Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Poco-poco Demokrasi di Era Jokowi

Sebuah buku yang menyoroti kualitas demokrasi pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Terjadi kemerosotan yang tidak hanya disebabkan oleh kontribusi Jokowi, tapi juga infrastruktur pendukung dan lawan politiknya.

17 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kualitas demokrasi di era pertama pemerintahan Jokowi dianggap menurun

  • Terjadinya polarisasi yang berlangsung terus menerus

  • Akibat ulah pendukung dan lawan politik Jokowi

BUKU ini berangkat dari pertanyaan: bagaimana kualitas demokrasi di era Presiden Joko Widodo? Bagi peneliti politik, pemilihan presiden 2014 dianggap membawa harapan bagi perjalanan demokrasi. Presiden terpilih, Joko Widodo, datang dengan latar belakang yang sama sekali berbeda dengan aktor politik arus utama. Sedangkan lawannya, Prabowo Subianto, memiliki rekam jejak militer yang buruk, merentang dari aneksasi terhadap Timor Timur hingga aneka tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di pengujung Orde Baru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lima tahun pemerintahan Jokowi, atmosfer demokrasi Indonesia mengalami kemunduran yang bahkan jauh lebih dramatis dari prediksi para analis. Suasana inilah yang disorot dalam 17 tulisan di buku Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression yang ditulis para scholar yang mengikuti perjalanan demokrasi 20 tahun terakhir. Penyunting buku ini, Thomas Power dan Eve Warburton, dengan gamblang mengatakan demokrasi mengalami kemerosotan pada periode pertama pemerintahan Jokowi. Indeks demokrasi kita menyentuh level terburuk sejak kejatuhan rezim otoriter Soeharto. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalannya, benarkah kemerosotan demokrasi ini terjadi akibat andil Jokowi seorang? Power dan Warburton menganalisis, kemerosotan demokrasi tidak hanya datang dari atas (elite politik), tapi juga infrastruktur pendukung Jokowi, bahkan lawan politiknya. Indikator paling kentara adalah terjadinya delegitimasi partai politik, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta pembatasan hak sipil politik dengan pengenaan jerat pidana menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).  

Buku ini mula-mula memberi optimisme sejak Jokowi menjabat. Allen Hicken dalam tulisan kedua mengatakan Indonesia masih menjadi negara paling demokratis di Asia Tenggara. Dalam dua dekade terakhir, perjalanan demokrasi Indonesia berjalan relatif stabil. Dia membandingkan kolapsnya demokrasi di Thailand dan penurunan norma-norma demokrasi di Filipina. Capaian demokrasi kita, menurut Hicken, juga masih jauh lebih impresif dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia (halaman 28). 

Optimisme itu juga tampak dari merapatnya pegiat hak asasi manusia kepada Jokowi. Dia dianggap bebas dari kasus HAM masa lalu. Ken M.P. Setiawan mencatat Jokowi memberikan angin segar keterbukaan informasi dengan janji melonggarkan akses peliputan media asing di Papua pada 2015. Pernyataan ini diikuti janji mengurangi hukuman mereka yang terjerat pidana pencemaran nama. Jokowi juga berjanji menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Optimisme ini tak berumur panjang. Pelonggaran akses media asing di Papua juga tak pernah terjadi.  

Dalam konteks kebebasan berekspresi, Ken berpandangan bahwa reformasi hukum diterjemahkan dengan meningkatnya pengawasan aparat negara terhadap warganya. Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat 72 kasus pidana menggunakan jerat Undang-Undang ITE. Sedangkan selama lima tahun pertama pemerintahan Jokowi, jumlah kasus dengan Undang-Undang ITE mencapai 208. Yang dijerat pidana pun bukan hanya lawan politik Jokowi, tapi juga jurnalis, akademikus, dan anggota kelompok minoritas.  

Pemidanaan ini merupakan contoh sederhana bagaimana penguatan kekuasaan eksekutif justru mengabaikan perlindungan HAM. Ini makin menguatkan indikasi adanya otoritarianisme digital. “Ketika dunia digital memberikan ruang yang makin besar untuk berpendapat, ini justru diikuti makin besarnya ancaman terhadap penggunanya,” tulis Ken. Dan Slater dalam tulisan ketiga menilai Jokowi cenderung membiarkan dan memberikan ruang kepada polisi untuk merepresi warganya. Direktur Weiser Center for Emerging Democracies, University of Michigan, Amerika Serikat, ini mengatakan Jokowi menerapkan model kepemimpinan iliberal yang didukung aparat negara. 

Secara kelembagaan, demokrasi Indonesia juga mengalami tantangan akibat melemahnya peran partai politik. Allen Hicken mencatat, kualitas pemilu makin merosot akibat klientelisme dan politik uang (halalam 35). Bukan hanya itu, pelemahan kelembagaan demokrasi juga tampak dari menurunnya persentase keterikatan pemilih dengan partai politik (party ID). Pada 1999, angka party ID mencapai 86 persen. Di ujung periode pertama kepemimpinan Jokowi, angkanya anjlok hingga 20 persen. Mengutip Burhanuddin Muhtadi, Hicken menilai situasi ini terjadi akibat penerapan sistem pemilihan proporsional terbuka yang diterapkan sejak Pemilu 2009. 

Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression/Tempo

Faktor lain yang diduga turut memerosotkan kualitas demokrasi adalah polarisasi politik. Dalam pemilu, menurut Hicken, selalu ada pertanyaan ketika pemenang ditetapkan: apakah yang kalah akan mau diatur oleh pemenang dan apakah kebijakan dan regulasi yang ditetapkan akan diikuti oleh lawan politik? Dalam tulisan kedelapan, Burhanuddin menjelaskan bahwa mereka yang menjadi pemenang pemilu cenderung puas dengan demokrasi. Sebaliknya, kata Burhanuddin, “Menjadi bagian dari minoritas politik justru merusak kepuasan itu.” Karena itu, Hicken berpendapat, polarisasi di Indonesia sejak beberapa tahun lalu bergerak ke arah yang mengkhawatirkan. 

Eve Warburton menerangkan, polarisasi bermula saat Prabowo Subianto memakai populisme politik dengan mengeksploitasi kerentanan kelompok Islam. Populisme, yang menekankan us versus them, memperlakukan musuh politik bukan cuma sebagai lawan, tapi juga ancaman. Persoalannya, Jokowi juga berperan secara tidak langsung dalam polarisasi politik ini. Jokowi tidak menjadikan Islam sebagai faktor dominan dalam identitas politiknya. Anggota tim kampanye Jokowi, terutama Partai Kebangkitan Bangsa dan Nahdlatul Ulama, melabeli Prabowo sebagai aliansi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Dengan demikian, kemenangan Prabowo adalah kemenangan HTI (halaman 70).  

Situasi ini mengkhawatirkan bagi elite kelompok Islam yang selama era Yudhoyono banyak menikmati kemewahan politik. Warburton membandingkan gaya Yudhoyono selama 10 tahun memerintah yang cenderung menghargai kompromi politik. Yudhoyono menekankan stabilitas di atas kompetisi politik. Nava Nuraniyah dalam tulisan kelima menjelaskan, Yudhoyono memberikan banyak keuntungan politik bagi kelompok Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera dan Majelis Ulama Indonesia. Sikap akomodatif dan kooperatif terhadap kelompok Islam di luar arus utama itu mengancam kepentingan politik kalangan nahdliyin. Nava berkesimpulan, polarisasi antara sejumlah elite Islam dan kalangan pluralis juga berkontribusi pada kemerosotan demokrasi. 

Kristalisasi dan rivalitas di lingkup internal kelompok Islam di level nasional juga merembet ke kompetisi elektoral dalam skala lokal. Di Jakarta, politik identitas dipakai secara terang-benderang untuk mengalahkan Basuki Tjahaja Purnama, yang memiliki dua label minoritas: Cina dan nonmuslim. Partai pengusung Basuki adalah mereka yang menjadi penyokong utama pemerintahan Jokowi. Secara anekdot, Irsyad Rafsadie dan kawan-kawan dalam tulisan ke-16 menjelaskan, politik identitas juga memiliki peran signifikan dalam pemilihan kepala daerah di Kalimantan Barat.  

Buku ini menjadi afirmasi akademis atas situasi sehari-hari yang dihadapi publik di Indonesia: meningkatnya sentimen keagamaan, agresifnya pendukung pemerintah dalam menghantam lawan politik, hingga penggunaan aparat untuk membungkam kebebasan berekspresi. Endy Bayuni, mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, dalam pengantarnya menyebutkan demokrasi kita seperti tari poco-poco: bergerak selangkah, mundur dua langkah. Kini bahkan mundurnya sudah mencapai lima langkah.

WAYAN AGUS PURNOMO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus