Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sastra masuk kurikulum tidak dimaksudkan untuk memberikan porsi lebih besar bagi sastra.
Sastra sebagai alat untuk kepentingan mata pelajaran lain yang berdasarkan hukum pasar lebih kuat.
Perlindungan pada sastra harus didasarkan pada ketulusan dan kepercayaan akan adanya jalan alternatif.
BEGITU mendapat kabar menghebohkan mengenai sastra masuk kurikulum, saya langsung menyambutnya dengan gembira. Sebab, saya mengira kebijakan pemerintah itu akan menyelesaikan persoalan yang bisa dikatakan kronis mengenai pelajaran sastra di sekolah-sekolah. Yang saya maksudkan adalah persoalan posisi mata pelajaran sastra yang selama ini ditempatkan dalam posisi sangat lemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecenderungan terakhir, seperti terlihat dalam kurikulum terbaru, bahkan menempatkan sastra hanya sebagai salah satu dari begitu banyak ragam bahasa, seperti ragam bahasa ilmiah, jurnalistik, hukum, pidato, cakapan, surat, resmi, santai, dan banyak lagi yang lain. Dengan demikian, pelajaran sastra mungkin mendapat bagian kurang dari 10 persen dari total materi pelajaran bahasa Indonesia. Dengan pemikiran yang serupa itu, berita tentang sastra masuk kurikulum, saya artikan sebagai sastra punya kurikulumnya sendiri. Ternyata tidak demikian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persoalan sastra masuk kurikulum tersebut memang tidak dimaksudkan untuk memberikan porsi lebih besar dalam kurikulum pelajaran bahasa, apalagi menjadikan pelajaran sastra mempunyai kurikulumnya sendiri. Yang dimaksudkan adalah karya sastra menjadi sekadar bahan bacaan yang akhir-akhir ini dikatakan tidak wajib.
Penempatan demikian masuk akal bila dilihat dari konteks kurikulum tempat sastra itu dimasukkan, yaitu kurikulum MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Setidaknya ada dua hal yang ditawarkan oleh kurikulum ini, yaitu menjadikan proses belajar-mengajar sebagai kegiatan yang menggairahkan, penuh passion, sesuai dengan minat spontan dari peserta didik, serta mengintegrasikan proses tersebut dengan dunia kerja, seperti industri, kewirausahaan, dan pembentukan jaringan. Dengan tawaran seperti itu, proses belajar-mengajar lebih ditentukan oleh pilihan bebas daripada kewajiban.
Namun bisa terjadi kontradiksi di antara kedua tawaran di atas, terutama dalam kasus kesastraan. Dunia kerja sangat bergantung pada pasar kerja dalam pengertian hukum permintaan dan penawaran mengenai lapangan kerja. Tidak bisa diingkari bahwa selama ini keahlian di bidang kesastraan bukan keahlian dengan permintaan yang tinggi di pasar kerja. Peluang kerja untuk mereka yang memperoleh gelar kesarjanaan sastra sangatlah terbatas, sebagian besar hanya di lingkungan pendidikan, penelitian, dan penerbitan. Pertimbangan pasar ini dapat mematahkan minat siswa terhadap sastra. Persoalan peningkatan minat ini terutama sekali membutuhkan intervensi pemerintah, tidak diserahkan sepenuhnya kepada pasar.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Faruk HT di rumahnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, 13 Juni 2024. TEMPO/Shinta Maharani
Sejauh ini penawaran kerja untuk peserta didik yang mempunyai minat sastra memang sebagian besar diberikan oleh pemerintah. Karena menjadi bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, pelajaran sastra mempunyai keunggulan komparatif yang terkait dengan pentingnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahan-bahan pelajaran yang lain. Karena merupakan bahasa nasional, bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah pada jenjang apa pun. Namun pandangan mengenai kepentingan itu lebih didasarkan pada alasan politik daripada kepentingan substansial dari bahasa dan sastra itu sendiri.
Memang akhir-akhir ini muncul paradigma baru dalam memandang hubungan antara sastra dan dunia kerja, yaitu ekonomi kreatif. Namun, bila melihat wacana dominan pemerintah, khususnya birokrat pendidikan yang terlibat dalam perdebatan mengenai sastra masuk kurikulum, pandangan politis cenderung lebih dominan. Yang lainnya adalah pandangan pragmatis dengan menempatkan sastra sebagai alat untuk kepentingan mata pelajaran lain yang berdasarkan hukum pasar lebih kuat. Sastra hanya dianggap sebagai salah satu bahan untuk mendiskusikan topik-topik seperti pariwisata, sejarah, perdagangan, minat baca, perbukuan, penerbitan, di samping sebagai alat pembentukan daya kritis.
Teori-teori mengenai intervensi pemerintah selalu berkaitan dengan pembatasan terhadap pasar bebas, terutama dalam rangka melindungi mereka yang dianggap lemah dalam memasuki persaingan bebas, baik produsen dengan produk-produknya maupun tenaga kerja. Kecenderungan demikian hampir dilakukan oleh semua negara dalam melindungi kepunahan hal-hal yang dianggap berharga bagi masyarakat, bangsa, dan negara, termasuk kesusastraan.
Dalam hal yang terakhir itu, Indonesia mempunyai persoalan khusus seperti yang sudah disinggung. Pertama, sebagai bagian dari pelajaran bahasa Indonesia, pandangan politis cenderung dominan terhadap kesastraan. Harga kesusastraan hanya diberikan apabila terkait dengan kepentingan politik tertentu, termasuk kepentingannya dalam menjaga ketenteraman sosial seperti isu mengenai moralitas.
Kedua, masih dalam hubungan dengan posisinya dalam pelajaran bahasa Indonesia, sastra cenderung dipandang “sebelah mata” sebagaimana yang ternyata, hingga sekarang, dari pemberian porsi yang sangat minim terhadap pelajaran mengenainya: penyakit kronis yang tampaknya terus dibiarkan, bahkan dibuat menjadi lebih parah. Pandangan yang terakhir inilah kelihatannya yang menjadi pangkal dari kehebohan mengenai program sastra masuk sekolah. Para birokrat pendidikan memperlakukan sastra semaunya dengan sikap dan tindakan sembrono tanpa merasa bersalah.
Melakukan perlindungan terhadap sastra dari persaingan bebas di pasar tidaklah berbeda dari berbagai bentuk program pemberdayaan masyarakat yang lemah secara ekonomi untuk mengakses kesehatan, pendidikan, bidang usaha yang disebut UKM, termasuk apa yang dinamakan bansos. Namun intervensi pemerintah yang demikian harus dibebaskan dari kepentingan politik, apalagi yang sifatnya sesaat, dan sepihak, untuk kepentingan kelompok kecil yang berkuasa. Termasuk dari keinginan untuk membatasi, mengarahkan, dan mengontrol atau mengawasi.
Memberikan perlindungan pada sastra harus didasarkan pada ketulusan dan kepercayaan akan adanya jalan lain, jalan alternatif, dalam memandang, mengalami, menghayati, dan mengekspresikan atau menggambarkan kehidupan. Sebuah jalan yang mungkin ada berkembang di pinggiran, di wilayah perbatasan, ruang yang katakanlah liminal, yang kegunaannya tidak selalu jelas, apalagi langsung. Perlindungan itu harus diberikan atas dasar kepercayaan bahwa segala yang ada di dunia ini tak ada yang tidak berguna, bahkan sampah sekalipun. Meski demikian, kegunaannya mungkin baru terbuka, dan sering kali tanpa diduga, di masa depan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo