Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Prestasi Nobel Sastra untuk Han Kang makin mempopulerkan karya sastra Korea Selatan.
Buku novel fiksi bertema ringan masih menjadi pilihan favorit pembaca.
Terjadi pergeseran tren sastra Korea dalam beberapa tahun terakhir.
AIDILA, 23 tahun, tampak betah berdiri di salah satu lorong rak buku di toko buku Gramedia, Matraman, Jakarta Timur, Selasa, 29 Oktober 2024. Ia berdiri selama lebih dari 10 menit di deretan rak buku nonfiksi karya penulis Korea Selatan yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan berjilbab itu memandangi beberapa buku novel sembari membaca sisi belakang buku tersebut. Aldila juga mencari beberapa buku yang terbuka untuk dilihat dan dibaca sekilas isinya. Ada beberapa buku yang menarik minat Aldila. Salah satunya novel Jini, Jinny karya Jeong You-jeong. Novel tersebut merupakan terbitan baru yang dirilis pada Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aldila tertarik pada nama Jeong You-jeong. Sebelumnya, ia pernah membaca dua novel karya penulis perempuan kelahiran Hampyeong, Korea Selatan, 1966, itu, yakni Anak Teladan dan 7 Tahun Kegelapan. "Dua judul itu sudah aku baca dan puas banget. Nah, yang ini (Jini, Jinny) kata teman aku bagus juga," kata Aldila.
Perempuan yang saat ini bekerja sebagai pekerja lepas itu memang suka membaca novel sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Namun kegemarannya membaca buku terjemahan dari bahasa Korea baru ia geluti saat kuliah.
Menurut dia, novel terjemahan dari Korea Selatan cenderung mempunyai cerita yang lebih menarik, dari tema percintaan, persahabatan, sampai keluarga. "Kebetulan saya suka K-pop, mungkin ada sentimen positif saat membaca novel dari penulis Korea," ucapnya.
Ada pula Syahnaz, 29 tahun, yang gemar membaca buku-buku terjemahan dari Korea Selatan sejak lima tahun lalu. Bedanya, perempuan yang bekerja sebagai aparatur sipil negara di salah satu kementerian itu lebih suka buku yang berkaitan dengan self-improvement.
Ilustrasi sastra Korea. TEMPO/Ratih Purnama
Beberapa buku self-improvement karya penulis Korea Selatan antara lain Aku Bukan Menyerah, Hanya Sedang Lelah karya Geulbaewoo, I Want Die but I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se-Hee, serta How to Respect Myself karya Yoon Hong-gyun. Menurut Syahnaz, buku-buku tersebut punya manfaat besar membangun mental.
"Banyak hal yang bisa dipelajari dari buku-buku itu. Bisa untuk mendorong kepercayaan diri dan menghilangkan kekhawatiran berlebih," tutur Syahnaz.
Sastra Korea Selatan saat ini memang makin dikenal dunia internasional. Kabar gembira dari penulis Korea, Han Kang, yang meraih Nobel Sastra 2024, seperti menjadi bukti bahwa karya sastra dari Negeri Ginseng sedang dalam masa keemasan.
Prestasi Nobel Sastra perempuan 53 tahun itu bermula dari karya-karyanya yang menentang trauma sejarah dan mengungkapkan kerapuhan manusia. Karya-karya Han Kang dikenal inovatif dan eksperimental, juga punya ciri khas paparan ganda rasa sakit.
Pengamat sastra Maman Mahayana menyebutkan pemberian Hadiah Nobel 2024 untuk Han Kang dapat dipastikan akan sangat berpengaruh bagi peningkatan kegiatan sastra, baik di dalam maupun di luar Korea Selatan. Termasuk penerjemahan khazanah sastra Korea ke berbagai bahasa dunia.
Menurut Maman, karya sastra Korea secara umum mulai menarik minat baca masyarakat dunia, terutama setelah gelombang Korea memasuki Asia, Eropa, dan Amerika pada dasawarsa pertama 2000-an. Persebaran sastra Korea rupanya ikut mendompleng budaya pop Korea yang lebih dulu dikenal masyarakat dunia, seperti drama, film, dan musik.
"Jadi mulailah disisipkan produk tradisi leluhur, budaya adiluhung, dan sastra dalam berbagai genre," ujar pria yang pernah menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, itu ketika dihubungi Tempo.
Selain itu, pemerintah Korea gencar menambah kegiatan sastra, seperti Festival Sastra Internasional Byeong-ju Lee Hadong, yang makin berani mengundang sastrawan asing. Beberapa surat kabar, majalah sastra, dan sejumlah lembaga non-pemerintah saban tahun juga memberikan penghargaan untuk karya sastra dan sastrawannya, seperti penghargaan Byeong-ju Lee (novelis) dan Yi Sang (penyair).
"Ada juga program residensi yang diselenggarakan Departemen Pariwisata atau lembaga swasta untuk sastrawan, wartawan, atau penulis dari berbagai negara di seluruh dunia," kata Maman.
Direktur Korean Cultural Center Indonesia Kim Yong Woon, di Korean Cultural Center Indonesia, Jakarta, 30 Oktober 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Direktur Korea Cultural Center Indonesia (KCCI) Kim Yong-woon mengatakan sejatinya telah terjadi pergeseran tren dalam dunia sastra di negaranya. Kim mengatakan, pada 1980-1990-an, kebanyakan karya sastra yang beredar di Korea Selatan bertema sejarah, dari sejarah modern awal abad ke-20, perang Korea, sampai isu di Semenanjung Korea.
"Bahkan ada penulis novel yang membuat buku sampai berjilid-jilid dan itu laku sekali," ucap Kim ketika ditemui di kantornya, di kawasan SCBD, Jakarta, Rabu, 30 Oktober 2024.
Lalu bergerak ke 2000-an, tren sastra Korea bergeser ke isu-isu pelajaran hidup atau tema pengembangan diri. Menurut Kim, tema ini lebih diterima pembaca lantaran lebih ringan ketimbang isu sejarah yang dianggap terlalu serius alias berat.
Tema yang ringan rupanya menjalar juga hingga ke novel. Sejak saat itu, muncul beragam judul novel yang bercerita tentang masalah sepele, dari percintaan hingga persahabatan, yang mudah diterima anak muda. "Sekarang novel makin berkembang hingga tema fantasi, kehidupan pribadi, dan lainnya," tutur Kim. "Ini bukti bahwa selera pembaca sudah berubah."
Namun pemerintah Korea juga sedang berupaya mengatasi masalah di dunia sastra. Ya, munculnya beragam teknologi digital rupanya ikut menggerus minat masyarakat, terutama anak muda, untuk gemar membaca. Kim menyebutkan isu ini sepertinya terjadi hampir di semua negara di muka bumi. Karena itu, pemerintah menganjurkan sekolah-sekolah lebih gencar menegakkan kebiasaan membaca.
"Anak sekolah di Korea makin banyak membaca karena makin banyak buku yang dibaca, akan mendapat banyak poin nilai," ujar Kim.
Pameran literatur asal Korea Selatan di Ubud Writers & Readers Festival di Bali, Oktober 2024. Dok.KCCI
Salah satu penerjemah buku Korea Selatan, Dwita Rizki, menyebutkan genre sastra di Korea makin berkembang setidaknya dalam kurun 10 tahun terakhir. Sebelumnya genre sastra Korea terkesan terlalu komersial dengan tema percintaan ringan, termasuk adaptasi drama Korea terkenal yang dialihwahanakan menjadi buku.
Namun sekarang genre sastra di Korea Selatan sudah lebih kaya, dari karya literatur seperti milik Han Kang, fantasi, thriller, hingga kolosal. "Bahkan nonfiksi, seperti buku pengembangan diri, sudah makin banyak diterjemahkan," kata perempuan yang menerjemahkan buku berbahasa Korea sejak 2009 itu.
Meski begitu, Dwita menilai buku-buku bertema komersial tersebut masih lebih banyak diminati masyarakat luas, khususnya segmen yang sudah terbiasa dengan budaya Korea. Apalagi buku-buku yang dipromosikan dengan strategi gelombang Korea, seperti melibatkan idola grup K-pop serta aktor dan aktris tertentu.
Sementara itu, buku literatur seperti karya-karya Han Kang cs, menurut Dwita, pasarnya lebih sempit, yang pada dasarnya memang penikmat buku. "Terlepas dari mereka mengenal atau suka budaya Korea atau tidak."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo