Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Satu Hari Bersama Joko Pinurbo di Seminari Mertoyudan

Berikut perjalanan Tempo dengan penyair Joko Pinurbo di Seminari Mertoyudan, sebelas tahun lalu.

29 April 2024 | 07.38 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Joko Pinurbo jarang bercanda, tapi puisi-puisinya  jenaka. Dia melegenda,  banyak orang kehilangan, dan akan terus merindukannya. Sabtu, 27 April 2024, ajal menjemput setelah dia menahan sakit sejak lima bulan lalu. Joko Pinurbo meninggal dalam usia 61 tahun. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saya mengamati Joko Pinurbo dari dekat sebelas tahun yang lalu. Jokpin, panggilan akrabnya, mengajak kami ke Seminari Menengah Santo Petrus Canisius Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Jokpin bersekolah di sana 47 tahun yang lalu. Sekolah calon pastor inilah yang menjadi batu pijakannya menciptakan puisi-puisi yang reflektif, imajinatif, dan lucu. 

Tema Religiusitas Dominasi Karya-karya Joko Pinurbo

Tema religiusitas mendominasi karya-karyanya. Di tangan Jokpin, kehidupan beragama yang angker diolah menjadi sesuatu yang santai dan menyenangkan. Tengoklah karya berjudul 'Agamamu apa? Agamaku air yang membersihkan pertanyaanmu'. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam diskusi yang pernah berlangsung di Universitas Sanata Dharma, Joko Pinurbo menyatakan sebagai tema yang aktual, agama menurut dia sangat sensitif dan angker sehingga dia selalu bersiasat dalam berbahasa dengan cara berhati-hati dan memikirkannya secara mendalam sebelum puisi itu beredar ke publik.  

Ketika menciptakan gaya berpuisi, Jokpin terus berproses. "Tahun 1980-an, tema religiusitas puisi Jokpin kaku dan formalistis," kata sastrawan dan aktor, Landung Simatupang di sela melayat di Perkumpulan Urusan Kematian Jogyakarta atau PUKJ, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024. 

Misa arwah penyair Joko Pinurbo di rumah duka Perkumpulan Urusan Kematian Jogyakarta di Kecamatan  Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024 (TEMPO/Shinta Maharani). 

Jenazah Jokpin dimakamkan di Pemakaman Demangan Wedomartani, Ngemplak, Sleman pada Ahad, 28 April 2024. Sebelum dikuburkan, jenazah Jokpin disemayamkan di PUKJ. Romo F.X Sukendar dan Romo Andre Sulardi memimpin misa arwah. Sama seperti Jokpin, Romo Sukendar dan Andre alumnus Seminari Mertoyudan. Hanya saja, Jokpin memilih jalan lain, yakni menjadi penyair sebagai jalan salib. 

Sepanjang perjalanan dari Yogyakarta menuju Seminari Mertoyudan, sebelas tahun lalu, saya mengamati raut wajah Jokpin yang datar dan tenang ketika bicara. Ia tak banyak bercanda dan hanya sering tersenyum ketika kami membicarakan perdebatan sengit para sastrawan.

Sejak pagi hingga sore, Jokpin membawa kami mengelilingi sudut-sudut seminari yang sejuk karena ditumbuhi rindang pepohonan. Pohon palem raja yang menjulang tinggi menyambut pengunjung di pintu masuk seminari, tumbuh di kanan dan kiri jalan. Seorang kawan yang bersekolah di sana bercerita pernah terjadi insiden dahan pohon palem tumbang dan menimpa kepala siswa seminari. Siswa tersebut meninggal akibat insiden tersebut.

Dari pintu masuk, kami berbelok ke kapel besar bercat putih dan cokelat yang dikitari pohon palem. Jokpin menyatakan menyukai bunyi lonceng kapel yang membuat hati tenang. Suatu hari saat Jokpin berumur 15 tahun, dia melihat bunga kamboja berguguran di tengah dentang lonceng kapel. Peristiwa itu menginspirasinya menciptakan puisi. Jokpin menulis: kamboja berduka diterpa dentang lonceng gereja.

Misa arwah penyair Joko Pinurbo di rumah duka Perkumpulan Urusan Kematian Jogyakarta di Kecamatan  Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Sabtu, 27 April 2024 (TEMPO/Shinta Maharani).

Dari situ kami menuju lorong kelas siswa seminari yang mirip bangsal rumah sakit. Lalu Jokpin menunjukkan kamar yang tempat tidurnya bersusun, mirip dengan kamar tidur santri pesantren. "Belajar prihatin jadi kami berbagi dalam satu kamar," ujar Jokpin.

Selepas mengintip kamar Jokpin, kami mampir ke dapur yang menyajikan makanan untuk para siswa. Seorang juru masak perempuan menunjukkan makanan dalam jumlah banyak di panci. Kami hanya bisa menghidu masakan itu untuk menghormati kawan yang sedang berpuasa. Pertengahan Agustus saat kami bertandang ke sana bertepatan dengan Ramadan. 

Selanjutnya, Tempat Favorit Jokpin

Tempat Favorit Jokpin di Seminari Mertoyudan

Tempat favorit Jokpin selain kapel adalah kandang babi yang menjadi lapangan sepak bola. Jokpin bercerita bagi siswa seminari daging babi menjadi lauk istimewa yang mereka santap hanya pada waktu-waktu tertentu.

Dia mengisahkan suatu hari pada malam sunyi dalam terang bulan, Jokpin menatap keindahan bulan purnama di depan kandang babi itu. Joko Pinurbo malah membayangkan bulan berlumur merah darah, mendekonstruksi bulan yang selama ini dianggap penuh romantisme.

Keliling seminari bersama Jokpin bagi saya pengalaman yang membekas sebab Jokpin menunjukkan peletak dasar cara berpikirnya yakni disiplin membaca. Dalam keheningan seminari, Jokpin yang belajar agama dan Tuhan tekun membaca karya-karya sastra yang mendorong dia mencintai hingga melahirkan puisi. Meminjam dari perpustakaan, Jokpin membaca puisi Sapardi Djoko Damono berjudul 'Duka-Mu Abadi'. 

Selain meminjam dari perpustakaan, penulis buku kumpulan puisi berjudul Tahilalat itu juga membeli Duka-Mu Abadi di toko buku dekat Jalan Malioboro. Buku itu hilang dan dia kembali membeli, setidaknya lima kali. Landung menyebutkan puisi-puisi Jokpin mengingatkan pada gaya berpuisi Sapardi Djoko Damono.

Gaya Berpuisi Jokpim Mirip Sapardi Djoko Damano

Menurut Landung, suatu hari dia pernah bertemu dengan Sapardi yang mengatakan gaya berpuisi Jokpin mirip denganya, tapi Jokpin terlalu banyak melucu. "Membaca puisi-puisi Jokpin ya ingat Sapardi. Yang membedakan kecocokannya," kata Landung. 

Landung berinteraksi dengan Jokpin sejak dia menjadi dosen Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP) Sanata Dharma. Jokpin pernah menyewa rumah Landung di awal-awal menikah. 

Landung mengenal Jokpin sebagai penyair yang serius dan sungguh-sungguh menulis puisi dan memikirkan kedalam. Puisi Jokpin hidup dan kaya akan imajinasi yang liar. Karya-karya Jokpin tidak hanya bicara sisi sosial dan kultural, melainkan kehidupan spiritual. Jokpin lihai menyajikan puisi yang sederhana, renyah karena dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan prosaik. 

Puisinya kelihatan main-main, tetapi punya kedalaman makna. Sebagai seorang individu, Jokpin dikenal sebagai sosok yang rendah hati, relevan dengan perkembangan zaman. Banyak kalangan yang menggemari puisinya, termasuk orang-orang yang tidak mendalami puisinya. Puisi Jokpin bisa diterima banyak kalangan: remaja dan orang-orang tua. Puisinya makin nge-pop dan populer, tanpa mengabaikan kedalamannya. 

Bagi Landung, Joko Pinurbo merupakan orang yang tenang, gaya bicaranya datar, tidak meledak-ledak. Tapi, dia orang yang menghanyutkan karena mampu mengolah kata-kata dengan bahasa yang sederhana dan gampang dipahami. Contohnya puisi berjudul 'Jogja Terbuat dari Rindu', 'Pulang', dan 'Angkringan' yang menjadi populer di kalangan anak muda. "Karya-karyanya banyak yang mengejutkan," kata dia.

Istri Jokpin, Nurnaeni Amperawati Firmina, menyebutkan meski puisi-puisi Jokpin jenaka, tetapi Jokpin malah jarang bercanda. "Dia tekun dan serius saat menggarap puisi," tutur Nurnaeni.

Cerita Nurnaeni dan Landung menguatkan pengamatan saya terhadap Jokpin sebelas tahun yang lalu. Meski puisi-puisinya penuh humor, tapi Jokpin tak banyak bergurau. Dalam tubuh yang ceking dan wajah yang datar itu, Jokpin menyimpan energi yang kuat: puisi yang mendalam, reflektif, dan penuh kelakar. Dia menghadirkan puisi-puisi bertema religius yang santai dan memberi penghormatan terhadap kemanusiaan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus