan benda-benda berharga hasil perampasan. "Orang-orang museum di sana punya beban moral memamerkan barang-barang itu," ucap Bonnie. Selain itu, ada faktor nonteknis berupa hubungan baik antara I Gusti Agung Wesaka Puja, mantan Duta Besar Indonesia untuk Belanda yang ditunjuk menjadi ketua tim repatriasi, dan Kerajaan Belanda.
Menurut Bonnie, yang kini menjadi anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, kelanjutan rencana repatriasi Prasasti Pucangan dan Sangguran bergantung pada pemerintahan baru.
Pada Senin, 21 Oktober 2024, Menteri Kebudayaan Fadli Zon berdiskusi dengan sejumlah orang, termasuk Hilmar Farid, di kantor barunya. Menurut dia, diskusi itu membahas banyak hal, dari soal cagar budaya, film, hingga musik.
Fadli menyatakan akan melanjutkan repatriasi benda-benda bersejarah warisan leluhur bangsa, termasuk Prasasti Pucangan di Kolkata, India, dan Prasasti Sangguran di kediamaan keluarga Minto di Roxburghshire, Skotlandia. "Kami upayakan untuk segera dikembalikan," katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo