Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Sosok Al-Kindi yang Disebut Sebagai Filsuf Pertama dalam Peradaban Islam

Mengenal Al-Kindi, filsuf muslim yang telah menulis banyak karya dari berbagai bidang ilmu, dengan jumlah sekitar 260 judul.

18 Maret 2024 | 12.28 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejarah peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari peran tokoh-tokoh yang berkontribusi kepada berbagai bidang kehidupan, salah satunya filsafat. Para tokoh itu dikenal memiliki reputasi dan pengaruh yang tidak sebatas diakui di kalangan umat Islam, tetapi juga mewarnai pemikiran filsuf-filsuf Barat modern. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Filsafat Islam mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-9 dan abad ke-11 Masehi. Begitu besarnya pengaruh filosof-filosof muslim. W. Montgomery Watt menyebut bahwa tanpa kehadiran mereka, pengetahuan dan filsafat orang Eropa tidak akan bisa berkembang seperti sekarang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu filsuf muslim ternama, yaitu Al-Kindi yang menyusun filsafatnya di Baghdad, yang saat itu masih menjadi pusat pengkajian pengetahuan. 

Di kota itu, Al-Kini memperoleh banyak dukungan dari tiga khalifah dinasti Abbasiyah, yaitu al-Ma’mun, al-Mu’tasim, dan al-Watsiq. 

Mengenal Sosok Al-Kindi

Melansir Jurnal Lentera (2015) karya Abubakar Madani, Al-Kindi atau alkindus memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi. Dia lahir di Kufah (sekarang Irak) pada tahun 801 Masehi, masa khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 Masehi) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 Masehi). 

Nama Al-Kindi dinisbahkan kepada marga, salah satu suku besar zaman pra-Islam. Al-Kindi lahir dari keluarga kaya, bangsawan, dan terpelajar. 

Buyutnya, Ismail Al-Ash’ats ibn Qais memeluk agama Islam pada masa Nabi Muhammad dan menjadi sahabat Rasulullah, lalu mereka pindah ke Kufah. 

Di Kufah, ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah berprofesi sebagai gubernur di era Khalifah Al-Mahdsi (775-785 Masehi), Al-Hadi (785-876 Masehi), Harun Al-Rasyid (786-809 Masehi), dan Bani Abbas (750-1258 Masehi). Ayahnya kemudian meninggal saat Al-Kindi masih kecil. 

Al-Kindi melalui masa kecilnya dengan menghafal Alquran, kesusastraan Arab, mempelajari tata bahasa Arab, dan ilmu berhitung. Seluruh bidang yang dipelajarinya itu adalah kurikulum pelajaran wajib bagi anak-anak di Kufah. Selanjutnya, dia mendalami Fiqh dan kajian Kalam, tetapi lebih berminat pada ilmu pengetahuan dan filsafat. 

Para sejarawan memberinya julukan sebagai Filsuf Arab karena Al-Kindi merupakan satu-satunya pemikir keturunan Arab asli yang bermoyang kepada Ya’qub ibn Qahthan yang tinggal di kawasan Arab Selatan. Dia telah menulis banyak karya dari berbagai bidang ilmu, dengan jumlah sekitar 260 judul. 

Pemikiran Filsafat Al-Kindi

Dasar pemikiran filsafat Al-Kindi berasal dari refleksi doktrin-doktrin Yunani klasik dan Neo-Platonis yang dikombinasikan dengan keyakinan agama Islam yang dianutnya. Buah dari pengetahuannya itu ditemukan dalam risalah Fi al-Hudud al-Asyya. 

Dalam risalahnya tersebut, Al-Kindi menyederhanakan definisi-definisi dari literatur Yunani. Sedangkan dalam risalah yang secara khusus membahas bagian awal dari disiplin filsafat, dia mengemukakan enam definisi filsafat yang seluruhnya bercorak Platonis. 

Menurut Al Kindi, filsafat merupakan ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kemampuan manusia yang mencakup ilmu ketuhanan, ilmu keesaan, ilmu keutamaan, dan kajian apa pun yang bermanfaat bagi manusia. 

Dia juga berpendapat bahwa tujuan para filsuf berteori adalah untuk mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam perilaku, semakin dekat manusia pada kebenaran, maka akan semakin dekat pula pada kesempurnaan. 

Dalam upaya perpaduan filsafat dan agama, Al-Kindi berpandangan bahwa Al Quran telah menjabarkan argumentasi-argumentasi yang meyakinkan seputar kebenaran dan tidak akan pernah bertentangan dengan doktrin yang dihasilkan filsafat. 

Hanya saja, menurutnya, proses penggabungan itu tidak dapat terlaksana tanpa mengakui agama dan filsafat yang sama. 

Bagi Al-Kindi, fakta yang menyatakan bahwa filsafat bersandar pada rasionalitas tidak berbeda dengan fakta pada doktrin agama. 

Sehingga, dia menaruh hormat yang tinggi pada anugerah akal dengan cara memaksimalkan kemampuan bernalar dalam mencapai pengetahuan atas kebenaran. 

MELYNDA DWI PUSPITA 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus